Kamis, 24 November 2011



ETIKA POLITIK
Franz Magnis-Suseno terlahir sebagai Franz Graf von Magnis, pada 26 Mei 1936 di Eckersdorf, Silesia, Kabupaten Glatz, sebuah daerah Jerman paling timur yang menjorok sampai ke wilayah yang kini bernama Polandia. Kedua orangtuanya, Dr. Ferdinand Graf von Magnis dan Maria Anna Grafin, berasal dari keluarga bangsawan dan dikenal sebagai keluarga Katolik yang taat. Ia adalah sulung dari enam bersaudara.
Ia menetap di Indonesia sejak 29 Januari 1961 sebagai bagian dari tugas kegerejaannya sebagai anggota ordo Serikat Yesuit, meski baru pada 1967 ia ditahbiskan menjadi pastor di Yogyakarta. Sepuluh tahun kemudian (1977) ia resmi menjadi warga negara Indonesia, setelah tujuh tahun menunggu proses pengurusannya. Ia melepaskan kewarga­negaraan asalnya dengan menyerahkan paspornya ke Kedutaan Besar Jerman di Jakarta.
Sebelum berangkat ke Indonesia, ia menyelesaikan studi filsafat di Philosophissche Hochschule, Pullach, dekat kota Munchen, selama 1957-1960.
Masa setahun pertama hidupnya di Indonesia ia lewati dengan mempelajari bahasa Jawa. Empat bulan terakhirnya dia habiskan di Desa Boro, Kulon Progo, sebelah barat Yogyakarta, sebuah desa yang bersusana sangat Jawa di kaki Gunung Menoreh. Di sana ia bersosiali­sasi serajin-rajinnya, mengunjungi dan berbicara dengan sebanyak mungkin orang, agar mampu mempraktekkan bahasa yang sedang ia pelajari.
Tetapi tugas pertamanya di Indonesia dimulai di Jakarta selama 1962-1964 sebagai guru agama di Kolese SMA Kanisius merangkap Kepala Asrama Siswa. Beberapa tahun kemudian (1969), Magnis-Suseno bersama sejumlah rekannya ditugasi mendirikan perguruan tinggi yang kelak dikenal sebagai Sekolah Tinggi Filsafat Driyarkara.
Dua kali (1969-1971 dan 1973-1985), ia menjabat Sekretaris Aka­demis STF Driyarkara. Masa sela antara tahun 1971 hingga 1973 ia manfaatkan untuk mendalami studi filsafat, teologi moral, dan teori politik di Ludwig-Maximilians, Universitas Munchen, Jerman, hingga mencapai gelar doktor filsafat pada 1973. Ia meraih predikat summa cum laude dengan disertasi tentang pemikiran Karl Marx muda, berjudul Die Funktion normbativer Voraussetzungen im Denken des Jungen Marx (1843-1848).
Hidup Magnis-Suseno diisi dengan mengajar di banyak universitas. Selama 1979-1984 ia menjadi dosen luar biasa di Fakultas Psikologi UI. Tahun 1979 ia dosen tamu di Geschwister-Scholl-Institut, bagian dari Ludwig-Maximilians Universitat, dan di Hochschule fur Philosophie, keduanya di Munchen, Jerman. Tahun 1985-1993 dia menjadi dosen luar biasa di Fakultas Filsafat Universitas Parahyangan, Bandung. Tahun 1983-1987 dia kembali menjadi dosen tamu pada Hochschule for Philosophie, Munchen, dan Fakultas Teologi Universitas Innsbruck, Austria.
Di STF Driyarkara ia pernah menjabat Ketua Jurusan Filsafat Indonesia pada 1987-1990, pejabat Ketua STF Driyarkara tahun 1988-1990, Ketua STF Driyarkara tahun 1990-1998, dan sejak tahun 1995 hingga sekarang menjabat sebagai Direktur Program Pasca Sarjana STF Driyarkara. Ia diangkat menjadi guru besar di sekolah itu pada 1996.
Selain itu, ia dosen luar biasa pada Program Magister Fakultas Pasca Sarjana Universitas Indonesia sejak 1990 sampai sekarang. Pada tahun 2000 ia menjadi dosen tamu di Hochschuke fur Philosophie, Munchen. Dan pada 2002 ia menerima gelar Doktor Teologi Honoris Causa dari Fakultas Teologi Universitas Luzern, Swiss.
Magnis-Suseno juga menerima bintang jasa Satyalancana Dundyia Sistha dari Menteri Pertahanan dan Keamanan Republik Indonesia pada 1986 dan Das grobe Verdienstkreuz des Verdienstordens dari Republik Frans Magnis-Suseno merupakan ilmuwan Indonesia yang paling gigih membahas banyak masalah bangsa ini dari sudut etika selama empat dasawarsa terakhir. Etika bukanlah moral, melainkan ilmu atau telaah kritis dan sistematis tentang ajaran moral. Etika bukan mengajarkan moralitas secara langsung agar manusia menjadi lebih baik, melainkan ikhtiar mencapai pengertian yang mendasar tentang moral. Suatu ajaran moral, dari mana pun sumbernya dianggap atau dinyatakan berasal, bahkan yang telah mengakar dalam budaya masyarakat sehingga diterima begitu saja sebagai sesuatu yang luhur pada-dirinya, selalu terbuka untuk diungkap struktur pembentuk dan tujuan azasinya. Etika adalah upaya pencarian orientasi sesuatu yang mutlak dibutuhkan oleh manusia.
Dengan cara itu etika membekali manusia bukan hanya untuk secara mandiri menilai kebajikan yang tersimpan dalam suatu ajaran moral, tapi juga menyibak kepalsuan yang mungkin ada dalam suatu ajaran yang dari permukaan mungkin terkesan mulia. Dari sana selanjutnya individu, terutama sebagai anggota masyarakat, dapat memiliki pengetahuan yang bisa dipertanggungjawabkan tentang apa yang baik dan buruk mengapa ia mendukung hal yang baik dan menentang yang buruk. Bagi etika yang penting bukan apakah seseorang mendukung kebaikan dan menentang keburukan, melainkan mengapa ia perlu memilih untuk bersikap demikian.
Manfaat praktis itulah yang dikejar oleh Magnis-Suseno dengan ketekunannya menyajikan studi etika, yaitu agar warganegara sanggup mengembangkan sendiri moralitas-moralitas baru, maupun memper­barui atau memperluas moralitas lama, sebab moralitas pun niscaya bergeser mengikuti perubahan-perubahan besar-kecil di pelbagai bidang kehidupan.
Dengan demikian, yang diinginkan Magnis-Suseno bukanlah pengahancuran atas segala ajaran moral, melainkan pengusutan sis­tematis terhadapnya, yang pada akhirnya dapat pula berarti peneguhan suatu ajaran atau setidaknya penguatan landasan-landasannya karena para pendukung moral itu memahami orientasinya dengan tepat. Jika moral diakui sebagai hal penting dalam kehidupan individual maupun sosial, maka ia hanya dapat dijaga kehadirannya, disegarkan dan direlevan­kan, oleh orang-orang yang memahami struktur internalnya bukan oleh mereka yang sekadar ikut atau hanya tunduk pada moralitas yang dipersuasikan atau dipaksakan oleh pihak lain, misalnya kekuasaan.
Begitulah misalnya yang terjadi pada Pancasila. Selama hampir empat dasawarsa dasar negara ini dipaksakan pemberlakuannya, diazas tunggalkan, disantiajikan, di-P4-kan dalam skala massal, tanpa peluang bagi masyarakat untuk turut menyumbang tafsir mereka sendiri terhadap nilai-nilai moral yang diandaikan sebagai pengikat ideal bagi kemajemukan masyarakat Indonesia. Pancasila diringkus menjadi ideologi tertutup. Ia hanya boleh dimaknai oleh penafsir tung­gal dan dibungkus dalam konsensus-semu, yang karenanya bukanlah penafsiran dan konsensus melainkan vonis dan pemaksaan.
Pancasila kemudian harus terlanda ironi berat. Ia tumbang, meski tak binasa, seiring robohnya kuasa politik penyangga tunggalnya, sampai pada titik yang memilukan: bahkan tiada seorang pun presiden Republik Indonesia pasca Orde Baru yang pernah mengejanya atau setidaknya menyebutnya dengan gairah kebangsaan yang semestinya. Pancasila masih disebut dalam dokumen-dokumen kenegaraan, termasuk amar putusan hakim dan naskah sumpah pegawai negeri, namun semua orang seakan sepakat bahwa ia hanyalah formalitas kering, membuat khalayak gamang dan gagap ketika bermunculan tawaran ideologi tandingan untuk mengisi vakum ideologi itu dalam realitas keseharian kebangsaan.
Magnis-Suseno sejak lama membayangkan nasib buruk yang kelak menimpa Pancasila itu. Sejarah bangsa-bangsa lain, termasuk bekas tanah airnya sendiri, Jerman, telah cukup mengajarkan bahwa pola itu mustahil langgeng. Kekuatan rakyat terlalu besar dan terlalu persisten untuk dilawan oleh rezim terkuat sekalipun. Dan hari-hari ini, ketika Pancasila lunglai dan ditantang, sekali lagi ia tampil menawarkan etika untuk mempertahankannya sebagai satu-satunya titik-temu moral yang mungkin sebagai pengikat bangsa yang tertakdir majemuk ini.
Ia ingin semua warganegara Indonesia memahami Pancasila dengan tepat, baik kandungan makna kulturalnya maupun fungsi politiknya. Ia merasa tak cukup menyerahkan kelangsungan hidup Pancasila pada penjagaan militer, bahkan kalaupun disangga oleh doktrin NKRI (yang juga merupakan resep politik pragmatis, bukan nilai-moral yang dihayati sebagaimana diinginkan Etika Magnis-Suseno).
Dan kali ini ia tampil dengan kelantangan seorang Indonesia tulen, meski ia tak mungkin menghapus status Kasman (Bekas Jerman). Masa hidup hampir setengah abad di Indonesia, dengan tigapuluh tahun di antaranya sebagai warganegara resmi RI sambil melepaskan kewarga­negaraan Jermannya, cukup untuk membuatnya merasa wajib bergulat dengan aneka masalah Indonesia sebagai tanah air barunya, tetap dengan perangkat ampuh etikanya. Dengan penghayatan dan percaya-diri keindonesiaan itu, dengan von Magnis yang kian “Suseno”, dan dengan absennya kekuasaan otoriter yang terlalu peka pada segala yang berbau asing, ia sekarang bisa mengatakan semua yang ia ingin katakan, tak lagi seraya memberi kesan tak mengatakan apa-apa­—suatu strategi komunikasi yang selama berpuluh tahun ia bangun guna menghindari derita akibat kecurigaan politik.
Franz Magnis-Suseno memasuki rumah Indonesia melalui pendopo Jawa. Ia, pada 1961, memulai dengan mempelajari bahasa dan seluk-beluk budaya Jawa di sebuah kota kecil di Jogjakarta, sampai menulis disertasi berbahasa Jerman yang kemudian diindonesiakan sebagai Etika Jawa: Sebuah Analisa Falsafi tentang Kebijaksanaan Hidup Jawa. Dengan itu ia bermaksud membangun tipe ideal manusia Jawa seka­ligus mengupayakan relevansinya dengan budaya politik Indonesia yang makin terasa didominasi oleh kejawaan, atau setidaknya diklaim demikian oleh para petinggi politik.
Ia kemudian lebih memusatkan perhatian pada aspek etika umum, dan dengan demikian memperluas relevansinya dengan kemajemukan sosial-politik Indonesia mutakhir di mana begitu banyak orang, terma­suk kalangan cendekiawan, aktifis LSM, tokoh-tokoh politik di semua sayap pemerintahan, tampak hanya menari-nari di atas lapisan tipis konsep-konsep besar yang turut menentukan arah perjalanan bangsa yang ingin bergerak menjadi negara modern.
Sebagai ilmuwan-cum-rohaniwan, sudah tentu Magnis-Suseno menyentuh isu-isu agama, baik sebagai gejala sosio-kultural maupun himpunan resep keimanan dan pemikiran teologi. Dalam hal ini pun Etika-nya berperan. Etika bisa menantang suatu ajaran agama. Etika dapat menyingkap selubung kepentingan dan ideologis atas suatu ajaran agama yang seolah murni religius. Bukan tak mungkin, menurut Magnis-Suseno, suatu ajaran yang sejak lama dianggap dogma baku ternyata hanyalah pendapat satu atau sejumlah pemuka mazhab hukum atau mazhab teologi dalam agama tersebut. Pengusutan lanjutan mungkin menunjukkan bahwa bukan pemaknaan semacam itu yang dimaksud oleh kitab suci, atau bahwa kitab suci pun sesungguhnya membuka peluang penafsiran baru atas dirinya.
Dalam hal ini Etika bahkan melampaui hermeunetika, metode tafsir yang mempertimbangkan konteks waktu dan tempat tentang suatu ajaran kitab suci, yang sangat penting untuk ketepatan pemahaman, bukan penerapan. Lebih daripada hermeunetika, etika dapat mencegah lompatan menuju penerapan yang sembrono. Etika mengajak penganut agama untuk berhenti sejenak di pantai pemahaman sebelum melaju menuju samudera penerapan. Perhentian itu kemudian mungkin mengubah arah penerapan ke tujuan yang sama sekali berbeda daripada yang semula disangka sebagai tujuan yang pasti.
Demikianlah, dari 33 buku yang ditulis Magnis-Suseno, termasuk sejumlah kumpulan karangan, di luar ratusan artikel surat kabar, hampir separuhnya khusus membahas etika, bahkan dengan judul-judul yang langsung mewartakan subjeknya. Dengan karya-karya itu, sebagai guru ia mengisi kekosongan kronis buku-buku ajar yang disa­jikan secara baik dan gamblang dalam bahasa Indonesia.
Tetapi ia dengan sadar memperluas jangkauan pembaca, dengan menyajikan subjeknya sesederhana mungkin agar dapat diakses oleh awam, meski terkadang ia harus memohon maaf kepada mereka untuk kerumitan penjelasannya berhubung ide filsafat yang sedang dipaparnya memang rumit pada-dirinya, menuntut keketatan berpikir, dan upaya penyederhanaannya hanya akan mengorbankan ketepatan ide yang hendak disajikannya, selain mengkhianati pemilik asli ide itu.
Namun secara umum Magnis-Suseno memegang teguh kearifan kesarjanaan yang benar: ia menyajikan kegamblangan berkat pengua­saan ilmiah yang kokoh, dengan selalu menyertakan contoh-contoh sederhana yang dekat dengan kehidupan keseharian. Bukan justeru merumitkan masalah-masalah yang sesungguhnya sederhana, dengan mengobral jargon ganjil dan membingungkan suatu gaya yang makin lazim di kalangan penulis kita, yang mungkin dimaksudkan sebagai pendongkrak wibawa akademis, tapi patut dicurigai sebagai kelemahan penguasaan subjek yang sedang mereka bahas. Magnis-Suseno sejak awal karir keilmuannya terbebas dari pretensi palsu itu. Ia memilih untuk lugas menegakkan martabat akademis ketimbang terengah-engah mengesankan wibawa akademis secara sia-sia.
Dengan energi ilmiah yang tak pernah pudar, ia tanpa letih berupaya menyajikan pendasaran etis atas isu-isu penting yang merentang dari demokrasi, hak-hak azasi manusia dan negara hukum hingga ling­kungan hidup, krisis energi, kerukunan beragama bahkan kemacetan lalu lintas. Dan terbukti perangkat etikanya sering ampuh. Dalam kontroversi dan kesimpangsiuran pendapat di seputar isu Rancangan Undang-undang Anti-Pornografi, misalnya, Magnis-Suseno tampil menyajikan inti masalah yang luput kewaspadaan semua peserta debat nasional berbulan-bulan yang memunculkan sejumlah demonstrasi pendukung dan penentang RUU itu di berbagai kota.
Masalah utama dalam RUU tersebut, menurut dia, adalah pencam­pur­adukan tiga konsep: pornografi, erotika, dan kesopanan (public decency). Ketiganya memiliki sejarah, rumusan konseptual, landasan filsafat berikut konsekuensi masing-masing. Membaurkan ketiganya, seperti tampak jelas dalam RUU tersebut yang menstipulasikan ketiganya sebagai satu konsep saja yaitu pornografi niscaya akan melahirkan komplikasi-komplikasi serius bagi kehidupan kemasya­rakatan yang wajar.
Seorang gadis yang berbusana minim mungkin tidak sopan, tapi ia bukan sedang mengumbar pornografi. Seorang pengarang yang menuliskan adegan-adegan yang berkonotasi seksual boleh disebut mengungkap erotika, tapi bukan sedang memamerkan pornografi. Gadis dan pengarang itu mungkin layak ditegur, tapi tidak pantas dihukum, apalagi dengan pidana-pidana berat yang sangat menakutkan sebagaimana tercantum dalam RUU tersebut, yang mematok asumsi yang teramat rendah terhadap manusia Indonesia.
Franz Magnis-Suseno belum membangun sebuah sistem filsafat atau mazhab pemikiran yang dapat diidentifikasi sebagai khas miliknya. Ia adalah siswa filsafat yang rajin, tekun dan bersungguh-sungguh meng­hadapi aneka masalah yang menantangnya. Kegelisahan keilmuannya mengilhami publik yang jauh lebih luas daripada sebatas murid-muridnya di sekolah filsafat yang turut ia dirikan maupun di univer­sitas-universitas lain, selain di ratusan forum seminar di berbagai kota.
Selama lima dasawarsa ia berperan secara amat mengesankan sebagai penghubung yang fasih, gigih, optimistis dan sabar antara para filosof besar Barat beserta gagasan-gagasan mereka selama 2500 tahun, terutama dalam 300 tahun terakhir, dengan masyarakat Indonesia, yang ia duga secara tepat sangat membutuhkan gagasan-gagasan itu dalam ikhtiar panjang untuk menentukan arah menuju negara modern.
Kerut kening konstannya mengisyaratkan ia mafhum bahwa jalan ke arah itu bukan dihampari karpet merah, tapi ia selalu percaya bahwa pada akhirnya Indonesia akan berhasil. Ia selalu mengingatkan bahwa bangsa-bangsa lain yang di masa lalu menghadapi rintangan lebih berat bisa selamat. Jika ternyata mereka berhasil, tak ada alasan bagi Indo­nesia untuk gagal. Nada dasar seluruh karya Magnis-Suseno pun memuat optimisme yang merangsang pembacanya untuk berbagi optimisme itu.
Buku-buku karyanya, berkisar pada isu-isu filsafat yang ia tetapkan sebagai ilmu kritis (judul salah satu bukunya: Filsafat sebagai Ilmu Kritis), yang terus dicetak-ulang hingga belasan atau puluhan kali sejak puluhan tahun silam, membuktikan bahwa sumbangan terbaiknya kepada peradaban Indonesia itu diterima dengan syukur oleh berbagai lapisan masyarakat Indonesia, meski tanpa berarti selalu mereka setujui.
Magnis-Suseno bahkan makin sering berperan sebagai semacam juru bicara kultural bangsanya kepada publik akademis dan umum di luar negeri melalui undangan ke seminar-seminar mereka. Dan hingga saat ini ia masih mengerjakan beberapa jilid karya terbarunya agaknya masih di seputar perangkat ampuhnya, yaitu telaah kritis dan sistematis atas ajaran-ajaran moral.
Terhadap segenap sumbangan dan pengabdian ilmiahnya yang luar biasa itu, Dewan Juri merasa patut memberikan Penghargaan Achmad Bakrie 2007 kepada Franz Magnis-Suseno untuk Pemikiran Sosial.

-------------------------

Federasi Jerman.

Selasa, 22 November 2011

MAKALAH ANALISIS KEBIJAKAN DAN PENGAMBILAN KEPUTUSAN


BAB I

PENDAHULUAN

  1. A. Latar Belakang

Pengambilan keputusan ialah proses memilih suatu alternatif cara bertindak dengan metode yang efisien sesuai dengan situasi (Salusu, 1996: 47). Proses ini untuk menemukan dan menyeleseikan masalah organisasi. Pernyataan ini menegaskan bahwa mengambil keputusan memerlukan satu seri tindakan, memerlukan beberapa langkah. Dapat saja langkah-langkah tersebut terdapat dalam pikiran seseorang yang sekaligus mengajaknya berfikir sistematis. Dalam dunia manajemen proses atau seri tindakan itu lebih banyak tampak dalam kegiatan diskusi.

Kehidupan sehari-hari seorang eksekutif, manajer, kepala, ketua, direktur, rektor, bupati, gubernur, menteri, panglima, presiden, atau pejabat apapun, sesungguhnya adalah kehidupan yang selalu bergumul dengan keputusan. Sering kali ia merasa hampa apabila dalam satu hari tidak mengmbil suatu keputusan. Tidak menjadi soal apakah keputusan itu benar atau mengandung kelemahan. Oleh sebab itu banyak manajer yang berpendapat bahwa lebih baik membuat enam kesalahan dari sepuluh keputusan yang ia buat daripada sama sekali tidak membuat keputusan. Bagi pejabat tersebut yang paling penting timbul rasa kepuasan karena dapat mengmbil keputusan hari itu.

Ilustrasi itu menggambarkan bahwa pengambilan keputusan adalah aspek yang paling penting dalam aspek manajemen. Keputusan merupakan kegiatan sentral dari manajemen, merupakan kunci kepemimpinan, atau inti kepemimpinan (Siagian, 1988), sebagai suatu karakteristik yang fundamental, sebagai jantung kegiatan administrasi (Mitchell, 1978), suatu saat kritis bagi tindakan administrasi (Robins, 1978). Bahkan Higgins (1979) melanjutkan bahwa pengambilan keputusan adalah kegiatan yang paling penting dari semua kegiatan karena di dalamnya manajer terlibat.

1

Pada akhirnya, Robin Hughes dalam prakatanya pada Decision Making berkesimpulan bahwa karena pengambilan keputusan terjadi di semua bidang dan tingkat kegiatan serta pemikiran manusia, maka tidaklah mengherankan apabila begitu banyak disiplin yang berusaha mengabalisis dan membuat sistematika dari seluruh proses keputusan.

Pengambilan keputusan mempunyai arti penting bagi maju mundurnya suatu organisasi, terutama karena masa depan suatu organisasi banyak ditentukan oleh pengambilan keputusan sekarang. Pentinya pengambilan keputusan dilihat dari segi kekuasaan untuk membuat keputusan, yaitu mengikuti pola desentralisasi atau pola sentralisasi. Berbeda dengan hal tersebut, beberapa ahli memberi perhatian pada pengambilan keputusan dari sudut kehadirannya, yaitu adanya teori pengambilan keputusan administrasi, kita dapat meramalkan tindakan-tindakan manajemen sehingga kita dapat menyempurnakan efektifitas manajemen.

  1. B. Rumusan Masalah
  2. Apakah pengertian pengambilan keputusan.
  3. Bagaimana fungsi dan apakah tujuan pengambilan keputusan.
  4. Apakah dasar-dasar pengambilan keputusan.
  5. Bagaimana proses pengambilan keputusan.
  6. Apakah permasalahan yang dihadapi dalam pengambilan keputusan.

  1. C. Tujuan
  2. Mengetahui pengertian pengambilan keputusan
  3. Mengetahui fungsi dan tujuan pengambilan keputusan
  4. Mengetahui dasar- dasar pengambilan keputusan
  5. Mengetahui proses pengambilan keputusan
  6. Mengetahui permasalahan yang dihadapi dalam pengambilan keputusan

BAB II

PEMBAHASAN

  1. A. Pengertian Pengambilan Keputusan

Sebelum mulai dengan mengemukakan definisi pengambilan keputusan, maka perlu disampaikan lebih dulu tentang apa pengertian keputusan itu.

  1. 1. Menurut Ralp C. Davis

Keputusan adalah hasil pemecahan yang dihadapinya dengan tegas. Suatu keputusan merupakan jawaban yang pasti terhadap suatu pertanyaan. Keputusan harus dapat menjawab pertanyaan tentang apa yang dibicarakan dalam hubungannya dengan perencanaan. Keputusan dapat pula berupa tindakan terhadap pelaksanaan yang sangat menyimpang dari rencana semula.

  1. 2. Menurut Mary Follet

Keputusan adalah suatu atau sebagai hukum situasi. Apabila suatu fakta dapat diperolehnya dan semua yang terlibat, baik pengawas maupun pelaksana mau mentaati hukumnya atau ketentuannya, maka tidak sama dengan mentaati perintah. Wewenang tinggal dijalankan, tetapi itu merupakan wewenang dari hukum situasi.

  1. 3. Menurut James A.F.Stoner

Keputusan adalah pemilihan di antara alternatif- alternatif

  1. Ada pilihan atas dasar logika atau pertimbangan.
  2. Ada beberapa alternatif yang harus dan dipilih salah satu yang terbaik.
  3. Ada tujuan yang ingin dicapai, dan keputusan itu makin mendekatkan pada tujuan tersebut.
  4. 4. Menurut Prof. Dr. Prajudi Atmosudirjo, SH

Keputusan adalah suatu pengakhiran daripada proses pemikiran tentang suatu masalah atau problema untuk menjawab pertanyaan apa yang harus diperbuat guna mengatasi masalah tersebut, dengan menjatuhkan pilihan pada suatu alternatif.

3

Dari pengertian- pengertian tersebut di atas dapat ditarik suatu kesimpulan bahwa keputusan merupakan suatu pemecahan masalah sebagai suatu hukum situasi yang dilakukan melalui pemilihan satu alternatif dari beberapa alternatif (Hasan, 2002: 9)

Setelah mengetahui definisi dari keputusan maka selanjutnya akan dikemukakan definisi dari pengambilan keputusan.

  1. 1. Menurut George R. Terry

Pengambilan keputusan adalah pemilihan alternatif perilaku (kelakuan) tertentu dari dua atau lebih alternatif yang ada.

  1. 2. Menurut S.P. Siagian

Pengambilan keputusan adalah suatu pendekatan yang sistematis terhadap perhitungan alternatif yang dihadapi dan mengambil tindakan yang menurut perhitungan merupakan tindakan yang paling tepat

  1. 3. Menurut Jemes A.F Stoner

Pengambilan Keputusan adalah proses yang digunakan untuk memilih suatu tindakan sebagai cara pemecahan masalah.

  1. 4. Menurut Ibnu Syamsi

Pengambilan keputusan adalah tindakan pimpinan untuk memecahkan masalah yang dihadapi dalam organisasi yang dipimpinnya dengan melalui satu diantara alternatif- alternatif yang memungkinkan.

