Rabu, 21 Desember 2011

asuransi syariah

MAKALAH
ASURANSI SYARIAH
ASURANSI JIWA DAN ASURANSI KERUGIAN


Di Susun oleh:

Kelompok 3

Nur Zhuhri Mahdiati
Santi Saputri



JURUSAN SYARI’AH
PROGRAM STUDI MU’AMALAH
SEKOLAH TINGGI AGAMA ISLAM NEGERI (STAIN)
BENGKULU
2010



ASURANSI KERUGIAN DAN ASURANSI JIWA SYARIAH

PENDAHULUAN
  1. Latar Belakang
Asuransi syariah adalah suatu pengaturan pengelolaan resiko yang memenuhi ketentuan syariah, tolong menolong secara yang melibatkan peserta dan operator.[1] Syariah merupakan ketentuan-ketentuan yang berasal dari nash-nash Al- Qur’an dan As-Sunnah.
Asuransi hakikatnya adalah suatu cara untuk melindungi kerugian yang terjadi dengan membagikannya secara merata kepada masyarakat atau kelompok.[2] Asuransi pada zaman moderen ini memang sedang berkembang dan sengat digemari oleh masyarakat yang memang ingin melindungi harta atau sesuatu yang bernilai jika mengalami kemalangan atau kecelakaan. Ada sebagian ulama yang kontra terhadap perjanjian asuransi moderen sekarang, namun telah banyak juga golongan ulama kontemporer yang mengemukakan tentang kebolehan dan hukum dari asuransi ini. Apalagi sekarang telah banyak Asuransi Syari’ah yang operasinalnya sesuai dengan prinsip-prinsip Islam, dengan demikian dalam operesional asuransi syariah tentunya sangat berbeda dari asuransi konvensional.
Menutut Muhaimin Iqbal dalam bukunya Asuransi Umum Syariah dalam Praktek, beliau menyebutkan letak perbedaan itu dilihat dari bagaimana risiko itu dikelola dan ditanggung, dan selanjutnya bagaimana dana asuransi tersebut dikelola. Tentunya jelas bahwa dalam pengelolaan dan penanggungan risiko, asuransi syariah tidak memperbolehkan adanya gharar, maisir serta dalam investasi dan manajemen dana tidak juga diperkenankan adanya Riba atau  bunga.
Secara teoritis asuransi syariah masih menginduk kepada kajian ekonomi Islam secara umum. Oleh karena itu, asuransi syariah harus tunduk kepada aturan-aturan syariah. Asuransi syariah mempunyai karakteristik yang berbeda dengan asuransi konvensioanal, karakteristik inilah yang menjadi ciri utama dari asuransi syariah.Begitupun dengan sistem pengelolaannya, asuransi syariah mempunyai prinsip-prinsip yang dijalani dan dihayati oleh semua praktisi dan orang yang terlibat didalamnya. Prinsip ta’awun benar-benar diimplikasikan sebagai salah satu bentuk tolong-menolong antara sesama muslim bersaudara, bukankah Islam mengajarkan kita untuk saling tolong-menolong terhadap saudara kita yang membutuhkan pertolongan.
Lainnya halnya dengan asuransi konvensional yang mengutamakan keuntungan dan komersial, tanpa mempertimbangakan tentang adab dan kehalalan dari transaksi yang mereka jalankan. Itulah tadi sekilas mengenai perbedaan asuransi syariah dengan asuransi Konvensional yang menitik beratkan pada perbedaan bagaimana cara pengelolaan dan penanggungan risiko, serta investasinya. Sedangkan mengenai produk yang ditawarkan, pada dasarnya semua asuransi mempunyai jenis produk yang sama, yang membedakan adalah sistem pengelolaanya saja.
Penggolongan jenis asuransi di Indonesia bisa dibagi dari berbagai segi, apalagi didalam Undang-Undang No.2 Tahun 1992 mengenai usaha perasuransian, asuransi meliputi asuransi kerugian, asuransi Jiwa dan reasuransi. Pada pembahasan makalah kali ini, penulis hanya membahas mengenai dua bentuk asuransi yang ditinjau dari fungsinya yaitu asuransi kerugian dan asuransi Jiwa, sedangkan untuk reasuransi pada pembahasan makalah yang lain.
  
  1. Rumusan masalah
1.      Apakah yang dimaksud dengan Asuransi Kerugian dan Asuransi Jiwa Syariah?
2.      Bagaimanakah mekanisme pengolaan dana Asuransi Kerugian dan Asuransi Jiwa Syariah ?
3.      Apakah manfaat dari Asuransi Kerugian dan Asuransi Jiwa Syariah ?