Selain beberapa pengertian di atas, pengambilan keputusan itu juga berarti proses memilih suatu alternatif cara bertindak dengan metode yang efisien sesuai dengan situasi (Salusu, 1996: 47). Proses ini untuk menemukan dan menyeleseikan masalah organisasi. Pernyataan ini menegaskan bahwa mengambil keputusan memerlukan satu seri tindakan, memerlukan beberapa langkah. Dapat saja langkah-langkah tersebut terdapat dalam pikiran seseorang yang sekaligus mengajaknya berfikir sistematis. Dalam dunia manajemen proses atau seri tindakan itu lebih banyak tampak dalam kegiatan diskusi.

Dari pengertian- pengertian pengambilan keputusan di atas, dapat disimpulkan bahwa pengambilan keputusan merupakan suatu proses pemilihan alternatif terbaik dari beberapa alternatif secara sistematis untuk ditindaklanjuti (digunakan) sebagai suatu cara pemecahan masalah.

Persoalan pengambilan keputusan, pada dasarnya adalah bentuk pemilihan dari berbagai alternatif tindakan yang mungkin dipilah yang prosesnya melalui mekanisme tertentu, dengan harapan akan menghasilkan sebuah keputusan yang terbaik (Wahab, 2008: 163). Penyusunan model keputusan adalah salah satu cara untuk mengembangkan hubungan- hubungan logis yang mendasari persoalan keputusan ke dalam suatu model matematis, yang mencerminkan hubungan yang terjadi di antara faktor- faktor yang terlibat. Apapun dan bagaimana pun prosesnya, satu tahapan yang paling sulit dihadapi pengambilan keputusan adalah dalam segi penerapannya karena di sini perlu meyakinkan semua orang yang terlibat, bahwa keputusan tersebut memang merupakan pilihan terbaik. Semuanya akan merasa terlibat dan terikat pada keputusan tersebut. Hal ini, adalah proses tersulit. Walaupun demikian, bila hal tersebut dapat disadari, proses keputusan secara bertahap, sistematik, konsisten, dan dalam setiap langkah sejak awal telah mengikut sertakan semua pihak, maka usaha tersebut dapat memberikan hasil yang terbaik.

  1. B. Fungsi dan Tujuan Pengambilan Keputusan

Pengambilan keputusan sebagai suatu kelanjutan dari cara pemecahan masalah memiliki fungsi antara lain sebagai pangkal permulaan dari semua aktivitas manusia yang sadar dan terarah, baik secara individual maupun secar kelompok, baik secara institusionalnya maupun secara organisasional. Selain itu pengambilan keputusan juga merupakan sesuatu yang bersifat futuristik, artinya bersangkut paut dengan hari depan, masa yang akan datang, di mana efeknya atau pengaruhnya berlangsung cukup lama.

Kegiatan- kegiatan yang dilakukan dalam organisasi itu dimaksudkan untuk mencapai tujuan organisasinya. Yang diinginkan semua kegiatan itu dapat berjalan lancar dan tujuan dapat tercapai dengan mudah dan efisien. Namun kerap kali terjadi hambatan- hambatan dalam melaksanakan kegiatan. Ini merupakan masalah yang harus diselesaikan oleh pimpinan organisasi. Pengambilan keputusan dimaksudkan untuk memecahkan masalah tersebut. Kerap kali pengambilan keputusan itu hanya merupakan satu segi saja, misalnya hanya menyangkut segi keungan saja dan kalau dipecahkan tidak menimbulkan efek sampingan atau akibat lain. Tetapi ada kemungkinan dapat saja terjadi masalah yang pemecahannya menghendaki dua hal kontradiksi terpecahkan sekaligus (Syamsi, 2000: 5).

Oleh karena itu tujuan pengambilan keputusan itu dibedakan menjadi dua, yaitu sebagai berikut.

  1. Tujuan yang bersifat tunggal

Tujuan pengambilan keputusan yang bersifat tunggal terjadi apabila keputusan yang dihasilkan hanya menyangkut satu masalah, artinya bahwa sekali diputuskan, tidak akan ada kaitannya dengan masalah lain.

  1. Tujuan yang bersifat ganda

Tujuan pengambilan keputusan yang bersifat ganda terjadi apabila keputusan yang dihasilkan itu menyangkut lebih dari satu masalah, artinya bahwa satu keputusan yang diambil itu sekaligus memecahkan dua masalah (atau lebih), yang bersifat kontradiktif atau yang tidak bersifat kontradiktif.

  1. C. Dasar- Dasar Pengambilan Keputusan

Dasar pengambilan keputusan itu bermacam- macam tergantung dari permasalahannya. Keputusan dapat diambil berdasarkan perasaan semata- mata, dapat pula keputusan dibuat berdasarkan rasio. Tetapi tidak mustahil, bahkan banyak terjadi terutama dalam lingkungan instansi pemerintah maupun di perusahaan, keputusan diambil berdasarkan wewenang yang dimilikinya.

Oleh George R. Terry, disebutkan dasar- dasar dari pengambilan keputusan yang berlaku adalah sebagai berikut.

  1. Intuisi

Pengambilan keputusan yang berdasarkan atas intuisi atau perasaan memiliki sifat subjektif, sehingga mudah terkena pengaruh. Pengambilan keputusan berdasarkan intuisi ini mengandung beberapa kebaikan dan kelemahan.

Kebaikannya antara lain sebagai berikut.

  1. Waktu yang digunakan untuk mengambil keputusan relatif lebih pendek.
  2. Untuk masalah yang pengaruhnya terbatas, pengambilan keputusan akan memeberikan kepuasan pada umumnya.
  3. Kemampuan mengambil keputusan dari pengambil keputusan itu sangat berperan, dari itu perlu dimanfaatkan dengan baik.

Kelemahannya antara lain sebagai berikut.

  1. Keputusan yang dihasilkan relatif kurang baik.
  2. Sulit mencari alat pembandingnya, sehingga sulit diukur kebenaran dan keabsahannya.
  3. Dasar- dasar lain dalam pengambilan keputusan sering kali diabaikan.
  4. Pengalaman

Pengambilan keputusan berdasarkan pengalaman memiliki manfaat bagi pengetahuan praktis. Karena pengalaman seseorang dapat memperkirakan keadaan sesuatu, dapat memperhitungkan untung dan ruginya, baik- buruknya keputusan yang akan dihasilkan. Karena pengalaman, seseorang yang menduga masalahnya walaupun hanya dengan melihat sepintas saja mungkin sudah dapat menduga cara penyelesaiannya.

  1. Fakta

Pengambilan keputusan berdasarkan fakta dapat memberikan keputusan yang sehat, solid, dan baik. Dengan fakta, maka tingkat kepercayaan terhadap pengambil keputusan dapat lebih tinggi, sehingga orang dapat menerima keputusan dengan rela dan lapang dada.

  1. Wewenang

Pengambilan keputusan berdasarkan wewenang biasanya dilakukan oleh pimpinan terhadap bawahannya atau orang yang lebih tinggi kedudukannya kepada orang yang lebih rendah kedudukannya. Pengambilan keputusan berdasarkan wewenang juga memiliki beberapa kelebihan dan kelemahan.

Kelebihannya antara lain sebagai berikut.

  1. Kebanyakan penerimanya adalah bawahan, terlepas apakah penerimaan tersebut secara sukarela ataukah secara terpaksa.
  2. Keputusan dapat bertahan dalam jangkia waktu yang cukup lama.
  3. Memiliki otentisitan (otentik).

Kelemahannya antara lain adalah sebagai berikut

  1. Dapat menimbulkan sifat rutinitas.
  2. Mengasosiasikan dengan praktek diktatorial.
  3. Sering melewati permasalahan yang sehatusnya dipecahkan sehim\ngga dapat menimbulkan kekaburan.
  4. Rasional

Pada pengambilan keputusan yang berdasar pada rasional, keputusan yang dihasilkan bersifat obyektif, logis, lebih trasparan, konsisten untuk memaksimumkan hasil atau nilai dalam batas kendala terentu, sehingga dapat dikatakan mendekati kebenaran atau sesuai dengan apa yang diinginkan. Pada pengambilan keputusan secara rasional ini terdapat beberapa hal, sebagai berikut.

  1. Kejelasan masalah: tidak ada keraguan dan kekaburan masalah.
  2. Orientasi tujuan: kesatuan pengertian tujuan yang ingin dicapai.
  3. Pengetahuan alternatif: seluruh alternatif diketahui jenisnya dan konsekuensinya.
  4. Preferensi yang jelas: alternatif bisa diurutkan sesuai kriteria.
  5. Hasil maksimal: pemilihan alternatif terbaik didasarkan atas hasil ekonomis yang maksimal

Pengambilan keputusan secara rasional ini berlaku sepenuhnya dalam keadaan yang ideal.

  1. D. Proses Pengambilan Keputusan

Proses pengambilan keputusan merupakan tahap- tahap yang harus dilalui atau digunakan untuk membuat keputusan. Tahap- tahap ini merupakan kerangka dasar, sehingga setiap tahap dapat dikembangkan lagi menjadi beberapa sub tahap (disebut langkah) yang lebih khusus/ spesifik dan lebih operasional

(Hasan, 2002: 22).

Secara garis besarnya proses pengambilan keputusan terdiri atas tiga tahap yaitu sebagai berikut.

  1. Penemuan masalah

Tahap ini merupakan tahap di mana masalah harus didefinisikan dengan jelas sehingga perbadaan antara masalah satu dan bukan masalah (misalnya isu) menjadi jelas.

  1. Pemecahan masalah

Tahap ini merupakan tahap di mana masalah yang sudah ada atau sudah jelas itu kemudian diselesaikan. Langkah- langkah yang diambil adalah sebagai berikut.

  1. Identifikasi alternatif- alternatif keputusan untuk memecahkan masalah.
  2. Perhitungan mengenai faktor- faktor yang tidak dapat diketahui sebelumnya atau diluar jangkauan manusia, identifikasi peristiwa- peristiwa di masa datang (state of nature).
  3. Pembuatan alat (sarana) untuk mengevaluasi atau mengukur hasil, biasanya berbentuk tabel hasil (pay of table).
  4. Pemilihan dan penggunaan model pengambilan keputusan.
  5. Pengambilan keputusan

Keputusan yang diambil adalah berdasarkan pada keadaan lingkungan atau kondisi yang ada, seperti kondisi pasti, kondisi beresiko, kondisi tidak pasti dan kondisi konflik.

Banyak para ahli yang berpendapat mengenai proses pengambilan suatu keputusan, namun pada intinya proses pengambilan keputusan dapat disimpulkan sebagai berikut.

  1. Mengidentifikasi masalah

Suatu organisasi apabila menghadapi permasalahan lebih dulu harus dibuat jelas apakah itu memang masalah (problem) atau sekedar isu (issue) belaka. Yang dimaksud dengan masalah disini adalah persoalan yang harus dipecahkan sedangkan isu adalah persoalan yang perlu dibicarakan (tidak harus dipecahkan)

  1. Menganalisis masalah

Untuk mengetahui penyebab timbulnya masalah, lebih dahulu harus diperoleh data dan informasinya. Dengan kata lain, lebih dulu harus didapat datanya. Data tersebut kemudian diolah menjadi informasi tentang penyebab timbulnya masalah. Disini fungsi unit pengolah data sangat penting sebab kemungkinan juga akan ada informasi yang masuk yang tidak dapat dipertanggungjawabkan.

  1. Membuat beberapa alternatif pemecahan masalah

Untuk dapat membuat alternatif-alternatif pemecahan masalah, maka lebih dahulu harus diketahui penyebab timbulnya masalah. Selanjutnya dibuatlah beberapa alternative pemecahannya. Dalam pembuatan beberapa alternative, maka masing-masing alternatif harus ditunjukkan kekurangan dan kelebihannya.

  1. Penilaian dan pemilihan alternatif

Setelah berbagai alternatif diidentifikasi, kemudian dilakukan evaluasi terhadap masing-masing alternatif yang telah dikembangkan dan dipilih sebuah alternatif yang terbaik. Alternatif-alternatif tindakan dipertimbangkan berkaitan dengan tujuan yang ditentukan, apakah dapat memenuhi keharusan atau keinginan. Alternatif yang terbaik adalah dalam hubungannya dengan sasaran atau tujuan yang hendak dicapai. Bidang ilmu statistik dan riset operasi merupakan model yang baik untuk menilai berbagai alternatif yang telah dikembangkan.

  1. Melaksanakan keputusan

Jika salah satu dari alternatif yang terbaik telah dipilih, maka keputusan tersebut kemudian harus diterapkan. Sekalipun langkah ini sudah jelas, akan tetapi sering kali keputusan yang baik sekalipun mengalami kegagalan karena tidak diterapkan dengan benar. Keberhasilan penerapan keputusan yang diambil oleh pimpinan bukan semata-mata tanggung jawab dari pimpinan akan tetapi komitmen dari bawahan untuk melaksanakannya juga memegang peranan yang penting.

Dalam mengevaluasi dan memilih alternatif suatu keputusan seharusnya juga mempertimbangkan kemungkinan penerapan dari keputusan tersebut. Betapapun baiknya suatu keputusan apabila keputusan tersebut sulit diterapkan maka keputusan itu tidak ada artinya. Pengambil keputusan membuat keputusan berkaitan dengan tujuan yang ideal dan hanya sedikit mempertimbangkan penerapan operasionalnya.

  1. Evaluasi dan Pengendalian

Setelah keputusan diterapkan, pengambil keputusan tidak dapat begitu saja menganggap bahwa hasil yang diinginkan akan tercapai. Mekanisme sistem pengendalian dan evaluasi perlu dilakukan agar apa yang diharapkan dari keputusan tersebut dapat terealisir. Penilaian didasarkan atas sasaran dan tujuan yang telah ditetapkan. Tujuan yang bersifat khusus dan mudah diukur dapat mempercepat pimpinan untuk menilai keberhasilan keputusan tersebut. Jika keputusan tersebut kurang berhasil, di mana permasalahan masih ada, maka pengambil keputusan perlu untuk mengambil keputusan kembali atau melakukan tindakan koreksi. Masing-masing tahap dari proses pengambilan keputusan perlu dipertimbangkan dengan hati-hati, termasuk dalam penetapan sasaran tujuan Setiap keputusan yang diambil itu merupakan perwujudan kebijakan yang telah digariskan. Oleh karena itu analisis proses pengambilan keputusan pada hakikatnya sama saja dengan proses kebijakan.

Diakui oleh banyak pihak, bahwa pengambilan keputusan yang benar- benar tepat itu memeng sulit. Namun sekedar pedoman umum cara pengambilan keputusan

  1. E. Permasalahan yang dihadapi dalam Pengambilan Keputusan

Kegiatan yang dilakukan oleh setiap organisasi itu diharapkan dapat berjalan dengan lancar, tanpa mengalami suatu hambatan apapun. Tetapi dalam prakteknya selalu ada saja masalah atau kendala yang dihadapi sehingga tujuan tidak selalu dapat dicapai dengan mulus.

Oleh karena itu yang pertama-tama dilakukan dalam proses pengambilan keputusan adalah mengadakan identifikasi masalahnya lebih dahulu. Masalah adalah sesuatu yang perlu dipecahkan, yang kerap kali membutuhkan beberapa alternatif untuk kemudian dipilih satu yang sekiranya paling tepat untuk masalah tersebut. Apabila dihubungkan dengan kebijakan dalam pengambilan keputusan dalam suatu organisasi maka masalah yang dihadapi itu merupakan nilai-nilai, kebutuhan-kebutuhan yang belum sempat terealisasi namun apabila dapat diidentifikasikan akan dapat dilaksanakan dengan baik melalui tindakan pengambil keputusan.

Dalam menghadapi masalah, hendaknya merici terlebih dahulu permasalahannya dengan cermat. Dari masalah yang dirinci kemudian disusun manalah yang bulat dan menyeluruh. Dunn memberikan memberikan pendapat bahwa penyusunan masalah secara bulat melalui tiga tahap. Pertama, mengadakan konseptualisasi permasalahannya. Kedua, mengadakan spesifikasi permasalahan dan ketiga berusaha memehami permasalahan secara keseluruhan.

Quade mengemukakan langkah-langkah apa yang sekiranya perlu dilakukan dalam menangani masalah: (1) mengusahakan keterangan dan penjelasan yang lebih lanjut tentang masalah itu sendiri; (2) identifikasi sasaran dan tujuan kegiatan yang akan dilakukan; (3) mengukur tingkat keberhasilannya; (4) menentukan kriteria keberhasilan pencapaian tujuan; (5) memperhatikan sektor lingkungan; (6) meneliti satu per satu alternatif pemecahan masalah sehingga masing-masing dikrtahui kelemahan dan keunggulannya; (7) merumuskan model mana saja yang dimungkinkan untuk pemecahan masalah; (8) mengumpulkan data untuk pengukuran dan pemilihan alternatif yang paling tepat untuk pemecahan masalah; (9) mengadakan perbandingan antara model yang satu dengan model yang lain; (10) mengetes hasil analisis untuk lebih meyakinkan; (11) mempertimbangkan juga apakah terdapat juga segi-segi ketidakefisienan yang terjadi, dan (12) mengadakan ringkasan bilamana perlu menyertakan juga saran-sarannya.

BAB III

PENUTUP

  1. A. Kesimpulan

Pengambilan keputusan merupakan suatu proses pemilihan alternatif terbaik dari beberapa alternatif secara sistematis untuk ditindaklanjuti (digunakan) sebagai suatu cara pemecahan masalah. Pengambilan keputusan sebagai suatu kelanjutan dari cara pemecahan masalah memiliki fungsi antara lain sebagai pangkal permulaan dari semua aktivitas manusia yang sadar dan terarah, baik secara individual maupun secar kelompok, baik secara institusionalnya maupun secara organisasional. Dasar pengambilan keputusan itu bermacam- macam tergantung dari permasalahannya. Secara garis besarnya proses pengambilan keputusan terdiri atas tiga tahap yaitu penemuan masalah, pemecahan masalah, pengambilan keputusan. Dalam menghadapi masalah, hendaknya merici terlebih dahulu permasalahannya dengan cermat. Dari masalah yang dirinci kemudian disusun manalah yang bulat dan menyeluruh. Dunn memberikan memberikan pendapat bahwa penyusunan masalah secara bulat melalui tiga tahap. Pertama, mengadakan konseptualisasi permasalahannya. Kedua, mengadakan spesifikasi permasalahan dan ketiga berusaha memehami permasalahan secara keseluruhan.




DAFTAR RUJUKAN

Hasan, I. 2002. Teori Pengambilan Keputusan. Jakarta: Ghalia Indonesia.

Higin, J. 1979. Organization Policy and Strategik Management: Text and Cases. Illinois: The Dryden Press.

Mitchell, T. 1978. People in Organization: Understanding Their Behavior. New York: McGraw-Hill.

Robbins, S. The Administrative Process. New Delhi: Hall of India.

Salusu, J. 1966. Pengambilan Keputusan Stratejik untuk Organisasi Publik dan Organisasi Nonprofit. Jakarta: PT Gramedia Widiasarana Indonesia.

Siagian, S. 1988. Teori dan Praktek Pengambilan Keputusan. Jakarta: Haji Masagung.

Syamsi, I. 1989. Pengambilan Keputusan (Decision Making). Jakarta: Bina Aksara.

Syamsi, I. 2000. Pengambilan Keputusan dan Sistem Informasi. Jakarta: Bumi Aksara.

Wahab, Abdul Aziz. 2008. Anatomi Organisasi dan Kepemimpinan Pendidikan. Bandung: Alfabeta

.

Minggu, 20 November 2011

Landasan Teori : Evaluasi Kebijakan Publik

Dalam mengevaluasi suatu kebijakan, analis akan dihadapkan pada 3(tiga) aspek yaitu :
  1. Aspek perumusan kebijakan, pada aspek ini analis berusaha mencari jawaban bagaimana kebijakan tersebut dirumuskan , siapa yang paling berperan dan untuk siapa kebijakan tersebut dibuat. 
  2. Aspek implementasi kebijakan, pada aspek ini analis berusaha untuk mencari jawaban bagaimana kebijakan tersebut dilaksanakan, apa faktor-faktor yang mempengaruhinya dan bagaimana performance dari kebijakan tersebut. Aspek ini merupakan proses lanjutan dari tahap formulasi  kebijakan. Pada tahap formulasi ditetapkan strategi dan tujuan-tujuan kebijakan sedangkan  pada tahap implementasi  kebijakan , tindakan (action) diselenggaran dalam mencapai tujuan. Menurut Bressman dan Wildavsky (Jones, 1991) implementasi adalah suatu proses interaksi antara suatu perangkat tujuan dan tindakan yang mampu mencapai tujuan. Dalam mengkaji implementasi kebijakan, para ahli kebijakan publik banyak menggunakan model implementasi yang salah satunya adalah model Merilee S Grindle (1980). Medel Grindle menyajikan 3 (tiga) komponen kelayakan yaitu : 1) tujuan kebijakan, 2) aktivitas pelaksanaan yang dipengaruhi oleh content yang terdiri atas : kepentingan yang dipengaruhi, tipe manfaat, derajat perubahan, posisi pengambilan keputusan, pelaksanaan program, sumber daya yang dilibatkan,  dan  context yang terdiri atas : kekuasaan, kepentingan dan strategi yang dilakukan pelaksana; karakteristik rezim dan lembaga; compliance serta responsiveness. Model ini menggambarkan semua variabel yang berpengaruh dalam pencapaian tujuan dan hasil kebijakan.
  3. Aspek evaluasi, pada aspek ini analis berusaha untuk mengetahui apa dampak yang ditimbulkan oleh suatu tindakan kebijakan, baik dampak yang diharapkan maupun yang tidak diharapkan.
Evaluasi kebijakan menurut Samudro, dkk (1994) dilakukan untuk mengetahui : 1) proses pembuatan kebijakan; 2) proses implementasi;   3) konsekuensi kebijakan ; 4) efektivitas dampak kebijakan. Evaluasi pada tahap pertama, dapat dilakukan sebelum dan sesudah kebijakan dilaksanakan, kedua evaluasi tersebut evaluasi sumatif dan formatif, evaluasi untuk tahap kedua disebut evaluasi implementasi ,  evaluasi ketiga dan keempat disebut evaluasi dampak kebijakan.

Sedangkan evaluasi menurut Limberry (dalam Santoso, 1992), analisis evaluasi kebijakan mengkaji akibat-akibat pelaksanaan suatu kebijakan dan membahas hubungan antara cara-cara yang digunakan dengan hasil yang dicapai.

Dengan demikian studi evaluasi kebijakan (Sudiyono, 1992) merupakan suatu analisis yang bersifat evaluatif sehingga konsekuensinya lebih restrospeksi dibandingkan prospeksi. Dan dalam mengevaluasi seorang analis berusaha mengidentifikasi efek yang semula direncanakan untuk merealisir suatu keberhasilan dan dampak apa yang ditimbulkan dari akibat suatu kebijakan.

Studi evaluasi ini mempunyai 2 (dua) pendekatan (Sudiyono,1992) yaitu :
  1. Pendekatan kepatuhan, asumsinya apabila para pelaksana mematuhi  semua  petunjuk atau aturan yang diberikan  maka implementasi  sudah dinilai   berhasil. Kemudian pendekatan ini disempurnakan lagi dengan adanya pengaruh : a) ekstern, kekuatan non birokrasi dalam pencapaian tujuan, b) intern, program yang dimaksudkan untuk melaksanakan suatu kebijakan sering tidak terdesain dengan baik sehingga perilaku yang baik dari para pelaksana (birokrasi) tetap tidak akan berhasil dalam mencapai tujuan kebijakan.
  2. Pendekatan perspektif, “what’s happening (apa yang terjadi). Pendekatan ini menggambarkan pelaksanaan suatu kebijakan dari seluruh aspek karena implementasi kebijakan melibatkan beragam variabel dan faktor.
Dalam studi evaluasi, menurut Finsterbusch dan Motz (dalam Samudro dkk, 1994) terdapat 4 (empat) jenis evaluasi yaitu :
  1. Single program after only, merupakan jenis evaluasi yang melakukan pengukuran kondisi atau penilaian terhadap program setelah meneliti setiap variabel  yang dijadikan  kriteria program. Sehingga analis tidak mengetahui baik atau buruk respon  kelompok sasaran terhadap program.
  2. Single program befora-after,  merupakan penyempurnaan dari jenis pertama yaitu adanya data tentang sasaran program pada waktu sebelum dan setelah program berlangsung.
  3. Comparative after only, merupakan penyempurnaan evaluasi kedua tapi tidak untuk yang pertama dan analis hanya melihat sisi  keadaan  sasaran bukan sasarannya.
  4. Comparative before-after, merupakan kombinasi ketiga desain  sehingga informasi yang diperoleh  adalah efek program terhadap kelompok sasaran. 

Evolusi Teori Manajemen
Teori Manajeman Klasik
• Prinsip Teori Manajemen Aliran Klasik
• Awal sekali ilmu manajemen timbul akibat terjadinya revolusi industri di Inggris pada abad 18.
• Para pemikir tersebut rnemberikan perhatian terhadap masalah-masalah manajemen yang timbul baik itu di kalangan usahawan, industri maupun masyarakat. Para pemikir itu yang terkenaI antara lain, Robert Owen, Henry Fayol, Frederick W. Taylor dan lainnya.
Robert Owen (1771 -1858)
• Robert Owen adalah orang yang menentang praktek-praktek memperkerjakan anak-anak usia 5 atau 6 tahun dan standar kerja 13 jam per hari. Tersentuh dengan kondisi kerja yang amat menyedihkan itu, beliau mengajukan adanya perbaikan terhadap kondisi kerja ini.
• Pada tahun-tahun awal revolusi industri, ketika para pekerja dianggap instrumen yang tidak berdaya, Owen melihat rneningkatkan kondisi kerja di pabrik, rnenaikkan usia minimum kerja bagi anak-anak, mengurangi jam kerja karyawan, menyediakan makanan bagi karyawan pabrik, mendirikan toko-toko untuk menjual keperluan hidup karyawan dengan harga yang layak, dan berusaha memperbaiki lingkungan hidup tempat karyawan tinggal, dengan membangun rumah-rumah dan membuat jalan, sehingga lingkungan hidup dan pabrik rnenjadi menarik. Sebab itu, beliau disebut "Bapak Personal Manajemen Modern".
• Selain itu, Owen lebih banyak memperhatikan pekerja, karena menurutnya, investasi yang penting bagi manajer adalah sumber daya manusia. Selain mengenai perbaikan kondisi kerja, beliau juga rnembuat prosedur untuk meningkatkan produktivitas, seperti prosedur penilaian kerja dan bersaing juga secara terbuka.
Henry Fayol (1841 -1925)
• Pada tahun 1916, dengan sebutan teori manajemen klasik yang sangat memperhatikan produktivitas pabrik dan pekerja, disamping memperhatikan manajemen bagi satu organisasi yang kompleks, sehingga beliau menampilkan satu metode ajaran manajemen yang lebih utuh dalam bentuk cetak biru.
• Fayol berkeyakinan keberhasilan para manajer tidak hanya ditentukan oleh mutu pribadinya, tetapi karena adanya penggunaan metode manajemen yang tepat.
• Sumbangan terbesar dari Fayol berupa pandangannya tentang manajemen yang bukanlah semata kecerdasan pribadi, tetapi lebih merupakan satu keterampilan yang dapat diajarkan dari dipahami prinsip-prinsip pokok dan teori umumnya yang telah dirumuskan. Fayol membagi kegiatan dan operasi perusahaan ke dalam 6 macam kegiatan :
• • a. Teknis (produksi) yaitu berusaha menghasilkan
• dan membuat barang-barang produksi.
• b. Dagang (Beli, Jual, Pertukaran) dengan tara mengadakan pembelian bahan mentah dan menjual hasil produksi.
• c. Keuangan (pencarian dan penggunaan optimum
• atas modal) berusaha mendapatkan dan
• menggunakan modal.
• d. Keamanan (perlindungan harga milik dan manusia) berupa melindungi pekerja dan barang-barang kekayaan perusahaan.
• e. Akuntansi dengan adanya pencatatan dan pembukuan biaya, utang, keuntungan dan neraca, serta berbagai data statistik.
• • f. Manajerial yang terdiri dari 5 fungsi :
• Perencanaan (planning) berupa penentuan langkah-langkah
• yang memungkinkan organisasi mencapai tujuan-tujuannya.
• 2) Pengorganisasian dan (organizing), dalam arti mobilisasi bahan materiil dan sumber daya manusia guna melaksanakan rencana.
• 3) Memerintah (Commanding) dengan memberi arahan kepada karyawan agar dapat menunaikan tugas pekerjaan mereka
• 4) Pengkoordinasian (Coordinating) dengan memastikan sumber-sumber daya dan kegiatan organisasi berlangsung secara harmonis dalam mencapai tujuannya.
• 5) Pengendalian (Controlling) dengan memantau rencana untuk membuktikan apakah rencana itu sudah dilaskanakan sebagaimana mestinya.
Frederick W. Taylor (1856 -1915)
• Frederick W. Taylor dikenal dengan manajemen ilmiahnya dalam upaya meningkatkan produktivitas. Gerakannya yang terkenal adalah gerakan efisiensi kerja. Taylor membuat prinsip-prinsip yang menjadi intinya manajemen ilmiah yang terkenal dengan rencana pengupahan yang menghasilkan turunnya biaya dan meningkatkan produktivitas, mutu, pendapatan pekerjaan dan semangat kerja karyawan. Adapun filsafat Taylor memiliki 4 prinsip yang ditetapkan yaitu :
• 1. Pengembangan manajemen ilmiah secara benar.
• 2. Pekerjaan diseleksi secara ilmiah dengan rnenempatkan pekerjaan yang cocok
• untuk satu pekerjaan.
• 3. Adanya pendidikan dan pengambangan ilmiah dari para pekerja.
• 4. Kerjasama yang baik antara manajernen dengan pekerja.
• Dalam menerapkan ke-empat prinsip ini, beliau menganjurkan perlunya revolusi mental di kalangan manajer dan pekerja. Adapun prinsip-prinsip dasar menurut Taylor mendekati ilmiah adalah :
• 1. Adanya ilmu pengetahuan yang menggantikan cara kerja yang asal-asalan.
• 2. Adanya hubungan waktu dan gerak kelompok.
• 3. Adanya kerja sarna sesama pekerja, dan bukan bekerja secara individual.
• 4. Bekerja untuk hasil yang maksimal.
• 5. Mengembangkan seluruh karyawan hingga taraf yang setinggi-tingginya, untuk
• tingkat kesejahteraan maksimum para kaayawan itu sendiri dan perusahaan.
Periode Peralihan
• Mary Parker Folett (1868-1933)
• Mary percaya bahwa adanya hubungan yang harmonis antara karyawan dan manajemen brdasar persamaan tujuan, namun tidak sepenuhnya benar untuk memisahkan atasan sebagai pemberi perintah dengan bawahan sebagai penerima perintah.
• Beliau menganjurkan kedudukan kepemimpinan dalam organisasi, bukan hanya karena kekuasaan yang bersumber dari kewenangan formil, tapi haruslah berasal dari pada pengetahuan dan keahliannya sebagai manajer.
• • Oliver Sheldon (1894 -1951)
• Filsafat rnanajemen yang pertama kali ditulis dalam bukunya pada tahun 1923, yang menekankan tentang adanya tanggung jawab sosial dalam dunia , usaha, sehingga etika sarna pentingnya dengan ekonomi alam manajemen, dalam arti melakukan pelayanan barang dan jasa yang tepat dengan harga yang wajar
• Kepada masyarakat. Manajemen juga harus memperlakukan pekerja dengan adil dan jujur. Beliau menggabungkan nilai-nilai efisiensi manajemen ilmiah dengan etika pelayanan kepada masyarakat.
• • Ada 3 prinsip dari Oliver, yaitu :
• a. Kebijakan, keadaan dan metoda industri haruslah sejalan dengan kesejahteraan masyarakat.
• b. Manajemen seharusnyalah mampu menafsirkan sangsi moral tertinggi masyarakat sebagai keseluruhan yang memberi makna praktis terhadap gagasan keadilan sosial yang diterima tanpa prasangka oleh masyarakat.
• c. Manajemen dapat mengambil prakarsa guna meningkatkan standar etika yang umum dan konsep keadilan sosial.
• • ChesterL. Barnard (1886 -1961)
• Berdasarkan kesukaannya dalam bacaan-bacaan sosiologi dan filsafat, kemudian Bernard merumuskan berbagai teori tentang kehidupan organsasi.
• Menurut dia rnanusia itu masuk organisasi karena ingin mencapai tujuan pribadinya melalui pencapaian tujuan organisasi yang tak mungkin dapat dicapainya sendiri.
• Chester L. Bernard beasumsi bahwa perusahaan akan berjalan efisien dan hidup terus, apabila dapat menyeimbangkan antara pencapaian tujuan dan kebutuhan individu. Beliau juga menyatakan peranan organisasi informal sangat menentukan suksesnya suatu tujuan perusahaan.
Teori Perilaku
• Kontribusi studi perilaku ada dua kelompok, yatu memberikan penekanan pada
• orang yang ada dalam pekerjaan dari pada jenis pekerjaan itu sendiri.
• • Hawthorne merupakan bagian dari human relation movement (gerak-gerik hubungan
• manusia), pertama memahami mengenai ornag yang bekerja dalam organisasi
• • Kelompok system social, menghasilkan kumpulan materi organizational behaviour
• (perilaku organisasi)
• Reaksi berantai yang menghubungkan kebutuhan pekerja dengan perusahaan adalah:
• 1 . Mengetahui kebutuhan bekerja
• 2 . Memotivasi pekerja untuk melakukan pekerjaan demi tercapainya tujuan
• perusahaan
• 3 . Kerja dijalankan
• 4 . Tercapainya tujuan perusahaan
Teori Kuantitatif
ditandai dengan berkembangnya team-team riset operasi dalam pemecahan masalah-
masalah industri yang didasarkan atas suksesnya team riset operasi Inggris.
Langkah-langkah pendekatan management science:
a . Perumusan masalah
b . Penyusunan suatu model sistemastis
c . Mendapatkan penyelesaian dari model
d . Pengujian model dan hasil yang didapatkan dari model
e . Penerapan pengawasan atas hasil-hasil
f. Pelaksanaan hasil dalam kegiatan implementasi
Evolusi Teori Manajemen
1. Dominan, yaitu aliran yang muncul karena adanya aliran lain. Pengkajian dari masing- masing aliran masih dirasakan bermanfaat bagi pengembangan teori manajemen.
2. Divergensi, yaitu dimana ketiga aliran masing-masing berkemabng sendiri-sendiri tanpa memanfaatkan pandangan aliran-aliran lainnya.
3. Konvergensi, yang menampilkan aliran dalam satu bentuk yang sarna sehingga batas antara aliran nlenjadi kabur. Perkembangan seperti inilah yang sudah terjadi sekalipun bentuk pengembangannya tidak seimbang karena masih terlihat bentuk dominan dari satu rnazhab terhadap yang lain.
4. Sintesis, berupa pengembangan menyeluruh yang lebih bersitat integrasi dari aliran-aliran seperti yang kemudian tampil dalam pendekatan sistem dan kontingensi.
5. Proliferasi, merupakan bentuk perkembangan teori manajemen dengan munculnya teori-teori manajemen yang baru yang memusatkan perhatian kepada satu permasalahan manajenlen tertentu
Sumber :
http://aa-manajemen.blogspot.com/2010/03/evolusi-teori-manajemen.html
http://www.slideshare.net/iwanpalembang/evolusi-teori-manajemen
http://brandhoz.wordpress.com/2010/09/30/evolusi-teori-manajemen/

Evolusi Teori Manajemen
Teori Manajeman Klasik
• Prinsip Teori Manajemen Aliran Klasik
• Awal sekali ilmu manajemen timbul akibat terjadinya revolusi industri di Inggris pada abad 18.
• Para pemikir tersebut rnemberikan perhatian terhadap masalah-masalah manajemen yang timbul baik itu di kalangan usahawan, industri maupun masyarakat. Para pemikir itu yang terkenaI antara lain, Robert Owen, Henry Fayol, Frederick W. Taylor dan lainnya.
Robert Owen (1771 -1858)
• Robert Owen adalah orang yang menentang praktek-praktek memperkerjakan anak-anak usia 5 atau 6 tahun dan standar kerja 13 jam per hari. Tersentuh dengan kondisi kerja yang amat menyedihkan itu, beliau mengajukan adanya perbaikan terhadap kondisi kerja ini.
• Pada tahun-tahun awal revolusi industri, ketika para pekerja dianggap instrumen yang tidak berdaya, Owen melihat rneningkatkan kondisi kerja di pabrik, rnenaikkan usia minimum kerja bagi anak-anak, mengurangi jam kerja karyawan, menyediakan makanan bagi karyawan pabrik, mendirikan toko-toko untuk menjual keperluan hidup karyawan dengan harga yang layak, dan berusaha memperbaiki lingkungan hidup tempat karyawan tinggal, dengan membangun rumah-rumah dan membuat jalan, sehingga lingkungan hidup dan pabrik rnenjadi menarik. Sebab itu, beliau disebut "Bapak Personal Manajemen Modern".
• Selain itu, Owen lebih banyak memperhatikan pekerja, karena menurutnya, investasi yang penting bagi manajer adalah sumber daya manusia. Selain mengenai perbaikan kondisi kerja, beliau juga rnembuat prosedur untuk meningkatkan produktivitas, seperti prosedur penilaian kerja dan bersaing juga secara terbuka.
Henry Fayol (1841 -1925)
• Pada tahun 1916, dengan sebutan teori manajemen klasik yang sangat memperhatikan produktivitas pabrik dan pekerja, disamping memperhatikan manajemen bagi satu organisasi yang kompleks, sehingga beliau menampilkan satu metode ajaran manajemen yang lebih utuh dalam bentuk cetak biru.
• Fayol berkeyakinan keberhasilan para manajer tidak hanya ditentukan oleh mutu pribadinya, tetapi karena adanya penggunaan metode manajemen yang tepat.
• Sumbangan terbesar dari Fayol berupa pandangannya tentang manajemen yang bukanlah semata kecerdasan pribadi, tetapi lebih merupakan satu keterampilan yang dapat diajarkan dari dipahami prinsip-prinsip pokok dan teori umumnya yang telah dirumuskan. Fayol membagi kegiatan dan operasi perusahaan ke dalam 6 macam kegiatan :
• • a. Teknis (produksi) yaitu berusaha menghasilkan
• dan membuat barang-barang produksi.
• b. Dagang (Beli, Jual, Pertukaran) dengan tara mengadakan pembelian bahan mentah dan menjual hasil produksi.
• c. Keuangan (pencarian dan penggunaan optimum
• atas modal) berusaha mendapatkan dan
• menggunakan modal.
• d. Keamanan (perlindungan harga milik dan manusia) berupa melindungi pekerja dan barang-barang kekayaan perusahaan.
• e. Akuntansi dengan adanya pencatatan dan pembukuan biaya, utang, keuntungan dan neraca, serta berbagai data statistik.
• • f. Manajerial yang terdiri dari 5 fungsi :
• Perencanaan (planning) berupa penentuan langkah-langkah
• yang memungkinkan organisasi mencapai tujuan-tujuannya.
• 2) Pengorganisasian dan (organizing), dalam arti mobilisasi bahan materiil dan sumber daya manusia guna melaksanakan rencana.
• 3) Memerintah (Commanding) dengan memberi arahan kepada karyawan agar dapat menunaikan tugas pekerjaan mereka
• 4) Pengkoordinasian (Coordinating) dengan memastikan sumber-sumber daya dan kegiatan organisasi berlangsung secara harmonis dalam mencapai tujuannya.
• 5) Pengendalian (Controlling) dengan memantau rencana untuk membuktikan apakah rencana itu sudah dilaskanakan sebagaimana mestinya.
Frederick W. Taylor (1856 -1915)
• Frederick W. Taylor dikenal dengan manajemen ilmiahnya dalam upaya meningkatkan produktivitas. Gerakannya yang terkenal adalah gerakan efisiensi kerja. Taylor membuat prinsip-prinsip yang menjadi intinya manajemen ilmiah yang terkenal dengan rencana pengupahan yang menghasilkan turunnya biaya dan meningkatkan produktivitas, mutu, pendapatan pekerjaan dan semangat kerja karyawan. Adapun filsafat Taylor memiliki 4 prinsip yang ditetapkan yaitu :
• 1. Pengembangan manajemen ilmiah secara benar.
• 2. Pekerjaan diseleksi secara ilmiah dengan rnenempatkan pekerjaan yang cocok
• untuk satu pekerjaan.
• 3. Adanya pendidikan dan pengambangan ilmiah dari para pekerja.
• 4. Kerjasama yang baik antara manajernen dengan pekerja.
• Dalam menerapkan ke-empat prinsip ini, beliau menganjurkan perlunya revolusi mental di kalangan manajer dan pekerja. Adapun prinsip-prinsip dasar menurut Taylor mendekati ilmiah adalah :
• 1. Adanya ilmu pengetahuan yang menggantikan cara kerja yang asal-asalan.
• 2. Adanya hubungan waktu dan gerak kelompok.
• 3. Adanya kerja sarna sesama pekerja, dan bukan bekerja secara individual.
• 4. Bekerja untuk hasil yang maksimal.
• 5. Mengembangkan seluruh karyawan hingga taraf yang setinggi-tingginya, untuk
• tingkat kesejahteraan maksimum para kaayawan itu sendiri dan perusahaan.
Periode Peralihan
• Mary Parker Folett (1868-1933)
• Mary percaya bahwa adanya hubungan yang harmonis antara karyawan dan manajemen brdasar persamaan tujuan, namun tidak sepenuhnya benar untuk memisahkan atasan sebagai pemberi perintah dengan bawahan sebagai penerima perintah.
• Beliau menganjurkan kedudukan kepemimpinan dalam organisasi, bukan hanya karena kekuasaan yang bersumber dari kewenangan formil, tapi haruslah berasal dari pada pengetahuan dan keahliannya sebagai manajer.
• • Oliver Sheldon (1894 -1951)
• Filsafat rnanajemen yang pertama kali ditulis dalam bukunya pada tahun 1923, yang menekankan tentang adanya tanggung jawab sosial dalam dunia , usaha, sehingga etika sarna pentingnya dengan ekonomi alam manajemen, dalam arti melakukan pelayanan barang dan jasa yang tepat dengan harga yang wajar
• Kepada masyarakat. Manajemen juga harus memperlakukan pekerja dengan adil dan jujur. Beliau menggabungkan nilai-nilai efisiensi manajemen ilmiah dengan etika pelayanan kepada masyarakat.
• • Ada 3 prinsip dari Oliver, yaitu :
• a. Kebijakan, keadaan dan metoda industri haruslah sejalan dengan kesejahteraan masyarakat.
• b. Manajemen seharusnyalah mampu menafsirkan sangsi moral tertinggi masyarakat sebagai keseluruhan yang memberi makna praktis terhadap gagasan keadilan sosial yang diterima tanpa prasangka oleh masyarakat.
• c. Manajemen dapat mengambil prakarsa guna meningkatkan standar etika yang umum dan konsep keadilan sosial.
• • ChesterL. Barnard (1886 -1961)
• Berdasarkan kesukaannya dalam bacaan-bacaan sosiologi dan filsafat, kemudian Bernard merumuskan berbagai teori tentang kehidupan organsasi.
• Menurut dia rnanusia itu masuk organisasi karena ingin mencapai tujuan pribadinya melalui pencapaian tujuan organisasi yang tak mungkin dapat dicapainya sendiri.
• Chester L. Bernard beasumsi bahwa perusahaan akan berjalan efisien dan hidup terus, apabila dapat menyeimbangkan antara pencapaian tujuan dan kebutuhan individu. Beliau juga menyatakan peranan organisasi informal sangat menentukan suksesnya suatu tujuan perusahaan.
Teori Perilaku
• Kontribusi studi perilaku ada dua kelompok, yatu memberikan penekanan pada
• orang yang ada dalam pekerjaan dari pada jenis pekerjaan itu sendiri.
• • Hawthorne merupakan bagian dari human relation movement (gerak-gerik hubungan
• manusia), pertama memahami mengenai ornag yang bekerja dalam organisasi
• • Kelompok system social, menghasilkan kumpulan materi organizational behaviour
• (perilaku organisasi)
• Reaksi berantai yang menghubungkan kebutuhan pekerja dengan perusahaan adalah:
• 1 . Mengetahui kebutuhan bekerja
• 2 . Memotivasi pekerja untuk melakukan pekerjaan demi tercapainya tujuan
• perusahaan
• 3 . Kerja dijalankan
• 4 . Tercapainya tujuan perusahaan
Teori Kuantitatif
ditandai dengan berkembangnya team-team riset operasi dalam pemecahan masalah-
masalah industri yang didasarkan atas suksesnya team riset operasi Inggris.
Langkah-langkah pendekatan management science:
a . Perumusan masalah
b . Penyusunan suatu model sistemastis
c . Mendapatkan penyelesaian dari model
d . Pengujian model dan hasil yang didapatkan dari model
e . Penerapan pengawasan atas hasil-hasil
f. Pelaksanaan hasil dalam kegiatan implementasi
Evolusi Teori Manajemen
1. Dominan, yaitu aliran yang muncul karena adanya aliran lain. Pengkajian dari masing- masing aliran masih dirasakan bermanfaat bagi pengembangan teori manajemen.
2. Divergensi, yaitu dimana ketiga aliran masing-masing berkemabng sendiri-sendiri tanpa memanfaatkan pandangan aliran-aliran lainnya.
3. Konvergensi, yang menampilkan aliran dalam satu bentuk yang sarna sehingga batas antara aliran nlenjadi kabur. Perkembangan seperti inilah yang sudah terjadi sekalipun bentuk pengembangannya tidak seimbang karena masih terlihat bentuk dominan dari satu rnazhab terhadap yang lain.
4. Sintesis, berupa pengembangan menyeluruh yang lebih bersitat integrasi dari aliran-aliran seperti yang kemudian tampil dalam pendekatan sistem dan kontingensi.
5. Proliferasi, merupakan bentuk perkembangan teori manajemen dengan munculnya teori-teori manajemen yang baru yang memusatkan perhatian kepada satu permasalahan manajenlen tertentu
Sumber :
http://aa-manajemen.blogspot.com/2010/03/evolusi-teori-manajemen.html
http://www.slideshare.net/iwanpalembang/evolusi-teori-manajemen
http://brandhoz.wordpress.com/2010/09/30/evolusi-teori-manajemen/

eori Kebijakan Publik /Pendidikan


BAB I
PENDAHULUAN

Bagi orang-orang yang berkompeten terhadap bidang pendidikan akan menyadari bahwa pendidikan kita sampai saat ini masih mengalami “sakit”. Dunia pendidikan yang sakit ini disebabkan karena pendidikan yang seharusnya membuat manusia menjadi manusia, tetapi dalam kenyataannya seringkali tidak demikian. Seringkali kepribadian manusia cenderung direduksi oleh sistem pendidikan yang ada.
Hal tersebut diatas disebabkan beberapa persoalan. Pertama adalah bahwa pendidikan di Indonesia menghasilkan “manusia robot”. Karena pendidikan yang diberikan belum seimbang. antara belajar yang berpikir (kognitif) dan perilaku belajar yang merasa (afektif). Jadi unsur integrasi cenderung semakin hilang, yang terjadi adalah disintegrasi, kedua, sistem pendidikan yang top down (dari atas ke bawah) atau kalau menggunakan istilah Paula Freire (tokoh pendidik Amerika Latin) adalah pendidikan gaya bank.[1] Sistem pendidikan ini sangat tidak membebaskan karena peserta didik dianggap sebagai manusia yang tidak tahu apa-apa, ketiga, model pendidikan yang hanya diorientasikan kepada manusia yang dihasilkan,pendidikan ini hanya siap untuk memenuhi kebutuhan zaman dan tidak bersikap kritis terhadap zamannya.
Manusia sebagai objek (wujud dehumanisasi) merupakan fenomena yang justru bertolak-belakang dengan visi humanisasi, hal ini menyebabkan manusia tercerabut dari akar-akar budayanya. Mampukah kita menjadikan lembaga pendidikan sebagai sarana interaksi kultural untuk membentuk manusia yang sadar akan tradisi dan kebudayaan serta keberadaan masyarakatnya sekaligus juga mampu menerima dan menghargai keberadaan tradisi dan budaya situasi masyarakat lain. Dalam hal ini, makna pendidikan menurut Ki Hajar Dewantara menjadi sangat toleran untuk direnungkan.
Indonesia sudah lebih dari 60 tahun merdeka, tetapi belum memiliki kualitas sumber daya manusia yang memadai. Hal ini antara lain disebabkan oleh karena kualitas penyelenggaraan dan hasil pendidikan dari berbagai jalur, jenjang dan jenis pendidikan belum memadai.[2] Dewasa ini pendidikan nasional kurang menjanjikan, hal ini dikerenakan kebijakan pendidikan yang tidak konsisten sehingga mengakibatkan fatal terhadap pembinaan generasi mudah dan nasib negara / bangsa Indonesia. Dunia dewasa ini IPTEK berkembang dengan sangat pesat, yang perlu diikuti oleh strategi pendidikan nasional yang tepat pula agar dapat terbina sumberdaya manusia Indonesia yang berkualitas sehingga dapat mempertahankan diri dari arus perubahan global. Pemahaman mengenai kebijakan pendidikan dan kebijakan publik sudah menjadi kebutuhan dalam masyarakat Indonesia modern. Armada tenaga profesional pendidik yang sangat besar dapat membentuk kelompok intelektual organis yang maha dahsyat kekuatannya sebagai agen perubahan masyarakat Indonesia abad XXI.[3]
Dalam konteks apapun, pendidikan merupakan sebuah basis vital. Ketika pendidikan sudah tidak lagi mampu memberi input positif maka semuanya akan hancur. Oleh karena itu, tanpa harus berargumen, pernyataan pendidikan harus mendapat perhatian khusus perlu menjadi kesepakatan bersama. Dalam konteks ini, pendidikan yang mendapat tanggung jawab besar atas keberlangsungan suatu peradaban manusia, perlu menetapkan kebijakan-kebijakan yang dapat diimplementasikan dengan seksama.
Berbicara mengenai kebijakan pendidikan tidak dapat dilepaskan dengan keadaan politik. Keterkaitan pendidikan dan politik yang ada pada suatu negara hampir sulit untuk dipisahkan, karena pendidikan mempunyai peran yang besar terhadap negara melalui lembaga pendidikan untuk mendidik warga negara agar dapat berguna dan berhasil bagi negara tersebut.[4] Realita pendidikan di Indonesia dapat dikatakan berjalan tertatih-tatih (tadak sesuai dengan harapan) sejak awal kemerdekaan, mulai dari orde lama (1945-1965), pada masa orde baru (1965-1998) dan pada masa orde reformasi (1998-2003) pendidikan nasional belum memberi hasil yang optimal.[5] Kegagalan-kegagalan pendidikan di Indonesia pada dasarnya berakar pada persoalan ketiadaan kerangka pembangunan pendidikan nasional jangka panjang yang aspiratif, demokratis dan partisipatif serta tidak adanya konsistensi dan kesinambungan dalam melaksanakan rencana yang sudah ada yang tidak tergantung dengan masa jabatan menteri.[6]
Hal ini dapat dilihat adanya pergantian pemerintah sebanyak 5 kali. Dengan adanya kebiasaan pergantian pemerintahan, maka berganti pula kabinet yang menduduki jabatan pemerintahan dan secara otomatis kabinet tersebut juga memunculkan kebijakan- kebijakan yang baru pula termasuk kebijakan pendidikan pada bidang kurikulum.[7] Sebagai contoh sebelum Indonesia merdeka setidaknya telah terjadi dua kali perubahan kurikulum, yang pertama ketika di jajah belanda kurikulum disesuaikan dengan kepentingan politiknya. Kedua ketika dijajah Jepang kurikulum disesuaikan dengan kepentingan politiknya yang bersemangatkan kemiliteran dan kebangunan Asia Timur Raya. Kemudian setelah Indonesia merdeka pra orde baru terjadi pula dua kali perubahan kurikulum, yang pertama dilakukan dengan dikeluarkannya rencana pelajaran tahun 1947 yang menggantikan seluruh sistem pendidikan kolonial, kemudian pada tahun 1952 kurikulum ini mengalami penyempurnaan dan diberinanama rencana Pelajaran terurai 1952. Perubahan kedua terjadi dengan dikeluarkannya rencana pendidikan tahun 1964, perubahan tersebut terjadi karena merasa perlunya peningkatan dan pengejaran segala ketertinggalan dalam ilmu pengetahuan khususnya ilmu-ilmu alam dan matematika.
Saat orde baru terlahirpun kurikulum mengalami beberapa kali perubahan. Perubahan pertama terjadi dengan dikeluarkannya kurikulum 1968 yang didasari oleh adanya tuntutan untuk mengadakan perubahan secara radikal pemerintahan orde lama dalam segala aspek kehidupan termasuk pendidikan. Perubahan kedua terjadi dengan diterbitkannya kurikulum tahun 1975 (disempurnakan dengan kurikulum 1976 dan 1977). Perubahan ketiga terjadi dengan diberlakukannya kurikulum tahun 1984. Dan Perubahan keempat terjadi Ketika di negara kita diberlakukan Undang-undang Sistem pendidikan Nasional (UUSPN) pada tahun 1989 beserta seperangkat peraturan pemerintah yang mengatur lebih lanjut pelaksanaan UUSPN tersebut, menyebabkan perlunya pembuatan atau penyusunan kurikulum yang sesuai dengan rumusan pasal-pasal yang tercantum dalam UUSPN dan peraturan pemerintahnya. Maka pada Tahun 1994 di negara kita diberlakukan kurikulum baru sesuai dengan keputusan menteri Pendidikan dan Kebudayaan Nomor 060/U/1993 tanggal 25 Februari 1993.[8]
Perubahan dan perbaikan kurikulum itu wajar terjadi dan memang harus terjadi, karena kurikulum yang disajikan harus senantiasa sesuai dengan segala perubahan dan perkembangan yang terjadi. Hal ini sebagaimana dikemukakan oleh Subandijah, Apabila kurikulum itu dipandang sebagai alat untuk mencapai tujuan pendidikan, maka kurikulum dalam kedudukannya harus memiliki sifat anticipatori,bukan hanya sebagai reportorial. Hal ini berarti bahwa kurikulum harus dapat meramalkan kejadian di masa yang akan datang, tidak hanya melaporkan keberhasilan peserta didik.[9] Hal senada juga diungkapkan oleh Syafaruddin, Perubahan merupakan suatu keniscayaan. Karena itu, setiap bangsa yang ingin eksis dan berkembang dituntut untuk mampu mengantisipasi setiap perubahan dan perkembangan politik, ekonomi, pendidikan, social, dan budaya.[10]
Namun dengan adanya perubahan tentu harus melalui perumusan tentang kebijakan pendidikan, Sebelum diimplementasikan hasil kebijakan yang telah dirumuskan, maka hendaknya dikomunikasikan secara terus menerus kepada khalayak. Supaya khalayak memahaminya lebih dalam, sebab tidak diterimanya suatu kebijakan tersebut, bisa jadi bukan karena kebijakan yang dirumuskan tersebut kurang asfiratif, melainkan karena belum dipahami secara mendalam oleh khalayak.[11]ketika komunikasi minim dilakukan maka akan menyebabkan kurang saling memahami dan tidak ada kemesraan yang akhirnya timbul saling mencurigai satu sama lain yang kemudian terjadi demo dan bentrok.
Dalam realita, di dunia ini tak ada negara yang tak turut campur atas pendidikan warga negaranya, maka di dunia pendidikan juga ada potensi-potensi konfliknya, terutama yang berkaitan dengan upaya menjembatani antara kepentingan masyarakat dan pemerintah. Karena masyarakat bertekat mewariskan kepentingan-kepentingannya sendiri kepada generasinya, sementara pemerintah juga berkepentingan dengan mendidik warga negara yang baik menurut paham pemerintah, maka tak mustahil antara mesyarakat dan pemerintah berlawanan. Tawar-menawar antara banyaknya kepentingan lembaga- lembaga, masyarakat, politik yang mesti dimasukkan ke dalam kurikulum adalah salah satu wujud dari sekian banyak terjadinya konflik kepentingan antara keduanya. Kerena itu dibutuhkan pengaturan.







BAB II
PEMBAHASAN

A. Konsep Analisis Kebijakan Pendidikan
Berbagai corak para ahli dalam menginterpresasikan konsep analisis kebijakan, salah satunya Duncan macrae ia mengartikan analisis kebijakan sebagai suatu disiplin ilmu sosial terapan yang menggunakan argumentasi rasional dengan menggunakan fakta-fakta untuk menjelaskan, menilai dan membuahkan pemikiran dalam rangka upaya masalah publik. Analisis kebijakan sebagai cara atau prosedur dalam menggunakan pemahaman manusia terhadap dan untuk memecahkan masalah kebijakan.
Menurut penelaah sektor pendidikan analisis kebijakan pendidikan adalah suatu proses yang dapat menghasilkan informasi teknis sebagai salah salah satu masukan bagi perumusan beberapa alternatif kebijakan yang didukung oleh informasi teknis. Dunn membagi analisis kebijakan menjadi dua dimensi yang besar pertama dimensi rasional dan kedua dimensi politik yaitu suatu proses penentuan kebijakan melalui suatu perjuangan politik dari beberapa kelompok kepentingan yang berbeda- beda. Sedangkan menurut Patton dan sawacki ialah suatu reaksi antara pembuat keputusan dengan para pemikir atau analisis dalam rangka memecahkan masalah-masalah kebijakan yang terjadi secara berkelanjutan pula, dengan demikian yang dimaksud analisis kebijakan yang di kemukakan adalah suatu proses pengelolaan pemecahan masalah.[12]

Sebelum lebih jauh membahas kebijakan pendidikan, terlebih dahulu penulis menjelaskan kebijakan public. Secara etimologi kebijakan merupakan terjemahan dari kata policy dalam bahasa inggris. Dalam bahasa latin politiayang berarti Negara, polis disebut dalam bahasa bahasa yunani yang berarti kota dan kata pur dalam bahasa Sanskrit berarti kota serta police dalam bahasa inggris berarti adminisrasi pemerintah. Berdasarkan asal kata ini menghasilkan tiga jenis pengertian yang sekarang ini dikenal dengan politic, policy, polici. Politic berarti seni dan ilmu pemerintah the art and science of government, sedangkan policy berarti hal-hal mengenai kebijakan pemerintah, sedangkanpolice berartihal-hal yang berkernaan dengan pemerintahan adapun kebijakan pendidikan terjemahan dari educational policy.[13] Menurut Charles O.Jones, istilah kebijakan Polity trem digunakan untuk menggantikan kegiatan atau keputusan. Istilah kebijakan atau polity digunakan untuk menunjuk prilaku seorang aktor yaitu seorang pejabat, suatu kelompok maupun suatu lembaga pemerintahan).[14] Maka sebuah kebijakan merupakan putusan seorang pemimpin atau yang mempunyai wewenang dalam sebuah lembaga.
Secara terminologi kebijakan publik menurut Robert Eyestone ialah hubungan suatu unit pemerintah dengan lingkunganya. Kebijakan publik adalah kebijakan pemerintah yang dengan kewenangannya dapat memaksa masyarakat untuk mematuhinya. Kebijakan publik adalah hasil pengambilan keputusan oleh manajemen puncak baik berupa tujuan, prinsip maupun aturan yang berkaitan dengan hal-hal strategis untuk mengarahkan para menajer dan personel dalam menentukan masa depan organisasi yang berimplikasi bagi kehidupan masyarakat.[15]
Jika mengakaji kebijakan publik para ahli dalam mengungkapkan konsep kebijakan muncul berbagai variasi namun pada dasarnya mempunyai pandang yang sama seperti menurut Anderson yang dikutib oleh Budi Winarno bahwa kebijakan merupakan arah tindakan yang mempunyai maksud yang ditetapkan oleh seorang aktor atau sejumlah aktor dalam mengatasi suatu masalah atau suatu persoalan. Menurut Amir Santoso dalam sudut pandangnya bahwa kebijakan publik terdiri dari dua ranah yaitu ranah pertama dengan menyamakan kebijakan publik dengan tindakan – tindakan pemerintah dan pada ranah kedua bahwa kebijakan publik sebagai keputusan-keputusan pemerintah yang mempunyai tujuan dan maksud-maksud tertentu dan menganggap kebijakan publik memiliki akibat-akibat yang bisa diramalkan.[16]




Bagan. 1




Maka dapat di katakan bahwasannya kebijakan publik di pandang sebagai proses perumusan, implementasi dan evaluasi kebijakan, dari sini dapat kita lihat bahwa lembaga-lembaga pemerintahan atau aktor yang legitimasi dalam mengeluarkan serangkaian intruksi kepada pelaksana kebiajakan yang menjelaskan tujuan-tujuan dan cara-cara untuk tercapainya tujuan. Sebuah kebijakan tidak mungkin terjadi dengan sendirinya melainkan adanya perencanaan dari sebuah fenomena–fenomena dan masalah yang muncul secara publik yang menjadi petunjuk arah bagi pelaksana kebijakan agar tujuan dari solusi permasalahan dapat terimplementasikan sehingga tercapainya tujuan yang di inginkan.
Menurut Carl J Friderick, kebijakan itu adalah serangkaian tindakan yang diusulkan seseorang, kelompok atau pemerintah dalam suatu lingkungan tertentu dengan menunjukkan hambatan-hambatan dan kesempatan terhadap pelaksanaan usulan kebijaksanaan tersebut dalam rangka mencapai tujuan tertentu.[17] Hal ini dapat dipahami bahwa kebijakan itu adalah sebuah usulan yang mengesankan terciptanya sebuah tindakan yang menginginkan tercapainya suatu tujuan. Maka kebijakan dapat diartikan sebagai keputusan pemerintah (as decision of government ), sebagai bentuk pengesahan formal (as formal authorization), sebagai program (as programme), sebagai keluaran (as output), sebagai hasil akhir ( as outcome ), sebagai suatu teori atau model ( as a theory or model ), sebagai proses ( as process ).
Berbicara pendidikan tentunya yang terbayangkan secara global seluruh kegiatan pembelajaran baik dengan guru maupun dengan lingkungan dan pengalaman, baik bersifat formal, non formal maupun informal jika menyelam khusus maka tergambar dalam pendidikan ialah sebuah proses pembelajaran yang didalamnya terdiri dari lembaga-lembaga, guru, siswa materi tempat bertemunya guru dan siswa dll.
Pendidikan adalah aktivitas atau upaya yang sadar dan terencana, dirancang untuk membantu seseorang mengembangkan pandangan hidup, sikap hidup, dan keterampilan hidup, baik yang bersifat manual, maupun mental dan social.[18]Pendidikan merupakan : a) usaha manusia untuk meningkatkan kepribadiannya dengan jalan membina potensi-potensi jasmani dan rohani yang sifatnya indrawi dan keterampilan tertentu, dan rohaninya yang berkaitan dengan olah pikir, olah rasa, karsa, cipta, dan perilaku etika atau budi/susila, b) Institusi yang bertanggung jawab menetapkan cita-cita dan tujuan pendidikan, system dan organisasi pendidikan, baik pendidikan dalam lembaga keluarga, masyarakat, sekolah dan Negara, c) Berkaitan dengan hasil yang dicapai dalam pendidikan dan mampu meningkatkan kebudayaan masyarakat yang lebih baik dari sebelumnya, sebagaimana masyarakat lebih dewasa berfikir, lebih teknologis dalam menjalani kehidupan, dan rasional, efektif, efesien dalam melakukan berbagai jenis obyek kerja.[19]
Kebijakan pendidikan merupakan kebijakan publik di bidang pendidikan, kebijakan publik berkenaan dengan segala kebijakan yang di ambil oleh pemerintah seperti kebijakan ekonomi, kebijakan hukum, kebijakan hukum, kebijakan agama dan lainnya yang menyangkut dengan problem warga negara, jika di gambarkan sebagai bagan berikut:
Bagan. 2











Maka berbicara kebijakan pendidikan sama halnya dengan kebijakan publik namun mengkhususkan pada bidang pendidikan yang merupakan gabungan kata policy education. Kebijakan pendidikan pada hakikatnya berupa keputusan yang subtansinya adalah tujuan, prinsip dan aturan-aturan. Format kebijakan biasanya dicatat dan dituliskan untuk dipedomani oleh pimpinan, staf dan personel organisasi, serta interaksinya dengan lingkungan eksternal. Wujud dari kebijakan pendidikan ini biasanya berupa undang-undang pendidikan, intruksi, peraturan pemerintah, keputusan pengadilan, peraturan menteri, dan sebagainya menyangkut pendidikan. [20]
Tidak jauh berbeda dalam hal ini Hough juga menegaskan sejumlah arti kebijakan. Kebijakan bisa menunjuk pada seperangkat tujuan, rencana atau usulan, program-program, keputusan-keputusan, menghadirkan sejumlah pengaruh, serta undang-undang atau peraturan-peraturan.[21]
Bertitik tolak dari uraian di atas dapat di simpulkan bahwa kebijakan pendidikan ialah seperangkat ketetapan, peraturan yang di usung pemerintah berdasarkan permasalahan yang timbul di bidang pendidikan yang dimulai dengan perumusan, penetapan, implementasi hingga pada evaluasi terhadap sistem pendidikan guna tercapainya tujuan pendidikan yang harus dilaksanakan. Sebagai contoh Ujian Nasional yang menjadi alat ukur yang di terapkan oleh pemerintah dalam menilai kualitas pendidikan yang menghasilkan pengaruh dan berdampak pada sistem pendidikan ini merupakan sebuah terobosan kebijakan pendidikan sebagai usaha mencapai tujuan pendidikan yang berkualitas walaupun terdapat pro dan kontra disaat implementasi berlangsung.

B. Dinamika Politik Dalam Kebijakan Pendidikan
Carut marutnya pendidikan kita tidak terlepas dari campur tangan pemerintah sebagai pemangku kebijakan. Politik pendidikan nasional sejatinya memberi andil, untuk tidak dikatakan menjadi penyebab utama, karena apa yang terjadi di lapangan adalah manifestasi dari regulasi yang ada. Setiap undang-undang sistem pendidikan nasional pastilah tidak steril dari berbagai kepentingan, utamanya kepentingan pragmatis dan kepentingan ideologis. Kepentingan pragmatis dapat berupa upaya mempertahankan kekuasaan atau mengeruk materi, sedangkan kepentingan ideologis berkaitan dengan upaya menggiring masyarakat pada ideologi atau paham tertentu yang dikehendaki penguasa.
Hidup adalah masalah, begitulah persepsi kebanyakan orang, masalah terbagi dua bagian pertama masalah pribadi yaitu masalah yang hanya dialami oleh satu orang dan orang tersebut mampu menyelesaikan masalah yang muncul dan masalah kelompok, kedua golongan atau masalah publik yaitu suatu masalah yang menyerap perhatian khalayak ramai yang mempunyai tujuan yang sama hingga pada pelaksanaanya. Maka masalah pendidikan yang merupakan bagian dari masalah publik, ini dapat dikatakan masalah prosuderal dengan regulasi, yang dapat menyedot perhatian publik. Dengan otomatis politik bermain di dalamnya, namun tidak semua masalah yang muncul menjadi masalah namun pada sekelompok golongan atau seseorang menjadi sebuah keuntungan terhadap masalah yang muncul.
Pendidikan dan politik adalah dua elemen penting dalam sistem sosial politik di setiap negara, baik negara maju maupun negara berkembang. Keduanya sering dilihat sebagai bagian-bagian yang terpisah yang satu sama lain tidak memiliki hubungan apa-apa. Padahal keduanya bahu membahu dalam proses pembentukan karakteristik masyarakat di suatu negara.[22] Kata politik didalam kamus bahasa Indonesia adalah pengetahuan tentang ketatanegaraan atau kenegaraan seperti tatacara pemerintah, dapat pula diartikan segala urusan tindakan, kebijakan, siasat, dan sebagainya mengenai pemerintah suatu negara atau negara lain[23]
Politik pendidikan adalah suatu pendekatan atau metode yang didasarkan kepada kebudayaan nasional untuk mempengaruhi pihak-pihak yang memiliki kekuasaan atau wewenang untuk mencapai tujuan pendidikan nasional. Politik pendidikan yang menjadi panduan dalam perjalanan pendidikan nasional, dengan adanya politik pendidikan maka akan terbentuk konsep yang tepat, kuat,dan kokoh. Yang nantinya diharapkan pendidikan mampu melahirkan sumber daya manusia yang memiliki kecerdasan baik secara intelektual, emosional, maupun sosial.[24]
Selama ini pendidikan, jarang digunakan sebagai instrumen politik dalam menentukan arah dan bentuk masa depan. Pendidikan lebih banyak menjadi korban politik dan bukan katalis politik dalam mewujudkan visi dan misi pembangunan. Implikasi nyata dari kesadaran ini, yaitu perlunya pemberdayaan pendidikan sebagai bagian penting dari proses politik di Indonesia, khususnya politik karakter bangsa bagi pembangunan negara yang absolut. Pendidikan adalah instrumen penting dalam membangun karakter bangsa dan pembangkitan kesadaran atau nasionalisme bangsa. Sayangnya, kita belum mampu merumuskan dan atau menggunakan pendidikan sebagai katalis pembangunan, atau pendidikan sebagai instrumen politik kebangsaan. [25] Politik pendidikan adalah sektor penting bagi masa depan Indonesia. Sebab, dengan politik pendidikan ini, Indonesia bisa menentukan potret hari esok dari saat ini.
Setiap kesuksesan suatu negara dilandasi oleh pendidikan yang kokoh. Kesuksesan dalam politik, ekonomi, sosial, budaya, maupun agama dilandasi oleh suksesnya pendidikan. Pendidikan merupakan soft power, kekuatan sejati yang tidak kasat mata, tetapi semua orang memerlukan dan merasakan kekuatannya. Pendidikan memberikan pengaruh politis yang amat besar dalam kehidupan manusia. Manusia yang terdidik dengan baik dan sehat ia akan mampu mengkreasi diri untuk mengubah pendidikan menjadi media berpolitik yang sehat dan sekaligus mampu mendidik politik lewat pendidikan. Pendidikan politik dan politik pendidikan bisa berintegrasi, interkoneksi, tetapi juga bisa bermusuhan.
Tokoh liberalisme pendidikan asal Amerika Latin Paulo Freire menegaskan bahwa bagaimanapun kebijakan politik sangat menentukan arah pembinaan dan pembangunan pendidikan. Freire memandang politik pendidikan memiliki nilai penting untuk menentukan kinerja pendidikan suatu negara. Bangsa yang politik pendidikannya buruk, maka kinerja pendidikannyapun pasti buruk. Sebaliknya, negara yang politik pendidikannya bagus, kinerja pendidikannya pun juga akan bagus.[26]
Hubungan timbal balik antara politik dan pendidikan dapat melalui tiga aspek, yakni: pembentukan sikap kelompok (Group Attitudes), masalah pengangguran (unemployment), serta peranan politik kaum cendekia (the political role of the intelegensia). Hubungan antara politik dan pendidikan terwujud ke dalam berbagai bentuk yang berbeda-beda, sesuai dengan karakteristik seting sosial politik dimana hubungan itu terjadi. Negara-negara berkembang, pendidikan formal memiliki peran yang penting dan nyata dalam mencapai perubahan politik dan dalam proses regenerasi pemimpin elite politik baru. Proses dan lembaga-lembaga pendidikan memiliki aspek dan wajah politik yang banyak, serta memiliki beberapa fungsi penting yang berdampak pada sistem politik, stabilitas, dan praktik sehari-harinya. Pendidikan merupakan wilayah tanggung jawab pemerintah yang besar. Pendidikan publik bersifat politis karena dikontrol oleh pemerintah dan memengaruhi kredibilitas pemerintah.[27]
Problema-problema pendidikan kita semakin kompleks dan semakin sarat dengan tantangan. Kebijakan dan program-program pemerintah untuk meningkatkan mutu pendidikan, nampak tidak memberi jawaban solutif terhadap permasalahan-permasalahan pendidikan yang berkembang. Kebijakan dan perubahan-perubahan pendidikan, kurang memliki “prioritas” yang ingin dicapai. Adapun kasus –kasus yang muncul terhadap pendidikan sangat beragam namun yang akan di ungkapkan hanya beberapa saja yang menjadi perwakilan dari kasus –kasus yang ada yaitu:[28]
a. Kaum Miskin Bersekolah, sudah menjadi rahasia umum bahwa pendidikan yang mahal dan fovorit hanya untuk anak-anak kalangan elit saja yang mampu bersaing dalam merebut kursi. Ironisnya mayoritas penduduk Indonesia miskin dengan demikian tidak ada tempat bagi kaum miskin. Ini disebabkan karena pendidikan yang sangat mahal hingga pada setiap akhir tahun ajaran baru orang tua berduyun-duyun menuju pegadaian untuk memenuhi biaya sekolah anaknya yang bermutu. Jika pada kaum miskin sangat menyedihkan pendidikan hanya sekedar didapat agar bisa membaca, menulis dan berhitung sedangkan bagi mereka yang mempunyai modal dan kekuasan akan memperoleh pendidikan yang bermutu. Disini menimbulkan pertanyaan apakah sekolah bermutu hanya di peruntukan bagi golongan yang mempunyai finansial yang tinggi? Siapakah yang bertanggung jawab?
b. Ironi Pendidikan Sebagai Ladang Bisnis. Orientasi sistem pendidikan nasional tidak jelas, selain terlalu menegara, juga ada tujuan dan fungsi yang dikaburkan, ketidak jelasan ini membuat orientasi sekolah hanya untuk proyek investasi. Inilah yang membuat sekolah menjadi alat untuk mencari posisi daan kedudukan belaka, demi ini proses untuk membawa siswa pada kesadaran akan kedewasaan tidak lagi menjadi orientasi mendasar yang penting adalah yang terlihat di permukaan. Fenomena ini membuat sekolah menjadi mahal karena dunia pendidikan sudah menjadi ladang bisnis, bisnis pendidikan sangat menjanjikan bagi bangsa yang gila gelar. Karena itu jangan heran jika kualitas pendidikan hanya di jadikan topeng semata, kualitas pendidikan hanya di kompromikan dengan selera pasar, ironinya sekolah bukan tempat menjadikan anak yang berintelektual melainkan sebagai alat peroleh status sosial. Orang tua akan bangga jika anaknya diterima di sekolah yang favorit dan mahal meskipun bagi sang anak menjadi beban, yang penting gengsi orang tua akan naik tanpa memperhatikan kemampuan anaknya. Pendidikan hanya berusaha beagaiamana membekali siswa dengan rumusan-rumusan teori saja siswa bukan diajak untuk berproses menjadi manusia. Jika pendididkan lantas terjerumus kedalam dunia bisnis maka akan berlaku siapa yang mempunyai uang dia bisa membeli pendidikan. Akibatnya anak miskin tidak terperhatikan, anak miskin tidak pernah di pertimbangkan untuk mendapatkan sekolah bermutu, bahkan tidak mendapat pendidikan dan sepertinya anak miskin sudah distigmatisasikan sebagai orang yang di buang dari sturuktur masyarakat. Maka perlu di pertanyakan adakah sekolah yang bermutu dan berkualitas unggul untuk kaum miskin?
c. Komersialisasi dan keprihatinan kritikus pendidikan. Pendidikan sebagai barang dagangan sudah menjadi keprihatianan pemikir-pemikir terdahulu seperti Ivan Illich, paulo Freire, margareth Mead, Nicholas Abercromble, immanuel Wallerstein, Louis Althusser, Pierre Bourdieu dll, mereka telah mengingatkan bahwa lembaga pendidikan bukanlah media untuk memberikan distribusi yang adil terhadap penyaluran pengetahuan informasi bagi semua fihak pendidikan bukan hanya untuk dimonopoli oleh yang bermodal. Sistem pendidikan modern telah berhasil menindas kaum miskin agar mereka tak mampu hidup mandiri, ini berdasarkan ungkapan Romo Wahono menurutnya sistem pendidikan diIndonesia berpola model pendidikan anjing, model ini bersifat hafalan, kepada tuhan, sistem komando, subordinasi dan sistem militerisik, siswa bukan di jadikan subjek yang mandiri melainkan sebagai objek kepatuhan guru. Seharusnya pendidikan mampu memerdekakan seseorang dari ketergantungan modal dan subordinasi kekuasaan, dinegara kita pendidikan lepas dari realitas kehidupan hingga lulusan sekolah tidak mampu berinovasi dan berkreasi karena pendidikan hanya sekedar memperoleh ijazah dan gelar bukan proses pemerdekaan yang membawa pada pencerahan.
d. Pendidikan gratis hanya sebagai Komoditas politik, melihat keadaan bangsa Indonesia sangat menyedihkan kenapa tidak, pendidikan merupakan sarana yang sangat bermutu bagi elit politik untuk menyukseskan tujuan politiknya, lihat saja pada setiap pemilihan presiden, legislatif, gubernur, hingga wallikota sekalipun semua meneriakkan janji politik dengan pendidikan gratis, sudah menjadi tradisi penguasa dalam berjanji dan tidak maksimal dalam menepati, tidak terkecuali, berbeda halnya dengan negara diluar Indonesia masyarakat melakukan pengawasan terhadap semua janji politik jika dalam durasi waktu tiga bulan tidak terealisasi, maka masyarakat menuntutnya. Rakyat Indonesia seolah-olah melupakan janji para elit politik maka kita harus mengingat bahwa rakyat kita bukan pelupa dengan janji palsu merangkai menggunakan kemanisan lidah. Lebih memilukan dimana perhatian pemerintah kepada rakyat miskin. Jangankan memenuhi kebutuhan sekolah untuk makan saja mereka tidak mempunyai uang.
Cita-cita pendidikan adalah mewujudkan manusia menjadi beradab dan berbudi pekerti luhur, manusia yang berperasaan dan menghargai hakikat manusia lainnya sebagai sesama yang harus dicintai, pendidikan memperlakukan manusia sebagai manusia tidak peduli berasal dari keluarga kaya atau keluarga miskin, sebab pendidikan merupakan wilayah netral yang bisa dimasuki oleh siapa saja tanpa memandang identitas, pendidikan bersifat objektif, rendahnya kualitas pendidikan secara otomatis berdampak pada rendahnya kualitas sumber daya manusia.
Political science adalah ilmu social yang berkenaan dengan deskripsi kekuasaan dan analisis politik. Khususnya institusi pemerintahan yang memproses dan membuat penggunaan fakta dan metode dari ilmu social. Politik kekuasaan secara sederhana ialah menentukan siapa memperoleh apa, dimana, dan kapan. Politik sebagai jenis khusus usaha seseorang dalam memperjuangkan kekuasaan politik.[29] Dalam teori system social, politik dan pendidikan berada dalam satu system yang saling berhubungan dekat. Apalagi dari kiprahnya, para pendidik selalu memelihara politik karena proses pendidikan yang memberikan sumber nilai dan memberikan kontribusi terhadap politik. Pendidikan memberikan kontrisbusi yang sangat siknifikan terhadap politik teruama stabiliasi dan transformasi system politik.[30]
Dalam laporan Badan Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) untuk bidang pendidikan, United Nation Educational, Scientific, and Cultural Organization (UNESCO), yang dirilis pada Kamis (29/11/07) menunjukkan, peringkat Indonesia dalam hal pendidikan turun dari 58 menjadi 62 di antara 130 negara di dunia. Yang jelas, education development index (EDI) Indonesia adalah 0.935, di bawah Malaysia (0.945) dan Brunei Darussalam (0.965).Mau tidak mau, itu mengilustrasikan bahwa kualitas pendidikan kita pun semakin dipertanyakan. Sebab, tingkat pendidikan Indonesia kian melorot. Alih-alih akan mencerdaskan kehidupan bangsa, itu hanya sebuah utopia. Lalu siapa yang harus disalahkan? Kita harus banyak introspeksi. Disini kita tidak bisa menyalahkan pemerintah seratus persen, kendati pemerintah tetap harus bertanggung jawab atas malapetaka tersebut. Ada beberapa hal yang harus diperhatikan mengapa kualitas pendidikan kita bernasib sedemikian tragis. Pertama, kondisi pemerintah yang sangat kental politis punya peran penting serta signifikan untuk memperkeruh keadaan. Tatkala keadaan pemerintah berpolitis, itu akan menyebabkan atmosfer pendidikan labil, sebut saja dalam hal kebijakan pendidikan yang dilahirkan pemerintah. Sebab, gerbong pemerintah ditarik dua kekuatan besar tak terlihat (invisibile big power) dengan kepentingan politik berbeda saat menentukan sebuah keputusan politik pendidikan tertentu. Diakui atau tidak, itu realitas politik di depan hidung kita semua. Karena itu, wajar pendidikan selalu berada dalam rangkulan kepentingan politik tertentu. Aroma “politik pendidikan penguasa” sangat lekat dalam dunia pendidikan. Untuk melepaskan hal tersebut, ibarat panggang jauh dari api. Kedua, kondisi keuangan negara yang sangat sedikit bisa memperburuk dunia pendidikan. Akibatnya, rakyat tetap buta huruf dan begitu seterusnya. Jangan harap pula, kita bisa menjadi bangsa maju. Roda pembangunan pendidikan yang bisa berjalan dinamis dan konstruktif menjadi bentuk untuk menjawab tamparan keras UNESCO terhadap pendidikan Indonesia.[31]

Indonesia belum mampu memproses manusia yang merdeka dari sikap dan sifat minder, warga negara yang digerakkan oleh mentalitas kuli dan babu yang cendrung menjilat keatas dan menginjak ke bawah yang tidak setia kepada kawan yang mudah menghianati dan menjualnya yang enak dan mudah membunuh nama baik dari sini timbul watak yang tidak membela kepada kebenaran. Perlu adanya revolusi pendidikan dengan mengubah orientasi pendidikan dari watak elitis yakni hanya mengejar-ngejar pangkat, kedudukan tanpa memperhatikan pembentukan karakter manusia dengan mengabaikan hal ini pendidikan hanya mentranfer ilmu saja. Disini muncul krisis kepemimpinan. Instrumen yang di pimpin ialah manusia sistem politik yang berjalan tentunya bersifat otoriter.[32]
Pada proses pendidikan, guru merupakan objek pelaksana pembangunan pendidikan yang dituntut mampu dalam metodelogi pengajaran dan penguasaan subtansi belajar mengajar, guru dimanfaatkan oleh sistem negara yang menatar berbagai proyek untuk berbagai mata pelajaran secara sentral dan terorganisasi oleh birokrasi dengan rapi namun nasib guru tidak pernah di perhatikan sebagai kesatuan pribadi yang mandiri, bahagia dan merdeka dalam proses pelaksanaan pembangunan pendidikan nasional, jadi guru merupakan alat atau insrumen negara bukan milik atau bagian dari masyarakat dalam mendidik dan mendewasakan anak-anak. Disamping itu evaluasi pendidikan dijadikan alat legitimasi kekuasaan birokrasi pendidikan di tingkat pusat, alat evaluasi dilakukan secara terpusat pada standar nasional, bentuk soal multipe choice dan kelompok siswa yang berhasil cendrung kelompok sekolah yang berada di pulau Jawa, di pusat kota-kota yang berbeda dengan kelompok siswa yang berada di pedesaan. Ini sangat tidak adil, tidak hanya itu kurikulum pendidikan tampak condong menempatkan praktik pendidikan sebagai intrumen belaka. Pendiddikan ini hanya menghasilkan manusia yang taat pada kepentingan kekuasaan ini semua karena pendidikan sebagai alat legitimasi politik.[33]















Bagan. 3
Teori Sistem Politik Dalam Kebijakan Publik










Secara teoritik, proses pemecahan atas masalah pendidikan melalui kebijakan dapat dilaksanakan secara sistematik pragmatik, namun secara empiris sering kali berjalan kurang efektif. Efektivitas kebijkan pendidikan selama ini berlangsung tanpa evaluasi dan monitoring yang memadai. Salah satu penyebabnya adalah sulitnya mengendalikan perilaku birokrasi yang diinginkan bangsa Indonesia, kurang dapat berjalan, yang disebabkan oleh tidak adanya unsur masyarakat saat kebijakan hendak diakomodasikan menjadi sebuah program. Padahal sebenarnya kesempatan masyarakat untuk terlibat dan memberikan masukan terhadap suatu kebijakan harus dibuka peluangnya.[34]
Anggaran pendidikan 20%, merupakan produk politik. Namun, keberlakuan UU ini sangat dipengaruhi political will dari elite politik sendiri. Pejabat publik yang memiliki kepentingan politik sektoral yang lebih besar, akan bersikap berbeda dengan pejabat publik yang memiliki kepedulian terhadap kualitas SDM Indonesia masa kini dan masa depan. Keberlanjutan dan kelancaran program pembangunan di Indonesia saat ini, sangat dipengaruhi kepentingan-kepentingan politik. Bahkan, bukan hanya dalam aspek anggaran mulai dari kurikulum, proses, pembenahan sarana pendidikan, dan evaluasi pembelajaran penentuan kelulusan, didalamnya semua yang bermain politik.
Dengan demikian, maka makin jelaslah bahwa pendidikan bisa dipengaruhi oleh dinamika politik, dan atau sebaliknya dinamika politik dipengaruhi oleh masalah pendidikan . Kekuatan politik, ekonomi, sosial, budaya menjadi landasan kelas penguasa dalam menentukan arah tujuan pendidikan. Perlu adanya dorongan atau pengawalan yang dilakukan kaum sipil terhadap kebijakan penguasa, agar tujuan pendidikan tetap pada hakikatnya, yakni memanusiakan manusia tanpa mengekang hak-hak nya sebagai individu seutuhnya.
Banyak para pakar mencemaskan pendidikan nasional dewasa ini, merupakan subordinasi dari kekuatan – kekuatan politik praktis. Hal ini berarti pendidikan telah dimasukkan ke dalam kancah perebutan kekuasaan oleh partai-partai politik. Pendidikan bukan lagi bertujuan untuk membangun manusia seutuhnya, melainkan untuk membangun kekuatan partai polotik tertentu untuk kepentingan golongan ataupun kelompoknya sendiri. Dalam pandangan ini politik ditentukan oleh dua paradigma, yaitu paradigm teknologi dan paradigma ekonomi. Paradigma teknologi mengedepankan pembangunan fisik yang menjamin kenyamanan hidup manusia. Sedangkan paradigma ekonomi menekankan kepada pencapaian kehidupan modern dalam arti pemenuhan kebutuhan-kebutuhan material yang duniawi, tetapi mengesampingkan kebutuhan-kebutuhan yang bukan materialis duniawi.[35]
Bertitik tolak dari hal tersebut diatas maka karena banyaknya kepentingan pribadi politik yang di prioritaskan menyebabkan pendidikan di indonesia makin merosot karena kepentingan golongan di abaikan kebijakan yang di buatt hanya sebagai pelengkap dari sebuah sistem pemerintahan tanpa bertindak tegas atas mafia pelaksana sistem di tingkat elit politik, disamping itu seluruh aktor perumus kebijakan yang secara tidak langsung menjadi bagian dari pemeran politik juga mempunyai andil atas implemenasi pendidikan yang ada saat ini sakit.

C. Kebijakan Pendidikan Berdasarkan Hakikat Pendidikan
Menurut Plato manusia terbagi kepada tiga kelompok yaitu: pertama manusia yang didominasi oleh rasio yang hasrat utamanya ialah ingin memperoleh pengetahuan,kedua manusia yang didominasi oleh roh yang hasrat utamanya ialah meraih reputasi dan ketiga, manusia yang didominasi nafsu yang hasrat utamanya adalah materi.[36]Manusia adalah makhluk ciptaan Tuhan yang paling mulia, yang memiliki unsur Jiwa dan raga yang satu sama lain tidak dapat dipisahkan. Manusia tanpa jiwa berarti mati, dan yang jiwanya labil berarti Schizophrenia (sakit jiwa;sakit), dan raga hanyalah bungkus yang tiada daya upaya kalau tidak diberi jiwa oleh Allah. Yang membedakan manusia dengan makhluk lain adalah akal untuk “berpikir” dengan berpikir manusia memimiliki kesadaran (conciousness) yang dijadikan modal moral (makhluk lain tidak punya tujuan moral). Menurut Nursid oleh karena manusia maklhluk yang berpikir maka manusia memiliki sejumlah kemampuan (a) membaca (b) melihat (c) berkomunikasi (d) menjelajajah (e) belajar.
Bagan. 4







Menjelajah, melakukan penelitian, berpikir alternatif, berfilsafat dan belajar karena manusia memiliki curioscity atau keingintahuan yang lebih dibandingkan makhluk lainnya. Manusia sebagai makhluk yang senang belajar, bagi yang menyadari hakikat ”kemanusiaannya” karena diciptakan Allah maka sebaiknya mempunyai rasa pengabdian kepada Allah dengan jalan beriman dan bertaqwa, menjalan perintah Allah dan menjauhi segala larangannnya. Bagi umat muslim tujuan itu adalah menjadi manusia Qur’ani, melaksanakan kitabulllah pedoman tertulis yang Maha Besar, dan juga melaksanakan sunnatullah. Melalui agama manusia sebenarnya diajak berpikir pula karena agama bersifat knowing(misalnya: mengetahui tentang shalat), doing (melakukan shalat secara baik dan benar), being (mengaplikasi shalat dalam kehidupan sehari-hari dengan beramal shaleh). Jadi iman dan taqwa (seperti dalam UUD Pendidikan Nasional) adalah jatidiri pendidikan yang harus disikapi dan dicapai oleh insan pendidikan.[37]

Pendidikan merupakan transfer of knowledge, transfer of value dan transfer of culture and transfer of religius yang semoga diarahkan pada upaya untuk memanusiakan manusia. Hakikat proses pendidikan ini sebagai upaya untuk mengubah perilaku individu atau kelompok agar memiliki nilai-nilai yang disepakati berdasarkan agama, filsafat, ideologi, politik, ekonomi, sosial, budaya dan pertahanan keamanan. Menurut pandangan Paula Freire pendidikan adalah proses pengaderan dengan hakikat tujuannya adalah pembebasan. Hakikat pendidikan adalah kemampuan untuk mendidik diri sendiri. Dalam konteks ajaran Islam hakikat pendidikan adalah mengembalikan nilai-nilai ilahiyah pada manusia (fitrah) dengan bimbingan Alquran dan as-Sunnah (Hadits) sehingga menjadi manusia berakhlakul karimah (insan kamil) Dengan demikian hakikat pendidikan adalah sangat ditentukan oleh nilai-nilai, motivasi dan tujuan dari pendidikan itu sendiri.Maka hakikat pendidikan dapat dirumuskan sebagi berikut :
1. Pendidikan merupakan proses interaksi manusiawi yang ditandai keseimbangan antara kedaulatan subjek didik dengan kewibawaan pendidik;
2. Pendidikan merupakan usaha penyiapan subjek didik menghadapi lingkungan yang mengalami perubahan yang semakin pesat;
3. Pendidikan meningkatkan kualitas kehidupan pribadi dan masyarakat;
4. Pendidikan berlangsung seumur hidup;Pendidikan merupakan kiat dalam menerapkan prinsip-prinsip ilmu.[38]

Hakekat pendidikan tergantung kepada pandangan tentang hakekat manusia. Ada beberapa pandangan manusia menurut para tokoh. Pertama Ki Hajar Dewantara, menurutnya, manusia itu pada dasarnya merupakan mahkluk yang berdiri sendiri dan bertanggung jawab atas eksistensinya, kedua Romo Mangun, dia memandang manusia sebagai mahkluk kreatif yang dianugrahi oleh Allah dengan kebebasan berfikir untuk menentukan tempatnya sendiri di dunia ini,ketiga pandangan manusia menurut Poulo Freire, menurutnya, manusia adalah makhluk yang bebas namun dipenjara dalam berbagai kehidupan social sehingga manusia itu kehilangan kesadarannya untuk kreatif dan mengembangkan kemanusiaanya, keempat menurut Amartya Sen, manusia menurutnya, mempunyai berbagai kemampuan yang dapat dikembangkan apabila dia mempunyai kesempatan untuk mengembangkannya.[39]
Dari pendapat para tokoh di atas dapat disimpulkan bahwa manusia bukan sebagai objek, tetapi sebagai subjek yang bermartabat dan bertanggung jawab dalam memberikan makna terhadap kehidupannya, selain itu, manusia adalah mahkluk personal yang bebas dan dapat mengembangkan pribadinya melalui dialog dengan sesamanya dan alam sekitarnya. Namun demikian, kesadaran akan pribadi yang merdeka serta kemampuan untuk berkreativitas telah dibatasi oleh berbagai jenis kekuasaan dalam masyarakat. Padahal manusia dilihat dari aspek personal dan sosial, sesungguhnya manusia merupakan gambaran manusia yang paling hakiki. Namun dalam kenyataannya manusia dalam kehidupan sosial seringkali dirampas kemerdekaannya sehingga tidak dapat berkembang bahkan ditekan dan dikucilkan.
Dari pendapat para pemikir tersebut di atas, maka jelaslah bahwa pandangan tentang manusia sangat berkaitan erat dengan proses pendidikan. Dimana proses manusia untuk mewujudkan kemerdekaan diperlukan lingkungan yang kondusif bagi perkembangan pribadi yang merdeka. Proses pendidikan merupakan kesatuan antara teori dan praktik pendidikan meliputi unsur-unsur sebagai berikut : Dalam lingkup teori dirumuskan gambaran manusia mengenai visi, misi dan program-program pelaksanaan untuk mewujudkan visi dan misi tersebut.
Suatu kebijakan mempunyai makna intensional. Oleh sebab itu, kebijakan mengatur tingkah laku seseorang atau organisasi dan kebijakan meliputi pelaksanaan serta evaluasi dari tindakan tersebut. Hasil evaluasi tersebut akan menentukan bobot serta validitas dari kebijakan tersebut. Dalam kebijakan telah kita lihat berkaitan dengan wilayah etika melihat kenyataan tindakan pendidikan sebagai suatu proses pemberdayaan peserta didik. Oleh karena pendidikan merupakan suatu ilmu praksis yang berarti kesatuan teori dan praktik maka kebijakan pendidikan terletak dalam tatanan normaif dan tatanan deskriptif.
Menurut Tilaar ada tiga hal yang perlu di kaji kembali dalam pendidikan. Pertama, pendidikan tidak dapat dibatasi hanya sebagai schooling belaka. Dengan membatasi pendidikan sebagai schooling maka pendidikan terasing dari kehidupan yang nyata dan masyarakat terlempar dari tanggung jawabnya dalam pendidikan. Oleh sebab itu, rumusan mengenai pendidikan dan kurikulumnya yang hanya membedakan antara pendidikan formal dan non formal perlu disempurnakan lagi dengan menempatkan pendidikan informal yang justru akan semakin memegang peranan penting didalam pembentukan tingkah laku manusia dalam kehidupan global yang terbuka. Kedua, pendidikan bukan hanya untuk mengembangkan intelegensi akademik peserta didik. Pengembangan seluruh spektrum intelegensi manusia baik jasmaniah maupun rohaniyahnya perlu diberikan kesempatan didalam program kurikulum yang luas dan fleksibel, baik didalam pendidikan formal, non formal dan informal. Ketiga, pendidikan ternyata bukan hanya membuat manusia pintar tetapi yang lebih penting ialah manusia yang berbudaya dan menyadari hakikat tujuan penciptaannya. Hal ini sesuai dengan pendapat Sindhunata bahwa tujuan pendidikan bukan hanya manusia yang terpelajar tetapi manusia yang berbudaya (educated and Civized human being).
Dengan demikian proses pendidikan dapat kita rumuskan sebagai proses hominisasi dan humanisasi yang berakar pada nilai-nilai moral dan agama, yang berlangsung baik di dalam lingkungan hidup pribadi, keluarga, masyarakat dan bangsa, kini dan masa depan.[40]

D. Rumusan Kebijakan Pendidikan
Keberhasilan dalam pembuatan kebijakan adalah langkah pertama dengan mencakup identifikasi dari bidang umum, analisis, penyusunan sasaran, memutuskan bidang-bidang pelaksanaan, menjelajahi administrasi secara luas, politik dan dimensi masyarakat, negosiasi dan konsultasi, dan akhirnya formulasi akhir serta pelasanaan kebijakan. Efektivitas pembuatan kebijakan adalah kesamaan dari sasaran pada semua level untuk meningkatkan peluang pencapaian sasaran organisasi dan tidak menghamburkan energi dalam konflik.[41]
Banyak ahli politik sepakat bahwa proses pembentukkan kebijakan adalah integral bagi sistem politik yang ada. Pembentukan kebijakan merupakan tahap penentu pada proses politik yang efektif, dirubah menjadi keputusan yang berkewenangan.[42] Kebijakan yang di hasilkan oleh sebuah pemerintahan tentunya melalui proses ilmiah untuk menghasilkan sebuah kebijakan, begitu juga dengan kebijakan pendidikan yang meracik seputar kebutuhan dalam pendidikan agar dapat terlaksana, untuk merumuskan kebijakan pendidikan berdasarkan sistematis seperti berikut ini:

1. Munculnya Masalah dan Isue
Masalah kebijakan (publik) adalah kebutuhan dan nilai yang belum terpenuhi atau
kesempatan untuk mengadakan perbaikan yang hanya dapat dilakukan melalui kebijakan publik (David Dery). Isu kebijakan (publik) adalah pandangan yang berbeda tentang masalah kebijakan serta cara untuk memecahkannya (W.N. Dunn).[43] Masalah merupakan kensenjangan antara harapan dan kenyataan sehingga menjadi memunculkan kegelisahan yang muncul pada masyarakat.
Bermuara dari problem yang muncul hingga berkembang menjadi hot news isue yang berkembang di kancah publik menuai pro–kontra yang merupakan hasil perdebatan mengenai devinisi, eksplanasi dan evaluasi masalah. Oleh karena itu munculnya suatu masalah misalnya apakah pemerintah harus membuat peraturan tentang standar pendidikan dengan tingkat kelulusan pada dasarnya pada konflik asumsi mengenai tingkat kualitas pendidikan. Selanjutnya isu menjadi embrio bagi awal munculnya masalah publik di bidang pendidikan jika masalah ini mendapat perhatian khalayak ramai maka akan masuk perhatian yang menyebabkan isu tersebut masuk ke dalam agenda kebijakan khususnya agenda kebijakan pendidikan.[44]
Cendrung isu yang muncul dan berbuntut masalah di dunia pendidikan tentunya dalam ranah pendidikan baik berupa siswa, guru, sekolah, kepala sekolah, lembaga pendidikan, mulai dari tingkat kabupaten atau kotamadya hingga tingkat elit yaitu di kementerian pendidikan semua ini merupakan sorotan publik terhadap perkembangan pendidikan baik di tinjau secara umum maupun secara khusus. Sebagi contoh isu yang sedang berkembang mengenai kualitas pendidikan yang sangat bobrok jika di bandingkan dengan negara berkembang lainnya, kualitas pendidikan dapat di katakan seperti ekor tikus yang semakin lama kualitasnya semakin merosot.
Perumusan kebijakan adalah pijakan awal dalam kebijakan publik di bidang politik, yang terdiri dari 2 lapisan kelompok sosial: 1) lapisan atas dengan jumlah yang sangat kecil (elit) yang selalu mengatur; 2) lapisan bawah (massa) dengan jumlah yang sangat besar sebagai yang diatur, Peraturan Pemerintah mencerminkan kehendak atau nilai-nilai elit yang berkuasa. Masyarakat tidak memiliki kekuatan untuk mempengaruhi & menciptakan opini tentang isu kebijakan yang seharusnya menjadi agenda politik di tingkat atas. Sementara birokrat/ administrator hanya menjadi mediator bagi jalannya informasi yang mengalir dari atas ke bawah. Elit politik selalu ingin mempertahankan status quo, maka kebijakannya menjadi konservatif. Perubahan kebijakan bersifat inkremental maupun trial and error yg hanya mengubah atau memperbaiki kebijakan sebelumnya. Maka disaat ini isu yang berkembang menjadi perhatian publik di bidang pendidikan dengan berkembangnya isu informasi di dapat dengan mudah sehingga dapat mengetahui kesalahan dalam sebuah kebijakan dan agar dapat memperbaikinya.
2. Pengagendaan
Pada tahap ini seluruh isu dan masalah yang berkembang yang mempunyai urgensi terhadap kemaslahatan masyarakat, maka secara otomatis isu dan masalah tersebut mendapat perhatian publik dan pejabat yang berwenang. Para aktor yang memfilter masalah dan isu yang muncul yang layak untuk di lakukan untuk di identifikasi lebih awal di bandingkan dengan isu dan masalah lain yang sedang hangat, untuk dimasukkan kepada pengagendaan kebijakan merupakan kesepakatan dan juga hasil konfliknya terjadi di antara elit politik itu sendiri.
Munculnya berbagai masalah yang sangat urgen di kalangan masyarakat menjadi sorotan publik baik melalui media massa maupun media cetak para pejabat yang menangani masalah yang berkaitan dengan jabatannya menjadi pengagenda dan memfilter masalah yang ada, pada tahap ini suatu masalah bisa tidak disentuh dan yang lain menjadi fokus dengan melihat kualitas masalah yang ada.
Bagan. 5

Alur Proses Kebijakan Pendidikan









3. Formulasi Kebijakan
Setelah masalah teridentifikasi maka berlanjut kepada proses yang sangat urgen yaitu perumusan kebijakan pendidikan, Anderson mengungkapkan perumusan kebijakan menyangkut upaya menjawab pertanyaan bagaimana berbagai alternatif disepakati untuk masalah-masalah yang dikembangkan dan siapa yang berpartisipasi.[45]ini merupakan proses yang secara spesifik ditujukan untuk menyelesaikan persoalan-persoalan khusus.
Pada tahap formulasi, masalah-masalah yang sudah masuk ke dalam agenda para perumus kebijakan mencari pemecahan masalah terbaik, semua yang mempunyai kepentingan disini bersaing untuk memberikan kontribusi agar dapat dikonsumsi oleh perumus kebijakan kemudian para kebijakan. Mengadopsi masukan yang ada dari sekian banyak alernatif yang di tawarkan oleh perumus hingga mengambil keputusan kebijakan yang akan di tetapkan oleh lembaga legislatif, atau peradilan. Jika sebuah kebijakan telah diambil maka secara tidak langsung pemerintah mewajibkan untuk mengimplementasikan kepada unit-unit administtrasi yang memobilisasikan sumberdaya finansial dan manusia pada tahap terakhir evaluasi dengan bertujuan untuk melihat sejauh mana kebijakan yang telah di rumuskan dapat memcahkan permasalahan. [46]
Dalam khasana teori perumusan kebijakan, dikenal setidaknya tiga belas jenis teori perumusan kebijakan,[47] yaitu: 1)Teori kelembagaan. 2) Teori proses, 3) Teori kelompok, 4) Teori Elit, 5) Teori Rasional, 6) Teori Inkremental, 7) Teori Permainan, 8) Teori Pilihan Publik, 9) Teori system, 10) Teori pengamatan, 11) Teori Demokratid, 12) Teori Strategis, 13) Teori Deliberasi.
Terdapat dua pendekatan dalam analisis kebijakan yaitu; pertamapendekatan deskriptif merupakan penelitian dalam ilmu pengetahuan untuk menerangkan sesuatu gejala yang terjadi dalam masyarakat pendekatan ini disebut juga pendekatan positif dengan ilmu pengetahuan menyajikan keadaan apa adanya dari suatu gejala, kedua pendekatan normatif merupakan upaya ilmu pengetahuan untuk menawarkan suatu norma atau kaidah yang dapat digunakan oleh pemakai dalam rangka memecahkan masalah bertujuan untuk membantu para pengambil keputusan dalam bentuk pemikiran-pemikiran mengenai cara atau prosedur yang paling efesien dalam memecahkan suau masalah kebijakan publik disamping itu pendekatan normatif yang dimaksudkan untuk membantu para pengambil keputusan dalam memberikan gagasan hasil pemikiran agar para pengambil keputusan dapat memecahkan suau masalah kebijakan.[48]
Dalam hal ini, Menteri Pendidikan Nasional (Mendiknas) Mohammad Nuh, mengingatkan kepada para pembuat kebijakan, agar di dalam membuat kebijakan harus berdasarkan pada pilar 5K, yakni Ketersediaan, Keterjangkauan, Kualitas, Kesetaraan dan Kepastian kelima pilar ini menjadi satu kesatuan dan harus dilaksanakan pada akselerasi yang sama, jika perluasan pendidikan yang bermutu menjadi target kebijakan pendidikan. Pilar Ketersediaan merefleksikan jaminan, bahwa layanan pendidikan harus tersedia bagi semua anak usia pendidikan, dari dasar sampai perguruan tinggi. “Sedangkan pilar Keterjangkauan mempunyai dua makna, yakni Keterjangkauan secara ekonomis (affordable), dan Keterjangkauan secara geografis (reacheable). Pilar Kesetaraan memiliki nilai tersendiri, karena setiap orang di negeri ini memang pantas dan layak untuk mendapatkan sebuah pendidikan.Terakhir pilar Kepastian merupakan komitmen pemerintah untuk menjamin bahwa peserta didik dapat memilih jenis dan jalur, serta jenjang pendidikan yang sesuai dengan potensi akademis, minat dan bakatnya. Dimana pemerintah pusat dan daerah, beserta masyarakat secara bersama-sama menjamin kepastian ini.[49]

Namun sangat ironis apa yang sesungguhnya dilapangan sangat sulit dan rumit ini disebabkan oleh budaya politik dan sistem yang sangat buruk di tinjau dari teropong sistem yang ada dengan negara –negara berkembang lainnya. Menurut Newton dan Tarrant, sebagaimana dikutif oleh Safaruddin, proses membuat kebijakan dan penyusunan tujuan untuk meletakkan kebijakan kedalam praktik adalah menguji kebaikannya secara detail. Kebijakan dapat berasal pada sejumlah tingkatan atau dari berbagai macam sumber yaitu : pemerintah pusat, pemerintah daerah, administrator, guru dan lain-lain.
Kebijakan publik untuk pendidikan bisa dikelompokkan menjadi empatkategori. Pertama, ada kebijakan yang berkenaan dengan fungsi-fungsi esensil dari sekolah dan lembaga-lembaga pendidikan tersier. Sebagian dari kebijakan ini berhubungan dengan kurikulum, tetapi ini meliputi kebijakan yang berhubungan dengan penetapan tujuan dan sasaran, rekrutmen dan pendaptaran siswa, penilaian siswa, penghargaan dalam bentuk ijasah, diploma, dan disiplin siswa.Kedua, ada kebijakan yang berkenaan dengan penetapan, struktur, danpengaturan lembaga individual dan sistem pendidikan yang menyeluruh atau sebagian. Ketiga berhubungan dengan rekrutmen; pekerjaan, promosi, supervisi dan remunerasi seluruh staf, tetapi terutama kategori-kategori berbeda dari para professional. Kategori keempat ialah kebijakan yang berhubungan dengan ketentuan alokasi sumber keuangan dan ketentuan dan pemeliharaan bangunan dan peralatan. [50]

4. Aktor-Aktor Dalam Perumusan Kebijakan Pendidikan
Seperangkat peraturan tidak mungkin muncul dengan sendirinya tanpa adanya yang membuat, begitu pula dengan kebijakan pendidikan. Simeon, menggolongkan lingkungan kebijaksanaan pendidikan menjadi; lingkungan politik dan lingkungan non politik, kedua lingkungan ini menurutnya sama-sama mempunyai pengaruh terhadap kebijakan, termasuk kebijaksanaan pendidikan. Kedua aktor-aktor, dalam hal menentukan siapa aktor kebijakan David Easton menerangkan bahwa ciri kebijakan publik yaitu kebijakan yang diformulasikan oleh penguasa dalam sistem politik. Yang dimaksud penguasa di sini adalah orang yang terlibat setiap hari dalam sistem politik sekaligus bertanggung jawab dalam persoalan ini, serta diakui keberadaannya oleh sebagian besar anggota sistem politik di mana tindakan-tindakannya dapat diterima serta mengikat dalam waktu yang panjang selama tindakan penguasa dalam batas kewenangannya.[51]Adapun actor- actor perumusan kebijakan pendidikan yang meliputi politik dan non politik dapat di lihat pada tabel di bawah ini :

Tabel. I

Bercermin dari stakeholder yang sukses dalam memutuskan kebijakan pendidikan dilakukan oleh Bill Clinton, ketika menjabat Gubernur Arkansas dan dilanjutkannya saat menjabat presiden Amerika Serikat, yakni selalu melibatkan 3 (tiga) aktor utama dalam proses sebuah kebijakan pendidikan secara sinergis, mereka adalah unsur; (1) pemerintah, (2) para guru, dan (3) pakar pendidikan yang dipandang beliau lebih memahami kotak hitam (black box) persoalan pendidikan, bukan birokrat bermental proyek.[52] Disini jelas terlihat bahwa pengambilan keputusan kebijakan di Amerika sangat sinergi karena aktor yang berberan ialah orang-orang yang berkompetensi di bidang pendidikan sehingga para aktor mengetahui apa yang diharapkan oleh pasar pendidikan dan percepatan global. Berbda halnya dengan negara Indonesia aktor yang di tetapkan oleh pemerintah ialah orang-orang yang mempunyai power didalam kalangan elit politik tanpa melibatkan ahli pendidikan jikapun ada keputusan dominan pada elit politik.
Dalam merumuskan kebijakan pendidikan, para pembuat kebijakan hendaknya memperhatikan beberapa karakteristik khusus.[53] Adapun karakteristik yang dimaksud adalah :
a. Memiliki tujuan pendidikan, Kebijakan pendidikan harus memiliki tujuan, namun lebih khusus, bahwa ia harus memiliki tujuan pendidikan yang jelas dan terarah untuk memberikan kontribusi pada pendidikan.
b. Memenuhi aspek legal-formal, Kebijakan pendidikan tentunya akan diberlakukan, maka perlu adanya pemenuhan atas pra-syarat yang harus dipenuhi agar kebijakan pendidikan itu diakui dan secara sah berlaku untuk sebuah wilayah. Maka, kebijakan pendidikan harus memenuhi syarat konstitusional sesuai dengan hirarki konstitusi yang berlaku di sebuah wilayah hingga ia dapat dinyatakan sah dan resmi berlaku di wilayah tersebut. Sehingga, dapat dimunculkan suatu kebijakan pendidikan yang legitimat.
c. Memiliki konsep operasional, Kebijakan pendidikan sebagai sebuah panduan yang bersifat umum, tentunya harus mempunyai manfaat operasional agar dapat diimplementasikan dan ini adalah sebuah keharusan untuk memperjelas pencapaian tujuan pendidikan yang ingin dicapai. Apalagi kebutuhan akan kebijakan pendidikan adalah fungsi pendukung pengambilan keputusan.
d. Dibuat oleh yang berwenang, Kebijakan pendidikan itu harus dibuat oleh para ahli di bidangnya yang memiliki kewenangan untuk itu, sehingga tak sampai menimbulkan kerusakan pada pendidikan dan lingkungan di luar pendidikan. Para administrator pendidikan, pengelola lembaga pendidikan dan para politisi yang berkaitan langsung dengan pendidikan adalah unsur minimal pembuat kebijakan pendidikan.
e. Dapat dievaluasi, Kebijakan pendidikan itu pun tentunya tak luput dari keadaan yang sesungguhnya untuk ditindaklanjuti. Jika baik, maka dipertahankan atau dikembangkan, sedangkan jika mengandung kesalahan, maka harus bisa diperbaiki. Sehingga, kebijakan pendidikan memiliki karakter dapat memungkinkan adanya evaluasi terhadapnya secara mudah dan efektif.
f. Memiliki sistematika, Kebijakan pendidikan tentunya merupakan sebuah sistem jua, oleh karenanya harus memiliki sistematika yang jelas menyangkut seluruh aspek yang ingin diatur olehnya. Sistematika itu pun dituntut memiliki efektifitas, efisiensi dan sustainabilitas yang tinggi agar kebijakan pendidikan itu tidak bersifat pragmatis, diskriminatif dan rapuh strukturnya akibat serangkaian faktor yang hilang atau saling berbenturan satu sama lainnya. Hal ini harus diperhatikan dengan cermat agar pemberlakuannya kelak tidak menimbulkan kecacatan hukum secara internal. Kemudiankebijakan pendidikan harus bersepadu dengan kebijakan lainnya; kebijakan politik; kebijakan moneter; bahkan kebijakan pendidikan di atasnya atau disamping dan dibawahnya.

Menurut James Anderson meringkas nilai-nilai yang dapat membantu dalam mengarahkan prilaku para pembuat keputusan kedalam lima bagian yaitu: a) Nilai –nilai Politik keputusan yang di hasilkan didasarkan pada keuntungan politik sebagai sarana mencapai tujuan-tujuan partai atau kelompok kepentingan, b) nilai-nilai organisasi layaknya kepentingan sebuah organisi seperti bandan administrasif memberikan banyak imbalan agar menerima usulan kebijakan yang di tawarkan atau menolak kebijakan yang akan di berlakukan karena dapat merugikan organisasi tersebut, c) nilai-nilai pribadi yaitu upaya melindungi dan mengembangkan kepentingan ekonomi, reputasi atau kedudukan sejarah seseorang, seorang politisi yang menerima suap untuk membuat sebuah keputusan tertentu, dan disisi lain presiden mengatakan bahwa ia tidak akan menjadi presiden yang pertama kalah perang mungkin ini juga dipengaruhi oleh pertimbangan-pertimbangan pribadi seperti keinginan untuk dicatat dalam sejarah, d) Nilai-nilai kebijakan memutuskan dengan melihat kepentingan masyarakat atau kepercayaan-kepercayaan mengenai apa yang merupakan kebijakan publik secara moral benar atau pantas, namun disini mungkin para lembaga legislatif harus siap dalam menghadapi resiko politik, e) nilai-nilai ideologi, karena ideologi merupakan seperangkat kepercayaan dan nili-nilai yang berhubungan secara logis yang merupakan pedoman bagi umat manusia.[54]

Bagan. 6
Sistem kerja yang di kembangkan oleh Eason [55]
INPUTS
A POLITICAL SISTEM
OUTPUTS




Feedback

Pada diagram diatas jelas menunjukkan bahwa isu dan masalah hingga pada perumusan kebijakan yang berkembang merupakan input yang akan di proses dalam sebuah sistem politik yang memuat didalamnya berbagai aspek alur seperti yang telah di jelaskan di muka hingga dapat menghasilkan kebijakan dari proses yang sudah berlangsung.
Menurut Tilaar dan Riant Nugroho[56], ada beberapa aspek yang mencakup dalam kebijakan pendidikan :
1. Kebijakan pendidikan harus sesuai dengan visi dan misi dari pendidikan dalam masyarakat tertentu.
2. Kebijakan pendidikan harus meliputi proses analisis kebijakan, perumusan kebijakan, pelaksanaan dan evaluasi.
3. Kebijakan haruslah mempunyai validitas dalam perkembangan pribadi serta masyarakat yang memiliki pendidikan itu.
4. Kebijakan pendidikan harus ada keterbukaan dengan masyarakat sehingga memberikan manfaat yang sebesar-besarnya untuk rakyat banyak.
5. Kebijakan pendidikan didukung oleh riset dan pengembangan.
6. Analisis kebijakan karena kebijakan pendidika merupakan bagian dari kebijakan publik
7. Kebijakan pendidikan harus dutujukan kepada kebutuhan peserta didik.
8. Kebijakan pendidikan diarahkan pada terbentuknya masyarakat demokratis
9. Kebijakan pendidikan berkaitan dengan penjabaran misi pendidikan dalam pencapaian tujuan-tujuan tertentu.
10. Kebijakan harus berdasarkan efisiensi.
11. Kebijakan pendidikan bukan berdasarkan pada kekuasaan tetapi kepada peserta didik.
12. Kebijakan pendidikan bukan berdasarkan intuisi atau kebijaksanaan yang irasional.
13. Kejelasan tujuan akan melahirkan kebujakan pendidikan yang tepat, Kebijakan pendidikan yang kurang jelas arahnya akan mengorbankankepentingan peserta didik.
14. Kebijakan pendidikan diarahkan bagi pemenuhan kebutuhan peserta didik dan bukan kepuasan birokrat.

Aspek-aspek kebijakan pendidikan tersebut di atas, berfungsi sebagai acuan dalam proses membuat kebijakan pendidikan, agar kebijakan yang dibuat itu tersusun secara sistematis dan ilmiah serta terlaksana dengan baik. Hal ini tentunya diperlukan tim pengawasan yang ketat. Dalam pembentukan tim pengawasan sebuah kebijakan, maka orang yang dipercayai tersebut, di harapkan dapat memberikan kontribusi yang tinggi, idealis dan cermat dalam persoalan yang muncul di lapangan, sehingga memanipulasi data dan informasi bisa terhindari.
5. Faktor-Faktor Yang Mempengaruhi Kebijakan Pendidikan
Sebuah kebijakan yang diputuskan oleh para perumus tidak serta merta di putuskan tanpa adanya pertimbangan dari nilai- nilai yang mempengaruhinya, faktor yang dimaksud ialah segala hal yang berada diluar kebijakan tetapi mempunyai pengaruh terhadap kebijakan pendidikan. Soepandi menyebutkan ada beberapa faktor lingkungan pendidikan yang meliputi; kondisi sumber daya alam, iklim, demografi, budaya politik, struktur sosial dan kondisi sosial ekonomi[57]

Bagan. 7
OPERASIONAL KEBIJAKAN PUBLIK[58]
Struktur
James Anderson
Keputusan dan Program
Hogwood & Gunn
Tindakan
Thomas R. Dye

Nilai
David Easton









Kesejahteraan Masyarakat
TUJUAN




Dalam pembicaraan faktor-faktor yang mempengaruhi kebijakan publik di bidang pendidikan tentunya tidak terlepas dengan tuntutan percepatan IPTEK yang berkembang di manca negara untuk menghadapi persaingan global, dengan nilai yang telah di ungkapkan diatas maka para aktor yang merumuskan kebijakan menjadi filter yang mampu mencerna masalah yang timbul dengan berbagai kepentingan. Oleh karena itu kebijakan publik untuk pendidikan bisa dikelompokkan menjadi empat kategori yaitu;
1. Ada kebijakan yang berkenaan dengan fungsi-fungsi esensil dari sekolah danlembaga-lembaga pendidikan tersier. Sebagian dari kebijakan ini berhubungan dengan kurikulum, tetapi ini meliputi kebijakan yang berhubungan dengan penetapan tujuan dan sasaran, rekrutmen dan pendaptaran siswa, penilaian siswa, penghargaan dalam bentuk ijasah, diploma, dan disiplin siswa.
2. Ada kebijakan yang berkenaan dengan penetapan, struktur, dan pengaturan lembaga individual dan sistem pendidikan yang menyeluruh atau sebagian.
3. Berhubungan dengan rekrutmen; pekerjaan, promosi, supervisi dan remunerasi seluruh staf, tetapi terutama kategori-kategori berbeda dari para professional.
4. Kebijakan yang berhubungan dengan ketentuan alokasi sumber keuangan dan ketentuan dan pemeliharaan bangunan dan peralatan. [59]
Maka Faktor yang sangat mempengaruhi terhadap perumusan kebijakan pendidikan ialah faktor-faktor kondisi – kondisi ekonomi, sosial dan politik umumnya dan khususnya segala sesuatu yang menyangkut dengan seluruh perangkat sistem pendidikan baik dengan kualitas guru, mutu pendidikan, anggaran pendidikan pengembangan kurikulum hingga pada peserta didik. Mengkaji banyaknya faktor-faktor yang mempengaruhi kebijakan pendidikan tentunya bukan hal mudah dalam merumuskan sebuah kebijakan harus cermat dan sangat teliti dalam menilai sebuah masalah. Maka tidak heran jika sebuah kebijakan muncul terkadang disaat masalah yang berkembang sudah kadarluarsa.
6. Adopsi/Legitimasi Kebijakan
Setelah kebijakan dirumuskan maka berlanjut pada pengabdopsian kebijakan tersebut. Tujuan legitimasi adalah untuk memberikan otorisasi pada proses dasar pemerintahan. Jika tindakan legitimasi dalam suatu masyarakat diatur oleh kedaulatan rakyat, warga negara akan mengikuti arahan pemerintah. Namun warga negara harus percaya bahwa tindakan pemerintah yang sah.Mendukung. Dukungan untuk rezim cenderung berdifusi - cadangan dari sikap baik dan niat baik terhadap tindakan pemerintah yang membantu anggota mentolerir pemerintahan disonansi. Legitimasi dapat dikelola melalui manipulasi simbol-simbol tertentu. Di mana melalui proses ini orang belajar untuk mendukung pemerintah.[60] Berikut tingkatan kebijakan publik yang ada di Indonesia. Kebijakan Publik Pra UU No. 10/2004 lingkup nasional yang meliputi: [61]
1. Kebijakan Nasional
Kebijakan negara yang bersifat fundamental dan strategis dalam pencapaian tujuan nasional dengan wewenang MPR, dan President bersama-sama dengan DPR yang berbentuk: UUD TAP MPR, UU, PERPU.
a. Kebijakan Umum
Kebijakan presiden sebagai pelaksana UUD, TAP MPR, UU, guna mencapai tujuan nasional dengan wewenang President yang berbentuk, PP, KEPRES, INPRES.
b. Kebijakan Pelaksana
Penjabaran dari kebijakan Umum sebagai strategis pelaksanaan tugas di bidang tertentu dengan wewengan meneri/pejabat setingkat menteri dan pimpinan LPND yang berbentuk peraturan, keputusan, interuksi pejaban tertentu.
2. Kebijakan Lingkup Wilayah/Daerah
a. Kebijakan Umum
Kebijakan pemerinah daerah sebagai pelaksanaan asas desentralisasi dalam rangka mengatur urusan rumah tangga daerah yang berwenang kepala daerah bersama DPRD yang berbentuk PERDA.
b. Kebijakan Pelaksanaan
Kebijakan pelaksanaan dengan wewenang kepala daerah attau kepala wilayah yang berbentuk keputusan kepala daerah dan instruksi kepala daerah, atau keputusan wilayah.




E. Implementasi Kebijakan Pendidikan
Pada tahap ini merupakan tahap yang sangat krusial dalam proses kebijakan, suatu kebijakan dirumuskan untuk di implementasikan. Tahapan implementasi perlu dipersiapkan dengan matang, pada tahap perumusan atau pembuatan kebijakan agar tidak terjadi kesenjangan antara rumusan dengan aplikasi dilapangan yang apabila tidak sejalan, maka tujuan tidak bisa di capai sebagaimana telah di rumuskan. Implementasi kebijakan adalah tindakan yang dilakukan oleh pemerintah, baik secara individu maupun kelompok yang dimaksudkan untuk mencapai tujuan sebagaimana dirumuskan di dalam kebijakan.[62] Implementasi pada dasarnya adalah sebuah tahapan proses. Proses dalam pengertian ini adalah serangkaian keputusan dan tindakan yang mengarah kepada pencapaian tujuan-tujuan kebijakan yang telah dicanangkan.[63] Kunci keberhasilan dalam upaya implementasi dari kebijakan adalah ditentukan oleh prosesnya, terwujud dalam tahapan-tahapan yang secara teknis berlangsung dalam kegiatan implementasi tersebut.
Implementasi sebuah kebijakan secara konseptual bisa dikatakan sebagai sebuah proses pengumpulan sumber daya (alam, manusia maupun biaya) dan diikuti dengan penentuan tindakan-tindakan yang harus diambil untuk mencapai tujuan kebijakan. Rangkaian tindakan yang diambil tersebut merupakan bentuk transformasi rumusan-rumusan yang diputuskan dalam kebijakan menjadi pola-pola operasional yang pada akhirnya akan menimbulkan perubahan sebagaimana diamanatkan dalam kebijakan yang telah diambil sebelumnya. Hakikat utama implementasi adalah pemahaman atas apa yang harus dilakukan setelah sebuah kebijakan diputuskan. [64]
Tahapan ini tentu saja melibatkan seluruh stake holder yang ada, baik sektor swasta maupun publik secara kelompok maupun individual. Implementasi kebijakan meliputi tiga unsur yakni tindakan yang diambil oleh badan atau lembaga administratif; tindakan yang mencerminkan ketaatan kelompok target serta jejaring sosial politik dan ekonomi yang mempengaruhi tindakan para stake holder tersebut. Interaksi ketiga unsur tersebut pada akhirnya akan menimbulkan dampak baik yang diharapkan maupun dampak yang tidak diharapkan.
Implementasi kebijakan tidak hanya melibatkan instansi yang bertanggungjawab untuk pelaksanaan kebijakan tersebut, namun juga menyangkut jaringan kekuatan politik, ekonomi, dan sosial.[65] Implikasi sebuah kebijakan merupakan tindakan sistematis dari pengorganisasian, penerjemahan dan aplikasi. Implementasi kebijakan merupakan kegiatan yang kompleks dengan begitu banyak faktor yang mempengaruhi keberhasilan suatu implementasi kebijakan. Hasil akhir implementasi kebijakan paling tidak terwujud dalam beberapa indikator yakni hasil atau output yang biasanya terwujud dalam bentuk konkret semisal dokumen, jalan, orang, lembaga; keluaran atau outcome yang biasanya berwujud rumusan target semisal tercapainya pengertian masyarakat atau lembaga; manfaat atau benefit yang wujudnya beragam; dampak atau impact baik yang diinginkan maupun yang tak diinginkan serta kelompok target baik individu maupun kelompok.
Proses formulasi dan implementasi kebijakan pendidikan tidaklah bersifat suigeneri dan seteril dari aneka pengaruh eksternal prosesnya dalam ranah dinamik yang rentan terhadap aneka pengaruh kepentingan politik dan birokratik. Mulai dari pemunculan isu, kemudian berkembang menjadi debat publik melalui media massa serta forum-forum terbatas lalu aspirasinya di pertimbangkan oleh partai politik untuk diartikulasikan dan dibahas dalam lembaga legislatif, sehingga menjadi kebijakan publik penddidikan.[66]
Setelah kebijakan dirumuskan, disahkan dan dipublikasikan pada khalayak ramai kemudian dilaksanakan atau diimplementasikan tolak ukur kebijakan pendidikan adalah terletak pada implemantasinya. Implementasi kebijakan pendidikan adalah pengupayaan agar rumusan-rumusan kebijakan pendidikan dapat berlaku dalam praktek. Walaupun pada awal ahun 2000 bangsa Indonesia banyak menghasilkan peraturan dan perundangan mengenai pendidikan namun masih banyak terjadi overlaping dan kesalahan dalam implementasi program-program pendidikan. Teori implementasi kebijakan di Indonesia 20 % keberhasilan di lihat dari pleaning dan 60 % dari Implementasi dan sisanya 20% adalah bagaimana mengendalikan implementasi.[67]

Bagan. 8










Secara teoritik, kebijakan pendidikan dalam rangka mewujudkan penyelenggaraan pendidikan lebih bermutu mencakup empat pendekatan implementatif meliputi; Pertama Struktur Approach, ialah pendekatan yang bersifat top-down yang dikenal dalam teori-teori organisasi modern pendekatan ini memandang bahwa kebijakan pendidikan harus dirancang, diimplementasikan, dikendalikan, dan dievaluasi secara structural. Namun titik lemah dari pendekatan structural ini adalah, proses pelaksanaan implementasi kebijakan pendidikan menjadi kaku, terlalu birokratis, dan kurang efisien.
Kedua Procedural and managerial approach, merupakan pendekatan yang muncul dalam rangka memberikan koreksi atas pendekatan.[68]Ada tiga langkah-langkah yang tepat dalam proses implementasi kebijakan, yaitu: a)Membuat desain program beserta perincian tugas dan perumusan tujuan yang jelas, penentuan ukuran prestasi kerja, biaya, dan waktu. b) Melaksanakan program kebijakan dengan cara mendayagunakan struktur-struktur dan personalia, dana dan sumber-sumber, prosedur-prosedur dan metode-metode yang tepat, c) Membangun sistem penjadwalan, monitoring, dan sarana-sarana pengawasan yang tepat guna menjamin bahwa tindakan-tindakan yang tepat dan benar dapat segera dilaksanakan.
Ketiga Behavioural Approach, pendekatan ini hadir memberikan koreksi atas pendekatan prosedural dan menajerial, antara lain adalah terlalu menekankan pada aturan-aturan dan teknik –teknik manajemen yang bersifat impersonal. Selain itu pendekatan prosedural dam manajerial harus membutuhkan peranti teknologi canggih sehingga dikesankan menjadi amat mahal.
Keempat Political Approach, adalah pendekatan yang lebih melihat pada faktor – faktor politik atau kekuasaan yang dapat memperlancar atau menghambat proses implementasi kebijakan.
Atas dasar keempat pendekatan implentatif dalam pelaksanaan kebijakan pendidikan itulah, maka para pengambil keputusan dapat memilih pendekatan mana yang akan diambil, dengan melihat dari masing-masing kelebihan dan kekurangannya. Dengan demikian dapat dipilih strategi kebijakannya dalam rangka peningkatan mutu pendidikan karena strategi kebijakan merupakan seni untuk mengelolah sumberdaya yang ada agar sasaran yang dituju tercapai secara efektif dan efisien. Pemilihan strategi yang dimaksud adalah : strategi yang menekan hasil, strategi yang menekan proses, strategi komprehensif. Namun tentunya ketiga strategi ini juga mempunyai kelebihan dan kekurangan. Berikut tabel perbedaan strategi yang dimaksud. [69]

Tabel. II

Strategi


Deskripsi

Kelebihan

Kelemahan
Strategi yang menekankan hasil (The Output Oriented Straregy)
Bersifat top-down berasal dari pusat Contoh: SKL dan SKD
Sasaran jelas dan umum, ada pedoman, pengendalian pendontrolan, dll
Kesenjangan mutu semakin kuat semakain kuat antar sekolah
Strategi yang menekankan pada proses (The Proses Oriented Strategy)
Bersifat bottom-up, mulai dari sekolah
Inisiatif dari sekolah, muncul semangat dan kekuatan dari sekolah, dll
Arah dan kualitas sekolah tidak seragam, sulit untuk melihat dan meningkatkan kualitas secara nasional.
Strategi komprehensip(The comprehensive Strategy)
Kombinasi sifat top down dan bottom-up.Tujuannya bersifat nasional tetapi cara mencapainya sesuai dengan kondisi local. Contoh: Standar nasional, MBS, KTSP
Sekolah memiliki kekuasaan dan otoritas yang besar untuk mencapai standar hasil yamg maksimal. Muncul inovasi kegiatan di sekolah.
Sekolah yang tidak dapat memenuhi standar nasional harus berusaha keras untuk dapat memenuhinya.

Menurut Smith dalam Islamy (2001), implementasi kebijakan dipengaruhi oleh empat variable, yaitu :
1. Idealized policy : yaitu pola interaksi yang digagas oleh perumus kebijakan dengan tujuan untuk mendorong, mempengaruhi dan merangsang target group untuk melaksanakannya
2. Target groups : yaitu bagian dari policy stake holders yang diharapkan dapat mengadopsi pola-pola interaksi sebagaimana yang diharapkan oleh perumus kebijakan. Karena kelompok ini menjadi sasaran dari implementasi kebijakan, maka diharapkan dapat menyesuaikan pola-pola perilakukan dengan kebijakan yang telah dirumuskan
3. Implementing organization : yaitu badan-badan pelaksana yang bertanggung jawab dalam implementasi kebijakan.
4. Environmental factors : unsur-unsur di dalam lingkungan yang mempengaruhi implementasi kebijakan seperti aspek budaya, sosial, ekonomi dan politik.[70]

Untuk mendapatkan hasil yang baik, maka dalam mengimlementasikan pendekatan ini harus mempertimbangkan aspek perilaku manusia dan segala sikapnya, karena aspek perilaku manusia sangat penting, sebab kalau tidak sejalan dengan apa yang diharapkan masyarakat maka implementasi kebijakan terjadi penolakan. Ada dua hal yang menyebabkan terjadinya penolakan masyarakat terhadap perubahan dan implementasi kebijakan yaitu: Pertama, adanya kekhawatiran masyarakat terhadap hadirnya perubahan, kedua kekurangan informasi yang diterimanya berkenaan dengan kebijakan tersebut.
Dari dua penyebab penolakan tersebut di atas jelas bahwa, setiap ada implementasi kebijakan maka harus ada sosialisasi terlebih dahulu, agar tidak terjadi kesalah pahaman di masyarakat terhadap pembuat kebijakan, namun fenomena yang terjadi sekarang ini selalu kurang komunikasi sehingga rakyat selalu berdemo setiap ada implementasi kebijakan yang baru, walau akhirnya masyarakat tetap menerima meskipun tidak sepenuh hati / keterpaksaan.
Implementasi kebijakan pada prinsipnya adalah saran yang dilaksanakan agar sebuah kebijakan dapat mencapai tujuannya. Implementasi kebijakan adalah serangkaian aktivitas dan keputusan yang memudahkan pernyataan kebijakan dalam formulasi terwujud ke dalam praktik organisasi. Ada empat factor penting dalam mengimplementasikan kebijakan, yaitu komunikasi, sumber, disposisi atau sikap dan struktur birokrasi. Untuk mengimplementasikan kebijakan ada dua pilihan langkah yang memungkinkan, yaitu: langsung mengimplementasikan dalam bentuk program-program atau melalui kebijakan turunan dari kebijakan public. Secara umum digambarkan.
Bagan. 9
















Hal ini menunjukkan bahwa implementasi kebijakan pada dasarnya merupakan aktifitas yang diberikan formulasi kebijaksanaan yang bersifat teoritis. Pokok perhatiannya adalah pada pemilihan arah berupa tindakan dan pengamatan bahwa hal tersebut ditelusuri dan diikuti sampai selesai dengan tuntas waktu pelaksanaan. Oleh karena itu implementasi kebijakan sebagai proses teknis yang bersifat dinamis dan interpretative, tidak dapat dilepaskan adanya kemungkinan peluang dan tantangan yang mengiringi perjalanan proses implementasi tersebut. Sehingga dapat diketahui bahwa keberhasilan suatu implementasi kebijakan ditentukan oleh keberhasilan para pelaku atau implementor dalam mengisi berbagai peluang dan mengatasi berbagai kendala yang dihadapi. Bertolak dari beberapa penjelasan tersebut di atas pada dasarnya dapat dipahami bahwa implementasi kebijakan sebagai suatu proses harus dilalui setelah kebijakan itu dibuat. Hal ini menunjukkan bahwa sebuah kebijakan dengan tidak dibarengi implementasi adalah sebagai hal yang mustahil, bahkan lewat implementasi itulah maka kebijakan dioperasionalkan, sampai pada gilirannya tercapai tujuan diharapkan.
Ada tiga factor yang mempengaruhi suatu proses implementasi kebijakan, yaitu factor kebijakan itu sendiri, factor organisasi sebagai pelaksana implementasi, dan factor lingkungan di mana implementasi kebijakan itu dilaksanakan.[71]secara sinergis factor tersebut apabila senjang antara satu factor dengan factor yang lain maka langsung mempengaruhi implementasi kebijakan yang dapat berakibat adanya kekurangan dalam salah satu factor yang menyebabkan implementasi berhadapan dengan banyak masalah, bahkan dapat menggagalkan dalam pencapaian tujuan. Sedangkan optimalisasi proses implementasi dari ketiga factor tersebut menjadi perangsang terhadap terlaksannya implementasi kebijakan yang dapat mengantar untuk mencapai tujuan kebijakan.

Bagan. 10
Model Proses Implementasi Kebijakan[72]
















George C. Edward III[73] mengkaji empat faktor atau variabel dari kebijakan yaitu struktur birokrasi, sumber daya , komunikasi, disposisi.
1. Struktur Birokrasi
Keberadaan birokrasi tidak hanya dalam struktur pemerintah, tetapi juga ada dalam organisasi-organisasi swasta, institusi pendidikan dan sebagainya. Bahkan dalam kasus-kasus tertentu birokrasi diciptakan hanya untuk menjalankan suatu kebijakan tertentu. Ripley dan Franklin dalam Winarno mengidentifikasi enam karakteristik birokrasi sebagai hasil pengamatan terhadap birokrasi di Amerika Serikat[74], yaitu:
a) Birokrasi diciptakan sebagai instrumen dalam menangani keperluan-keperluan publik (public affair).
b) Birokrasi merupakan institusi yang dominan dalam implementasi kebijakan publik yang mempunyai kepentingan yang berbeda-beda dalam setiap hierarkinya.
c) Birokrasi mempunyai sejumlah tujuan yang berbeda.
d) Fungsi birokrasi berada dalam lingkungan yang kompleks dan luas.
e) Birokrasi mempunyai naluri bertahan hidup yang tinggi dengan begitu jarang ditemukan birokrasi yang mati.
f) Birokrasi bukan kekuatan yang netral dan tidak dalam kendali penuh dari pihak luar.
Implementasi kebijakan yang bersifat kompleks menuntut adanya kerjasama banyak pihak. Ketika strukur birokrasi tidak kondusif terhadap implementasi suatu kebijakan, maka hal ini akan menyebabkan ketidak efektifan dan menghambat jalanya pelaksanaan kebijakan.

2. Sumber Daya
Syarat berjalannya suatu organisasi adalah kepemilikan terhadap sumberdaya (resources). Sumber daya diposisikan sebagai input dalam organisasi sebagai suatu sistem yang mempunyai implikasi yang bersifat ekonomis dan teknologis. Secara ekonomis, sumber daya bertalian dengan biaya atau pengorbanan langsung yang dikeluarkan oleh organisasi yang merefleksikan nilai atau kegunaan potensial dalam transformasinya ke dalamoutput. Sedang secara teknologis, sumberdaya bertalian dengan kemampuan transformasi dari organisasi.[75]
Menurut Edward III, sumberdaya merupakan hal penting dalam implementasi kebijakan yang baik. Indikator-indikator yang digunakan untuk melihat sejauhmana sumberdaya mempengaruhi implementasi kebijakan terdiri dari:
a) Staf. Sumber daya utama dalam implementasi kebijakan adalah staf atau pegawai (street-level bureaucrats). Kegagalan yang sering terjadi dalam implementasi kebijakan, salah-satunya disebabkan oleh staf/pegawai yang tidak cukup memadai, mencukupi, ataupun tidak kompeten dalam bidangnya.
b) Informasi. Dalam implementasi kebijakan, informasi mempunyai dua bentuk yaitu: pertama, informasi yang berhubungan dengan cara melaksanakan kebijakan. Kedua, informasi mengenai data kepatuhan dari para pelaksana terhadap peraturan dan regulasi pemerintah yang telah ditetapkan.
c) Wewenang. Pada umumnya kewenangan harus bersifat formal agar perintah dapat dilaksanakan secara efektif. Kewenangan merupakan otoritas atau legitimasi bagi para pelaksana dalam melaksanakan kebijakan yang ditetapkan secara politik. Ketika wewenang tidak ada, maka kekuatan para implementor di mata publik tidak dilegitimasi, sehingga dapat menggagalkan implementasi kebijakan publik.
d) Fasilitas. Fasilitas fisik merupakan faktor penting dalam implementasi kebijakan. Implementor mungkin mempunyai staf yang mencukupi, kapabel dan kompeten, tetapi tanpa adanya fasilitas pendukung (sarana dan prasarana) maka implementasi kebijakan tersebut tidak akan berhasil.
3. Komunikasi
Implementasi yang efektif akan terlaksana, jika para pembuat keputusan mengetahui mengenai apa yang akan mereka kerjakan. Informasi yang diketahui para pengambil keputusan hanya bisa didapat melalui komunikasi yang baik.
Terdapat beberapa hambatan umum yang biasa terjadi dalam transmisi komunikasi yaitu: Pertama, terdapat pertentangan antara pelaksana kebijakan dengan perintah yang dikeluarkan oleh pembuat kebijakan. Pertentangan seperti ini akan mengakibatkan distorsi dan hambatan yang langsung dalam komunikasi kebijakan. Kedua, informasi yang disampaikan melalui berlapis-lapis hierarki birokrasi. Distorsi komunikasi dapat terjadi karena panjangnya rantai informasi yang dapat mengakibatkan bias informasi.Ketiga, masalah penangkapan informasi juga diakibatkan oleh persepsi dan ketidakmampuan para pelaksana dalam memahami persyaratan-persyaratan suatu kebijakan.[76]
Faktor komunikasi sangat berpengaruh terhadap penerimaan kebijakan oleh kelompok sasaran, sehingga kualitas komunikasi akan mempengaruhi dalam mencapai efektivitas implementasi kebijakan publik. Dengan demikian, penyebaran isi kebijakan melalui proses komunikasi yang baik akan mempengaruhi terhadap implementasi kebijakan.











Proses formulasi dan implementasi kebijakan pendidikan tidaklah bersifat suigeneri dan seteril dari aneka pengaruh eksternal prosesnya dalam ranah dinamik yang rentan terhadap aneka pengaruh kepentingan politik dan birokratik. Mulai dari pemunculan isu, kemudian berkembang menjadi debat publik melalui media massa serta forum-forum terbatas lalu aspirasinya di pertimbangkan oleh partai politik untuk diartikulasikan dan dibahas dalam lembaga legislatif, sehingga menjadi kebijakan publik penddidikan.[77]
Grindle (1980) menempatkan implementasi kebijakan sebagai suatu proses politik dan administratif. Proses implementasi kebijakan hanya dapat dimulai apabila tujuan-tujuan dan sasaran-sasaran yang semula bersifat umum telah dirinci, program-program aksi telah dirancang dan sejumlah dana/biaya telah dialokasikan untuk mewujudkan tujuan-tujuan dan sasaran-sasaran tersebut. Ini merupakan syarat-syarat pokok bagi implementasi kebijakan publik apapun.[78]
Dalam proses implementasi atau pengadministrasian setiap program mungkin banyak aktor yang terlibat dalam penentuan pilihan-pilihan mengenai alokasi sumber-sumber publik tertentu serta banyak pihak yang mungkin berusaha keras untuk mempengaruhi keputusan-keputusan tersebut. Berbagai pihak yang kemungkinan berpihak dalam implementasi program tertentu ialah para perencana tingkat nasional; para politisi tingkat nasional, regional dan lokal; kelompok-kelompok elite ekonomi, khususnya di tingkat lokal; kelompok-kelompok penerima program dan para pelaksana atau para birokrat pada tingkat menengah atau bawah. Aktor-aktor tersebut mungkin terlibat secara penuh ataukah tidak dalam implementasi program tertentu sedikit banyak akan ditentukan oleh muatan program dan bagaimana bentuk pengadministrasian programnya. Apa yang diimplementasikan dengan demikian merupakan hasil suatu tarik-ulur kepentingan-kepentingan politik dan kelompok-kelompok yang saling berebut sumber-sumber yang langka, daya tanggap dari pejabat-pejabat pelaksana serta tindakan dari para elite politik yang kesemuanya itu berinteraksi dalam kelembagaan tertentu. Pada bagian pertama, pilihan-pilihan harus dibuat berkenaan dengan defiisi kebijakan dan program, serta pengaruhnya terhadap usaha implementasi yang mengikuti. Bagian kedua, pilihan-pilihan harus dibuat berkenaan dengan strategi implementasi dan konsekuensinya terhadap penyaluran program. Bagian ketiga, dipertanyakan siapa yang memetik keuntungan? Untuk itu pilihan-pilihan harus dibuat berkenaan dengan alokasi sumber dan konsekuensinya terhadap kelompok dan individu di masyarakat.[79]
Analisis yang berkenaan dengan implementasi kebijakan mengacu kepada nasihat, tentang bagaimana suatu kebijakan publik dilaksanakan pada dasarnya rumusan dan implementasi kebijakan merupakan upaya kinerja dari suatu kebijakan yang sudah ada. Analisis yang berkenaan dengan perbaikan proses kebijakan pada dasarnya mencakup analisis untuk perbaikan isi, implementasi ditambahkan lingkungan kebijakan. Analisis ini dapat mengarah kepada nasehat atau masukan unuk melakukan rekayasa lingkungan kebijakan baik strategi kelembagaan maupun penciraan melalui media masa maupun komunikasi langsung.[80]
Didalam kebijakan pendidikan aktor lapangan yang menjalankan secara langsung kebijakan yang telah di susun ialah siswa, guru, orang tua, kepala sekolah, komite sekolah lembaga dinas pendidikan tingkat II, dan dinas pendidikan tingkat I hihngga kepada pusat pengambil keputusan yaitu kementerian pendidikan jika pada pendidikan umum, ada yang membedakan antara pendidikan umum dengan pendidikan agama khususnya pendidikan yang bernuansa islami yaitu dibawah payung kementerian agama tentunya jika yang memayungi sebuah pendidikan berbeda maka sistem operasionalnya juga berbeda.
Menoleh ke historis berbagai bentuk kebijakan telah di hasilkan dimulai sebelum kemerdekaan hingga sampai sekarang di sebabkan oleh percepatan global dengan berbagai macam problem yang muncul. Saat ini sedang berjalan kebijakan selingkup dengan pendidikan yaitu kebijakan mengenai kurikulum, sistem pembelajaran, kualitas dosen dan kualias guru, sertifikasi, akreditasi sekolah, wajib belajar 9 tahun, anggaran pendidikan dan masih banyak lagi, namun pada implementasinya masih sangat jauh seperti yang diharapkan ini disebabkan oleh para elit politik yang bermain didalam perumusan hingga implementasi pendidikan. Dinding yang di buat oleh politik sangatlah susah untuk di tembus karena pusat birokrasi di Indonesia sangat buruk, lihat saja budaya masyarakat Indonesia haus akan kekuasaan dan uang. Hingga menyebabkan pengorbanan khalayak ramai untuk kepentingan pribadi. Berikut ini beberapa implementasi kebijkan pada beberapa indikator pendidikan yaitu: siswa, guru, Manajemen Kepala Sekolah, Kurikulum, dan dana pendidikan.
F. Evaluasi Kebijakan Pendidikan
Secara umum evaluasi kebijakan dapat dikatakan sebagai kegiatan yang menyangkut estimasi atau penilaian kebijakan yang mencakup substansi, implementasi dan dampak. Dalam hal ini, evaluasi dipandang sebagai suatu kegiatan fungsional. Artinya, evaluasi kebijakan tidak hanya dilakukan pada tahap akhir saja, melainkan dilakukan dalam seluruh proses kebijakan. Dengan demikian, evaluasi kebijakan bisa meliputi tahap perumusan masalah-masalah kebijakan, program-program yang diusulkan untuk menyelesaikan masalah kebijakan, implementasi, maupun tahap dampak kebijakan.[81] Jones (1987) Evaluasi : an activity designed to judges the merits of government programs which varies significancy in the spesificationof objects, the techniques measurement and methods of analysis (suatu aktivitas yg dirancang untuk menilai keberhasilan program- program yg berbeda secara tajam dalam spesifikasi obyeknya, tehnik pengukurannya serta metode analisanya).[82]
Menurut Lester dan Stewar evaluasi kebijakan dapat dibedakan kedalam dua tugas yaitu: tugas pertama ialah untuk menentukan konsekuensi-konsekuensi apa yang ditimbulkan oleh suatu kebijakan dengan cara menggambarkan dampaknya. Tugas kedua ialah untuk menilai keberhasilan atau kegagalan dari suatu kebijakan berdasarkan standar atau kriteria yang telah ditetapkan sebelumnya. [83]
Menurut Dunn; Ripley Fungsi Evaluasi yaitu untuk Eksplanasi : Menjelaskan realitas pelaksanaan program, Kepatuhan : Melihat apakah pelaksanaan sesuai standar dan prosedur), Auditing: Melihat apakah output sampai ke sasaran. Adakah kebocoran dan penyimpangan, Akunting: Apa akibat sosial ekonomi dari kebijakan. Misal seberapa jauh mampu meningkatkan pendapatan masyarakat, adakah dampak yang ditimbulkan.
Evaluasi kebijakan berfungsi sebagai pengawasan yang bertujuan untuk menilai sejauh mana keefektifan kebijakan public guna dipertanggungjawabkan kepada konsituennya dalam rangka melihat kesenjangan antara harapan dengan kenyataan. Selain itu evaluasi juga memberikan pemaparan aktivitas implementasi kebijakan dan dapat memberikan pemahaman terhadap alasan keberhasilan kebijakan atau kegagalan dan dapat memberikan saran terhadap tindakan untuk memberdayakan pencapaian sasaran kebijakan. Ada tiga tahap dalam melaksanakan evalusai yaitu : [84]
Pertama evaluasi formulasi kebijakan publik untuk melihat apakah formulasi kebijakan publik telah dilaksanakan dan teknik evaluasinya dapat mengacu pada model formulasi itu digunakan, jika formulasi kebijakan menemukan menggunakan model kelompok karena masalah yang dihadapi akan dapat diselesaikan dengan model kebijakan yang dirumuskan dalam kelompok maka proses formulasinyapun harus secara model kelompok. Jika yang terjadi tidak relevan maka secara proses formulasi kebijakan publik tidak dapat di peranggung jawabkan.
Kedua evaluasi Implemenasi kebijakan publik Sofian efendi mengungkapkan bahwa tujuan dari evaluasi implementasi kebijakan publik adalah untuk mengeahui variasi dalam indikator-indikator kinerja yang digunakan untuk menjawab pertanyaan pokok yaitu: bagaimana kinerja implementasi kebijakan publik? Faktor-faktor apa saja yang menyebabkan variasi itu terjadi?, bagaimana strategi peningkatan kinerja implemenasi kebijakan publik?
Ketiga evaluasi Lingkungan sosial kebijakan publik terbagi menjadi dua yang pertama evaluasi lingkungan formulasi kebijakan menghasilkan sebuah deskripsi bagaimana lingkungan kebijakan dibuat dan kenapa kebijakan seperi itu. Kedua evaluasi lingkungan, implementasi kebijakan berkenaan dengan faktor-fakor lingkungan apa saja yang membuat kebijakan gagal atau berhasil. Disamping itu terdapat beberapa Karakteristik Evaluasi kebijakan ialah sebagai berikut:
1. Evaluasi harus empirik tidak spekulatif hipotetik atau asumtif teoritik
2. Tidak bias pada satu alternatif atau dampak tertentu
3. Rasional, harus sistematis dan dapat dipertanggungjawabkan dihadapan pakar
4. Kajian harus dilakukan dari berbagai aspek
5. Handal dan sahih baik dalam analisis, ketersediaan data dan reliabilitas datanya[85]

Evaluasi implementasi kebijakan dibagi tiga menurut waktu evaluasi, yaitu; sebelum dilaksanakan/evaluasi summatif, pada waktu dilaksanakan/ evaluasi proses dan setelah dilaksanakan/evaluasi konsekuensi (output) kebijakan atau evaluasi pengaruh (outcome) kebijakan. Hasil evaluasi yang dihasilkan menjadi pusat perhatian dalam merumuskan kebijakan berikutnya adapun yang menjadi persalan yang mendesak yang harus di tangani ialah:
1. Pemerataan kesempatan memperoleh pendidikan yaitu pemerataan kesempatan memasuki sekolah (equality of acces), pemerataan kesempatan untuk bertahan di sekolah (equality of survival), pemerataan untuk memperoleh keberhasilan dalam belajar (equality of output), dan pemerataan kesempatan dalam menikmati manfaat pendidikan dalam kehidupan masyarakat (equality outcome)
2. Kualitas pendidikan yang masih sangat rendah hingga menyebabkan bangssa Indonesia sulit dalam bersaing dengan negara lain, kuallitas pendidikan mencakup aspek input, proses dan output dengan cattattan bahwa output sangat di tentukan oleh proses dan proses sangat di ttentukan oleh input. Maka harus ada perhatian khusus terhadap kualitas guru
3. Relevansi pendidikan yang menunjukkan kesesuaian hasil pendidikan dengan kebutuhan baik kebutuhan siswa itu sendiri masyarakat maupun dunia kerja banyaknya sarjanawan yang menjadi penganguran maka disini pemerintah harus mengkriitisi program studi yang di buka oleh perguruan tinggi harus relevan dengan tuntutan zaman.[86]

Adapun beberapa sasaran evaluasi kebijakan yaitu: Menentukan seluruh kebijakan dan nilai kebijakan dalam pencapaian maksud dan tujuan, Mengidentifikasi keberhasilan dan kegagalan komponen kebijakan, Penerimaan program strategis yang merupakan kontribusi terbaik terhadap keberhasilan implementasi kebijakan, Penilaian efek samping yang tidak diharapkan atau akibat yang tidak diinginkan dari usaha kebijakan. Evaluasi kebijakan agar dapat mengukur dampak kebijakan publik.Dampak terhadap kebijakan publik yaitu berdampak terhadap target siuasi attau target group, berdampak terhadap group diluar target (dampak spillover), berdampak terhadap masa depan, biaya langsung sumberdaya yang digunakan untuk program, biaya tidak langsung untuk melakukan hal yang lain. Terhadap evaluasi biasanya pemerintah melakukan, kunjungan ke lokasi, mendengarkan dan laporan, pengukuran program, membandingkan dengan standar profesional dan mengevaluasi keluhan masyarakat.
Keputusan yang dapat diambil dari hasil evaluasi menurut Weis dalam Shafritz and Hyde, yaitu untuk: a) Meneruskan atau mengakhiri program, b)Memperbaiki praktek & prosedur administrasi, c) Menambah atau mengurangi strategi dan tehnik implementasi, d) Melembagakan program ke tempat lain,e)Mengalokasikan sumber daya ke program lain, f) Menolak atau menerima pendekatan/ teori yg digunakan sbg asumsi. Meta evaluasi: Menguji dan menilai proses evaluasi itu sendiri, apakah telah dilakukan dgn benar, profesional dan obyektif? Namun kecenderungan evaluasi saat ini sering tidak sungguh-sungguh karena evaluatornya dari Pemerintah, Hasil evaluasi tak konklusif, membahas banyak persoalan tetapi tanpa arah yang jelas, shg tak ada rekomendasi yg argumentatif, Karena dilakukan secara rutin maka hasilnya kurang tajam. Hanya formalitas, membaca data dan memasukkannya dalam form-form tertentu
Pada tahap evaluasi program sering terjadi kegagalan ini disebabkan oleh sulitnya menentukan tujuan dari program yang akan dianalisis, banyaknya program dan kebijakan memiliki nilai dasar yang bersifat simbolik, lembaga pemerintah mempunyai kepentingan untuk membuktikan bahwa program mereka mempunyai dampak positif, disamping itu lembaga pemerintah biasa mengeluarkan banyak biaya dalam program dan kebijakannya. Mereka tidak suka apabila diketahui bahwa program tersebut tidak berhasil, sudi yang dilaksanakan untuk mengkaji dampak dari program pemerintah yang dilakukan oleh lembaga pemerintah sendiri biasanya akan mengganggu akivitas program yang sedang berjalan, evaluasi program membutuhkan biaya, fasilitas, waktu dan personil yang biasanya tidak mau dikorbankan oleh lembaga pemerintah[87]
Dalam pengimplementasian kebijakan pendidikan, terkadang permasalahan di lapangan sering dijumpai, sehingga hasil yang didapat tidak sesuai dengan harapan, hal ini disebabkan karena adanya kesenjangan dalam pelaksanaan. Menurut Anderson, ada beberapa faktor-faktor yang menyebabkan kebijakan-kebijakan tidak sesuai dengan harapan yaitu:
1. Sumber-sumber yang tidak memadai
2. Cara yang digunakan untuk melaksanakan kebijakan
3. Masalah-masalah publik
4. Cara orang menanggapi atau menyesuaikan diri terhadap kebijakan-kebijakan publik yang justru meniadakan dampak yang diinginkan
5. Tujuan-tujuan yang tidak sebanding dan bertentagan satu sama lain
6. Biaya yang dibutuhkan untuk menyelesaikan masalah jauh lebih besar dibanding dengan masalah tersebut
7. Banyak masalah –masalah pendidikan yang tidak mungkin dapat diselesaiakan[88]
Beberapa khasus kesenjangan antara kebijakan dengan implementasinya ialah: UU mengenai UAN ditingkat aktor siswa disini berperan sebagai objek kebijakan dimana siswa di tuntut agar mampu lulus dalam ujian yang hanya dilaksanakan beberapa hari saja untuk menentukan kelulusan dan tingkat kualitasnya, menyebabkan pembelajaran dilakukan sangat extra hanya pada saat ttingkat terakhir pendidikan di sekolah tersebut. Tidak hanya sampai disitu UAN ini menjadi momok bagi siswa hingga belajar ekstra dengan mengikuti private-private ini berlaku bagi golongan yang memiliki uang bagaimana dengan golongan yang miskin? Pertanyaan ini sangat memilukan pasalnya UU yang dihasilkan pemerintah secara tidak langsung terbentuk dikotomi antara kualitas pendidikan yang didapatkan antara simiskin dengan sikaya.
Sebuah kasus yang dieliti oleh mahasiswa fakultas tarbiyah UIN sunan kalijaga yogyakarta tahun 2008 yang dirangkum didalam buku Nasip Pendidikan Kaum Miskin, didalam tulisan ini secara gamblang dan menyedihkan, bahwa pendidikan bagi anak –anak Indonesia yang diwakilkan dalam penelitian ini menunjukkan masih banyak anak- anak yang tidak mendapatkan pendidikan di bangku sekolah dasar, apalagi di sekolah lanjutan, ini sangat ironis dengan rumusan kebijakan pendidikan yang menyatakan bahwa seiap warga negara berhak mendapatkan pendidikan dan pemerintah wajib membiayainya.
Konon saat ini pemerintah dalam kebijakannya telah mengucurkan dana 20 % untuk pendidikan, namun kenyataannya jauh dari yang diharapkan orang tua, anak jalanan ini jangankan untuk sekolah, untuk mendapat sesuap nasi demi kelangsungan kehidupannya saja sangat sulit di peroleh. Sungguh sangat memprihatinkan dan yang paling mencengangkan para koruptor dan elit politik duduk di kursi basah tanpa menggubris keadaan masyarakatnya yang memilukan. Dari kasus ini dapat kita simpulkan bahwa sistem pemerintah dan birokrasi Indonesia sangat buruk. Yang menjadi pertanyaan sekarang adalah siapakah yang bertanggung jawab?, apakah hukum atau peraturan yang telah di buat hanya untuk proyek elit politik saja? Untuk menjawabnya penulis serahkan kepada para pembaca yang mau dan perduli terhadap pendidikan kita saat ini !

Problem lain yang sudah mengintai pendidikan kita saat ini, yaitu kualitas guru masih sangat minim, apalagi adanya perubahan kurikulum KBK menjadi KTSP, guru mengalami kesulitan dalam memahami dan mengimplementasikan kurikulum KTSP yang merangkum petunjuk proses belajar mengajar. Hal ini disebabkan kurangnya sosialisasi pemerintah kepada masyarakat di seluruh nusantara, di samping itu, budaya warga Indonesia masi belum kreatif dalam berfikir sehingga menyebabkan proses pembelajaran menjadi kaku. Padahal dalam proses pendidikan, guru merupakan aktor kunci, jika guru tidak profesional maka sangat tidak mungkin akan menghasilkan siswa yang bermutu. Meminjam perkataan Dr. Ahmad Janan Asifudin “jangan harap siswa bermutu kalau guru tidak bermutu”.














BAB III
PENUTUP
KESIMPULAN
Berdasarkan uraian diatas maka dalam penulisan ini dapat disimpulkan bahwa proses dalam menghasilkan sebuah kebijakan publik umumnya dan kebijakan politik khususnya yang sempurna sangatlah rumit dan panjang apalagi pada saat implementasi yang berkaitan dengan seluruh elemen dalam sebuah negara dan berdampak kepada masyarakat dan negara luar.






DAFTAR PUSTAKA

http://file.upi.edu/Direktori/ Rahmat%20Hidayat/Hakikat %20 pendidikan.
Sugiono, Metode Penelitian Pendidikan : Pendekatan Kuantitatif, kualitatif, dan R & D, Bandung;Alfabeta, Cet 11, 2010
Tilaar dan Riant Nugroho, Kebijakan Pendidikan : Pengantar untuk memahami kebijakan pendidikan dan kebijakan pendidikan publik, Yogyakarta : Pustaka Pelajar, cet II, 2009
Ali Imron, Kebijaksanaan Pendidikan di Indonesia: Proses Produk dan Masa Depannya, Jakarta: Bumi Aksara, 2008
Tabrani & Samsul Arifin, Islam Pluralitas Budaya dan Politik, Yogyakarta: SI Press, 1994
Jurnal Kependidikan Islam, Volume 1, No 1, Februari-Juli 2003
Malik Fajar, Platfrom Reformasi Pendidikan dan Pengembangan Sumberdaya Manusia, Ciputat: Logos Wacana Ilmu, 2001
Noeng Muhadjir, Metodologi Penelitian kebijakan dan Evaluasi Research, Yogyakarta: Rake Sarasin, 2003
http://Faihansyaddad.wordpress.com/2010/14/analisis-kebijakan-pendidikan-islam-bidang-kurikulumi
Subandijah, Pengembangan dan Inovasi Kurikulum, Jakarta :Raja Gravindo Persada, 1993
Syafaruddin, Evektivitas Kebijakan Pendidikan: konsep, strategi, dan aplikasi kebijakan menuju organisasi sekolah efektif, Jakarta: Rineka Cipta, 2008
Ace Suryadi & H.A.R Tilaar, Analisis Kebijakan Pendidikan Suatu Pengantar, Bandung: PT. Remaja Rosda Karya
Ali Muhdi, Tesis Karaker Kebijakan Pendidikan Nasional & Implikasinya Bagi Pendidikan Agama Islam di Indonesia (Studi Komparasi Era Orde Baru dan Reformasi), Yogyakarta: UIN Sunan Kalijaga, 2007
Budi Winarno, Teori Kebijaksanaan Public, Yogyakarta: Pusat Antar Universitas, Studi Sosial Universitas Gajah Mada, 1989
Budi Winarno, Kebijakan Publik ( Teori dan Proses), Yogyakarta : MedPress, 2008
M.Irfan Islamy, Prinsip-prinsip Perumusan Kebijaksanaan Negara, Jakarta: Bumi Aksara, 2001
Muhaimin, “Paradigma Pendidikan Islam: Upaya mengefektifkan Pendidikan Agama Islam di Sekolah”, Bandung, Rosdakarya, 2001
Tim Dosen Fakultas Ilmu Pendidikan IKIP Malang, “Kapita Selekta-Pengantar Dasar-Dasar Kependidikan”, Malang, 1981
Solichin Abdul Wahab, Analisis Kebijaksanaan : Dari Formulasi ke Implementasi Kebijaksanaan Negara, Jakarta: Bumi Aksara, 1997
http://mudjiarahardjo.com/materi-kuliah/111-pengantar-analisis-kebijakan-pendidikan.html
M. Sirozi, Politik pendidikan. Jakarta : PT Raja Grafindo, 2005
Cecep Darm
awan. Politik Pendidikan Indonesia. Harian Pikiran Rakyat, Senin 4 Mei 2009
Rum Rosyid. Politik Pendidikan Indonesia. 20 September 2010
Benny Susetyo, Politik Pendidikan Penguasa, Yokyakarta: Likis, 2005
Agus Salim, Indonesia Belajarlah Membangun Pendidikan Indonesia, Yokyakara: Tiara Wacana, 2007
Arif Rahman & Teguh Wiyono, Education Policy In Decentralicion Era, Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2010
Muhammad Sirozi, Politik Kebijakan Pendidikan di Indonesia, Jakarta: INIS, 2004
Tpsofian.staff.ugm.ac.idkuliahModel Kebijakan.pdf di akses 10 Des 2010
Budi Winarno, Kebijakan Publik ( Teori dan Proses), Yogyakarta : MedPress, 2008.
Muhammad Nuh, Kebijakan Pendidikan didasarkan 5k , http://kotawaringinbaratkab.go.id sebuah artikel 04 May 2010 10:27, download tanggal 8 Januari 2011
http://www.scribd.com/doc/18531284/Kebijakan-Pendidikan
Aswandi, Proses sebuah kebijakan, http://www.facebook.com/topic.php, Senin, 20 Juli 2009 , download tanggal 8 Januari 2011
Media Indonesia ,dalam artikel, kebijakan , diakses tanggal 12 Desember 2010
Budi Winarno, Kebijakan Publik ( Teori dan Proses), Yogyakarta : MedPress, 2008
http://www.scribd.com/doc/18531284/Kebijakan-Pendidikan
Wajdi Rahman, Implementasi Kebijakan UU No.22 Th 1999 di DPRD kota Yogyakarta, dalam kerangka pelaksanaan fungsi pengawasan dan legalisasi. Tesis MAP UGM Yogyakarta: 2002
Malcoln L. Goggin dkk, Implementation Theory and Practice, London England Scott Forgsman Little : Brown Higer Education, 1990
Media Indonesia, Proses Implementasi Kebijakan Publik, http://hykurniawan.wordpress.com/2009/01/23/proses-implementasi-kebijakan-publik/ 23 Januari 2009, download tanggal 8 Januari 2011
Arif Rohman &Teguh Wiyono, Education Policy, Yogyakarta: PustakaPelajar, 2010
Kertya Witaradya, Implementasi Kebijakan Model CG Edward, http://kertyawitaradya.wordpress.com/2010/01/26/tinjauan-teoritis-implementasi-kebijakan-model-c-g-edward-iii/ January 26, 2010, download tanggal 9Januari 2011
Tachjan, 2006. Implementasi Kebijakan Publik. Bandung: Lemlit Unpad, 2006

Arif Rohman &Teguh Wiyono, Education Policy, Yogyakarta: PustakaPelajar, 2010
Arif Rahman & Teguh Wiyono, Education Policy In Decentralicion Era, Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2010

1 http://file.upi.edu/Direktori/ Rahmat%20Hidayat/Hakikat %20 pendidikan.
2Sugiono, Metode Penelitian Pendidikan : Pendekatan Kuantitatif, kualitatif, dan R & D, (Bandung;Alfabeta, Cet 11, 2010), hlm.iii
3 Tilaar dan Riant Nugroho, Kebijakan Pendidikan : Pengantar untuk memahami kebijakan pendidikan dan kebijakan pendidikan publik, (Yogyakarta : Pustaka Pelajar, cet II, 2009), hlm. Viii
4 Ali Imron, Kebijaksanaan Pendidikan di Indonesia: Proses Produk dan Masa Depannya, (Jakarta: Bumi Aksara, 2008), hlm.
5 Tabrani & Samsul Arifin, Islam Pluralitas Budaya dan Politik, (Yogyakarta: SI Press, 1994), hlm. 123
6 Jurnal Kependidikan Islam, Volume 1, No 1, Februari-Juli 2003, hlm. 95
7 Malik Fajar, Platfrom Reformasi Pendidikan dan Pengembangan Sumberdaya Manusia, (Ciputat: Logos Wacana Ilmu, 2001), hlm. 22
8 Noeng Muhadjir, Metodologi Penelitian kebijakan dan Evaluasi Research, (Yogyakarta: Rake Sarasin, 2003), hlm.1
9 http:// Faihansyaddad.wordpress.com/2010/14/analisis-kebijakan-pendidikan-islam-bidang-kurikulumi
10 Subandijah, Pengembangan dan Inovasi Kurikulum, (Jakarta :Raja Gravindo Persada, 1993), hlm.3
11 Syafaruddin, Evektivitas Kebijakan Pendidikan: konsep, strategi, dan aplikasi kebijakan menuju organisasi sekolah efektif, (Jakarta: Rineka Cipta, 2008), hlm.15
12 Ali Imron, Kebijaksanaan, Ibid., hlm. 57
13 Ace Suryadi & H.A.R Tilaar, Analisis Kebijakan Pendidikan Suatu Pengantar, Bandung: PT. Remaja Rosda Karya, hlm. 42-45
14 Ali Muhdi, Tesis Karaker Kebijakan Pendidikan Nasional & Implikasinya Bagi Pendidikan Agama Islam di Indonesia (Studi Komparasi Era Orde Baru dan Reformasi), Yogyakarta: UIN Sunan Kalijaga, 2007, hlm 22
15 Budi Winarno, Teori Kebijaksanaan Public, (Yogyakarta: Pusat Antar Universitas, Studi Sosial Universitas Gajah Mada, 1989), hlm.16
16 Syafaruddin, Evektivitas, Ibid., hlm. 77
17 Budi Winarno, Kebijakan Publik ( Teori dan Proses), Yogyakarta : MedPress, 2008. Hal 18- 19
18 M.Irfan Islamy, Prinsip-prinsip Perumusan Kebijaksanaan Negara, (Jakarta: Bumi Aksara, 2001), hlm.17
19 Muhaimin, “Paradigma Pendidikan Islam: Upaya mengefektifkan Pendidikan Agama Islam di Sekolah”, (Bandung, Rosdakarya, 2001), hal. 37.
20 Tim Dosen Fakultas Ilmu Pendidikan IKIP Malang, “Kapita Selekta-Pengantar Dasar-Dasar Kependidikan”, (Malang, 1981), hal. 6
21 Solichin Abdul Wahab, Analisis Kebijaksanaan : Dari Formulasi ke Implementasi Kebijaksanaan Negara, (Jakarta: Bumi Aksara, 1997), hlm. 64
22 http://mudjiarahardjo.com/materi-kuliah/111-pengantar-analisis-kebijakan-pendidikan.html
23 M. Sirozi, Politik pendidikan. (Jakarta : PT Raja Grafindo, 2005), hlm. 1
24 W.J.S. Poerwad Ali Muhdi, Tesis Karaker .., hlm.52

26 Cecep Darmawan. Politik Pendidikan Indonesia. Harian Pikiran Rakyat, Senin 4 Mei 2009
27 Rum Rosyid. Politik Pendidikan Indonesia. 20 September 2010, hlm.4
28 M. Sirozi, Politik, .., hlm.1
29 Benny Susetyo, Politik Pendidikan Penguasa, Yokyakarta: Likis, 2005, hlm.110-136
30Ibid., hal. 155-166
31Agus Salim, Indonesia Belajarlah Membangun Pendidikan Indonesia, Yokyakara: Tiara Wacana, 2007 hal 92-95
32 Arif Rahman & Teguh Wiyono, Education Policy In Decentralicion Era, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2010), hlm. 5
33 Syafaruddin, Evektivitas, Ibid., hlm 9
34 Syafaruddin, Evektivitas .., 125
35 Muhammad Sirozi, Politik Kebijakan Pendidikan di Indonesia, (Jakarta: INIS, 2004), hlm.7
36 Tpsofian.staff.ugm.ac.idkuliahModel Kebijakan.pdf di akses 10 Des 2010
37 Budi Winarno, Kebijakan Publik .., Hal.79
38 Budi Winarno, Kebijakan Publik ( Teori dan Proses), Yogyakarta : MedPress, 2008. Hal 18- 19
39 Tilaar., hlm. 190-191
40 Ace Suryadi & H.A.R Tilaar, Analisis Kebijakan .., hlm. 49
41 Ibid.., hal 95
42 Muhammad Nuh, Kebijakan Pendidikan didasarkan 5k , http://kotawaringinbaratkab.go.id sebuah artikel 04 May 2010 10:27, download tanggal 8 Januari 2011
43 http://www.scribd.com/doc/18531284/Kebijakan-Pendidikan
44 Ali Imran, Kebijakan., Ibid, hlm.31-32
45 Ibid., hlm.37
46 Aswandi, Proses sebuah kebijakan, http://www.facebook.com/topic.php, Senin, 20 Juli 2009 , download tanggal 8 Januari 2011
47 Media Indonesia ,dalam artikel, kebijakan , diakses tanggal 12 Desember 2010
48 Tilaar dan Riant Nugroho, Kebijakan.,
49 Ali Muhdi, Tesis Karakter Kebijakan .., hlm 39-46
50 Budi Winarno, Kebijakan Publik ( Teori dan Proses), Yogyakarta : MedPress, 2008. Hal 133-135
51 http://www.scribd.com/doc/18531284/Kebijakan-Pendidikan
52 Wajdi Rahman, Implementasi Kebijakan UU No.22 Th 1999 di DPRD kota Yogyakarta, dalam kerangka pelaksanaan fungsi pengawasan dan legalisasi. Tesis MAP UGM (Yogyakarta: 2002), hlm. 29
53 Malcoln L. Goggin dkk, Implementation Theory and Practice, (London England Scott Forgsman / Little : Brown Higer Education, 1990), hlm. 34
54 Media Indonesia, Proses Implementasi Kebijakan Publik, http://hykurniawan.wordpress.com/2009/01/23/proses-implementasi-kebijakan-publik/ 23 Januari 2009, download tanggal 8 Januari 2011
55 Ibid.,
56 Arif Rohman &Teguh Wiyono, Education Policy, (Yogyakarta: PustakaPelajar, 2010), hlm. 3
57 H.A.R.Tilaar & Riant Nugroho, Kebijakan, , hlm. 211
58 Arif Rohman, Education, Ibid., hlm. 8-13
59 Ibid., hlm. 14
60 Wajdi Rahman, Implementasi, Ibid., hlm. 15
61 Kertya Witaradya, Implementasi Kebijakan Model CG Edward, http://kertyawitaradya.wordpress.com/2010/01/26/tinjauan-teoritis-implementasi-kebijakan-model-c-g-edward-iii/ January 26, 2010, download tanggal 9Januari 2011
62 Budi Winarno, Teori & Proses ..., hlm. 149-160
63 Tachjan, 2006. Implementasi Kebijakan Publik. (Bandung: Lemlit Unpad, 2006), hlm.135

64 Budi Winarno, Teori, Ibid., hlm. 127
65 Arif Rohman &Teguh Wiyono, Education Policy, (Yogyakarta: PustakaPelajar, 2010), hlm. 3
66 Mudjia Rahardjo, Ibid.,
67 Ibid., hlm. 250
68 Budi Winarno, Kebijakan Publik .., Hal. 226
69 H.A.R.Tilaar & Riant Nugroho, Kebijakan, , hlm. 234
70Arif Rahman & Teguh Wiyono, Education Policy In Decentralicion Era, Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2010 Hal. 168-173
71 Budi Winarno, Kebijakan Publik .., Hal. 247



[1] http://file.upi.edu/Direktori/ Rahmat%20Hidayat/Hakikat %20 pendidikan.
[2]Sugiono, Metode Penelitian Pendidikan : Pendekatan Kuantitatif, kualitatif, dan R & D, (Bandung;Alfabeta, Cet 11, 2010), hlm.iii
[3] Tilaar dan Riant Nugroho, Kebijakan Pendidikan : Pengantar untuk memahami kebijakan pendidikan dan kebijakan pendidikan publik, (Yogyakarta : Pustaka Pelajar, cet II, 2009), hlm. Viii
[4] Tabrani & Samsul Arifin, Islam Pluralitas Budaya dan Politik, (Yogyakarta: SI Press, 1994), hlm. 123
[5] Jurnal Kependidikan Islam, Volume 1, No 1, Februari-Juli 2003, hlm. 95
[6] Malik Fajar, Platfrom Reformasi Pendidikan dan Pengembangan Sumberdaya Manusia, (Ciputat: Logos Wacana Ilmu, 2001), hlm. 22
[7] Noeng Muhadjir, Metodologi Penelitian kebijakan dan Evaluasi Research, (Yogyakarta: Rake Sarasin, 2003), hlm.1
[8]http://Faihansyaddad.wordpress.com/2010/14/analisis-kebijakan-pendidikan-islam-bidang-kurikulum
[9] Subandijah, Pengembangan dan Inovasi Kurikulum, (Jakarta :Raja Gravindo Persada, 1993), hlm.3
[10] Syafaruddin, Evektivitas Kebijakan Pendidikan: konsep, strategi, dan aplikasi kebijakan menuju organisasi sekolah efektif, (Jakarta: Rineka Cipta, 2008), hlm.15
[11] Ali Imron, Kebijaksanaan Pendidikan Indonesia, (Jakarta: Bumi Aksara, 2008), hlm. 57
[12] Ace Suryadi & H.A.R Tilaar, Analisis Kebijakan Pendidikan Suatu Pengantar, Bandung: PT. Remaja Rosda Karya, hlm. 42-45
[13] Ali Muhdi, Tesis Karaker Kebijakan Pendidikan Nasional & Implikasinya Bagi Pendidikan Agama Islam di Indonesia (Studi Komparasi Era Orde Baru dan Reformasi),(Yogyakarta: UIN Sunan Kalijaga, 2007), hlm 22
[14] Budi Winarno, Teori Kebijaksanaan Public, (Yogyakarta: Pusat Antar Universitas, Studi Sosial Universitas Gajah Mada, 1989), hlm.16
[15] Syafaruddin, Evektivitas., hlm. 77
[16] Budi Winarno, Kebijakan Publik ( Teori dan Proses), (Yogyakarta : MedPress, 2008). Hal 18- 19
[17] M.Irfan Islamy, Prinsip-prinsip Perumusan Kebijaksanaan Negara, (Jakarta: Bumi Aksara, 2001), hlm.17
[18] Muhaimin, Paradigma Pendidikan Islam: Upaya mengefektifkan Pendidikan Agama Islam di Sekolah, (Bandung, Rosdakarya, 2001), hlm. 37.
[19] Tim Dosen Fakultas Ilmu Pendidikan IKIP Malang, Kapita Selekta-Pengantar Dasar-Dasar Kependidikan, (Malang: 1981), hlm. 6
[20] Solichin Abdul Wahab, Analisis Kebijaksanaan : Dari Formulasi ke Implementasi Kebijaksanaan Negara, (Jakarta: Bumi Aksara, 1997), hlm. 64
[22] M. Sirozi, Politik pendidikan. (Jakarta : PT Raja Grafindo, 2005), hlm. 1
[23] W.J.S. Poerwad Ali Muhdi, Tesis Karaker .., hlm.52
[24] http://hidupuntukberfikir.blogspot.com/2010/12/politik-pendidikan-institusi-kekuasaan.html
[25] Cecep Darmawan. Politik Pendidikan Indonesia. Harian Pikiran Rakyat, Senin 4 Mei 2009
[26] Rum Rosyid. Politik Pendidikan Indonesia. 20 September 2010, hlm.4
[27] M. Sirozi, Politik, .., hlm.1
[28] Benny Susetyo, Politik Pendidikan Penguasa, (Yokyakarta: Likis, 2005), hlm.110-136
[29] Catanese, Antony James, The Politics of Planning and Developmen, (London : Sage Publications Beverly Hill, 1984), hlm. 57
[30] Thomson, John Thomas, Policy Making in American Education, ( New Jersey: Englewood Cliffs, 1976), hlm.1
[31] http://jipkendal.wordpress.com/2007/12/12/peringkat-pendidikan-turun-dari-58-ke-62/
[32]Benny Susetyo, Politik Pendidikan., hlm. 155-166
[33]Agus Salim, Indonesia Belajarlah Membangun Pendidikan Indonesia, Yokyakara: Tiara Wacana, 2007 hlm 92-95
[34] Arif Rahman & Teguh Wiyono, Education Policy In Decentralicion Era, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2010), hlm. 5
[35] Syafaruddin, Evektivitas., hlm 9
[36] Ahmad Tafsir, Filsafat Pendidikan Islam (Bandung: PT. Remaja Rosdakaya, 2010) hlm. 11
[37]http://file.upi.edu/Direktori/C%20%20FPBS/JUR.%20PEND.%20SENI%20RUPA/196611071994021%20%20TRI%20KARYONO/Memahami%20%20%27values%27%20dalam%20Pendidikan%20.TRI%20KARYONO.pdf
[39] H.A.R.Tilaar & RiantNugroho, KebijakanPendidikan, (Yogyakarta: PusakaPelajar, 2008), hlm. 134-135
[40] http://www.dhanay.co.cc/2008/12/hakikat-pendidikan_23.html
[41] Syafaruddin, Evektivitas., hlm.125
[42] Muhammad Sirozi, Politik Kebijakan Pendidikan di Indonesia, (Jakarta: INIS, 2004), hlm.7
[43] tpsofian.staff.ugm.ac.idkuliahModel Kebijakan.pdf di akses 10 Des 2010
[44] Budi Winarno, Kebijakan Publik .., hlm.79
[45] Ace Suryadi & H.A.R Tilaar, Analisis Kebijakan., hal 95
[46] Budi Winarno, Kebijakan Publik., hlm. 18- 19
[47] Tilaar dan Riant Nugroho, Kebijakan., hlm. 190-191
[48] Ace Suryadi & H.A.R Tilaar, Analisis Kebijakan .., hlm. 49
[49] Muhammad Nuh, Kebijakan Pendidikan didasamrkan 5k , http://kotawaringinbaratkab.go.id sebuah artikel 04 May 2010 10:27, download tanggal 8 Januari 2011
[50] http://www.scribd.com/doc/18531284/Kebijakan-Pendidikan
[51] Budi Winarno, Kebijakan Publik, hlm.37
[52] Aswandi, Proses sebuah kebijakan, http://www.facebook.com/topic.php, Senin, 20 Juli 2009 , download tanggal 8 Januari 2011
[53] Media Indonesia, Dalam Artikel, Kebijakan , diakses tanggal 12 Desember 2010
[54] Budi Winarno, Kebijakan Publik., hlm. 133-135
[55] Ibid., hlm. 98
[56] Tilaar dan Riant Nugroho, Kebijakan., hlm. 141-150
[57] Ali Muhdi, Tesis Karaker Kebijakan .., hlm 39-46
[58] http://www.slideshare.net/triwidodowutomo/kebijakan-publik
[59] http://www.scribd.com/doc/18531284/Kebijakan-Pendidikan
[60] http://id.wikipedia.org/wiki/Kebijakan_publik
[61] http://www.slideshare.net/triwidodowutomo/kebijakan-publik
[62] Wajdi Rahman, Implementasi Kebijakan UU No.22 Th 1999 di DPRD kota Yogyakarta, dalam kerangka pelaksanaan fungsi pengawasan dan legalisasi. Tesis MAP UGM (Yogyakarta: 2002), hlm. 29
[63] Malcoln L. Goggin dkk, Implementation Theory and Practice, (London England Scott Forgsman / Little : Brown Higer Education, 1990), hlm. 34
[64] Media Indonesia, Proses Implementasi Kebijakan Publik,http://hykurniawan.wordpress.com/2009/01/23/proses-implementasi-kebijakan-publik/ 23 Januari 2009, download tanggal 8 Januari 2011

[65] Ibid.,
[66] Arif Rohman &Teguh Wiyono, Education., hlm. 3
[67] H.A.R.Tilaar & Riant Nugroho, Kebijakan, , hlm. 211
[68] Arif Rohman, Education., hlm. 8-13
[69] Ibid., hlm. 14
[70] http://forester-rimbawan.blogspot.com/2009/05/model-model-implementasi-kebijakan.html
[71] Wajdi Rahman, Implementasi., hlm. 15
[72] http://mulyono.staff.uns.ac.id/2009/05/29/model-proses-implementasi-kebijakan-van-meter-and-van-horn/
[73] Kertya Witaradya, Implementasi Kebijakan Model CG Edward, http://kertyawitaradya.wordpress.com/2010/01/26/tinjauan-teoritis-implementasi-kebijakan-model-c-g-edward-iii/ January 26, 2010, download tanggal 9Januari 2011
[74] Budi Winarno, Teori & Proses., hlm. 149-160
[75] Tachjan, Implementasi Kebijakan Publik. (Bandung: Lemlit Unpad, 2006), hlm.135

[76] Budi Winarno, Teori., hlm. 127
[77] Arif Rohman &Teguh Wiyono, Education ., hlm. 3
[78] http://repository.usu.ac.id/bitstream/123456789/19385/4/Chapter%20I.pdf
[79] http://mudjiarahardjo.com/materi-kuliah/111-pengantar-analisis-kebijakan-pendidikan.html
[80] Budi Winarno, Teori., hlm. 250
[81] http://id.wikipedia.org/wiki/Kebijakan_publik
[83] Budi Winarno, Kebijakan Publik .., Hal. 226
[84] H.A.R.Tilaar & Riant Nugroho, Kebijakan, , hlm. 234
[85]http://www.google.com/search?q=evaluasi+Kebijakan+Pendidikan&hl=en&noj=1&prmd=ivns&ei=mDZPTdzAOoLqrAeEmMnZBg&start=40&sa=http://www.google.com/search?q=evaluasi+Kebijakan+Pendidikan&hl=en&noj=1&prmd=ivns&ei=mDZPTdzAOoLqrAeEmMnZBg&start=40&sa=N
[86]Arif Rahman & Teguh Wiyono, Education., 168-173
[87] http://teguh-kurniawan.web.ugm.ac.id/bahan-ajar/Adm_Lingk_13032007.pdf
[88] Budi Winarno, Kebijakan Publik .., Hal. 247