PEMBAHASAN

A.    Jenis Asuransi Syari’ah
Sebagaimana diatur oleh Undang-Undang No. 2 Tahun 1992 tentang usaha perasuransian, maka asuransi syariah atau Takaful terdiri dari dua jenis, yaitu :
a.      Asuransi Kerugian (Takaful Umum/Non Life Insurance/ General Insurance ).
Asuransi Kerugian yaitu usaha-usaha yang memberikan jasa-jasa dalam penangunggan risiko atas kerugian, kehilangan manfaat dan tanggung jawab hukum kepada pihak ketiga yang timbul dari peristiwa yang tidak pasti.[3] Atau dalam pengertian lain Takaful Umum ( Asuransi Kerugian ) adalah bentuk asuransi syariah yang memberikan perlindungan financial dalam menghadapi bencana atau kecelakaan atas harta benda milik peserta takaful, seperti rumah bangunan dan sebagainya.[4]
Secara Umum Asuransi kerugian diartikan sebagai asuransi untuk melindungi tertanggung terhadap kerugian atau kerusakan terhadap hartanya sendiri, misalnya disebabkan kebakaran, badai, pencurian.[5]
Produk Takaful Umum ( Asuransi Kerugian ) meliputi :
1)      Takaful Kendaraan
Memberikan perlindungan terhadap kerugian dan/ atu kerusakan atas kendaraan yang dipertenggungkan akibat terjadinya kecelakaan yang tidak diinginkan ( sebagian atau keseluruhan ), tindak pencurian, tanggung jawab hukum terhadap pihak ketiga, kerusuhan, kecelkaan diri pengemudi, dan kecelkaan diri penumpang.[6]
2)      Takaful Kebakaran
3)      Takaful Kecelakaan
4)      Takaful Pengangkutan laut
5)      Takaful Rekayasa
6)      Dll.
b.      Asuransi Jiwa ( Takaful Keluarga/Life Insurance )
Asuransi Jiwa adalah suatu jasa yang diberikan oleh perusahaan dalam penanggungan risiko yang dikaitkan dengan jiwa atau meninggalnya seseorang yang diasuransikan.Asuransi Jiwa merupkan suatu bentuk kerja sama antara oaring-orang yang menghindarkan atau minimal mengurangi risiko yang diakibtkan oleh risiko kematian, risiko hari tua, dan risiko kecelakaan.[7]
Takaful keluarga ialah bentuk asuransi syariah yang memberikan perlindungan dalam menghadapi musibah kematian dan kecelakaan atas diri peserta asuransi takaful.[8]
Menurut Drs. A. Hasymi Ali dalam bukunya yang berjudul Pengantar Asuransi, Memberikan pengertian mengenai Asuransi Jiwa, yaitu asuransi yang menyediakan uang pada waktu meninggalya tertanggung untuk biaya penguburan dan untuk melanjutkan penghasilan bagi para ahli warisnya.[9]
B.     Mekanisme Pengelolaan Dana Asuransi Kerugian dan Asuransi Jiwa Syari’ah
C.    Manfaat Asuransi Kerugian dan Asuransi Jiwa Syari’ah



[1]. Muhaimin Iqbal, Asuransi Umum syariah dalam prakte, ( Jakarta : 2005 ), Gema Insani Press,hlm. 2 
[2]. Mohammad Muslehuddin, Asuransi dalam Islam, ( Jakarta : 2005 ), Bumi Aksara, hlm. 5
[3]. Andri Soemitra, Bank dan Lembaga Keuangan Syariah, ( Jakarta : 2009 ), Kencana,hlm. 268
[4]. Gemal Dewi, Aspek-aspek Hukum Dalam Perbankan dan Perasuransian Syariah di Indonesia, ( Jakarta : 2006 ) Kencana. Hlm. 153
[5]. A. Hasymi Ali, Pengantar Asuransi, ( Jakarta : 2002 ), PT. Bumi Aksara, hlm. 20
[6]. Gemala Dewi, Wird yaningsih, yeni salma barlinti, Hukum Perikatan Islam di Indonesia, ( Jakarta : 2006 ), Kencana. Hlm. 168
[7].  Andri Soemitra,Op.,Cit. Hlm. 269
[8].  Gemal Dewi,Loc.,Cit.
[9].  A. Hasymi Ali, Op.,Cit. Hlm. 16

Kamis, 24 November 2011



ETIKA POLITIK
Franz Magnis-Suseno terlahir sebagai Franz Graf von Magnis, pada 26 Mei 1936 di Eckersdorf, Silesia, Kabupaten Glatz, sebuah daerah Jerman paling timur yang menjorok sampai ke wilayah yang kini bernama Polandia. Kedua orangtuanya, Dr. Ferdinand Graf von Magnis dan Maria Anna Grafin, berasal dari keluarga bangsawan dan dikenal sebagai keluarga Katolik yang taat. Ia adalah sulung dari enam bersaudara.
Ia menetap di Indonesia sejak 29 Januari 1961 sebagai bagian dari tugas kegerejaannya sebagai anggota ordo Serikat Yesuit, meski baru pada 1967 ia ditahbiskan menjadi pastor di Yogyakarta. Sepuluh tahun kemudian (1977) ia resmi menjadi warga negara Indonesia, setelah tujuh tahun menunggu proses pengurusannya. Ia melepaskan kewargaƂ­negaraan asalnya dengan menyerahkan paspornya ke Kedutaan Besar Jerman di Jakarta.
Sebelum berangkat ke Indonesia, ia menyelesaikan studi filsafat di Philosophissche Hochschule, Pullach, dekat kota Munchen, selama 1957-1960.
Masa setahun pertama hidupnya di Indonesia ia lewati dengan mempelajari bahasa Jawa. Empat bulan terakhirnya dia habiskan di Desa Boro, Kulon Progo, sebelah barat Yogyakarta, sebuah desa yang bersusana sangat Jawa di kaki Gunung Menoreh. Di sana ia bersosiali­sasi serajin-rajinnya, mengunjungi dan berbicara dengan sebanyak mungkin orang, agar mampu mempraktekkan bahasa yang sedang ia pelajari.
Tetapi tugas pertamanya di Indonesia dimulai di Jakarta selama 1962-1964 sebagai guru agama di Kolese SMA Kanisius merangkap Kepala Asrama Siswa. Beberapa tahun kemudian (1969), Magnis-Suseno bersama sejumlah rekannya ditugasi mendirikan perguruan tinggi yang kelak dikenal sebagai Sekolah Tinggi Filsafat Driyarkara.
Dua kali (1969-1971 dan 1973-1985), ia menjabat Sekretaris Aka­demis STF Driyarkara. Masa sela antara tahun 1971 hingga 1973 ia manfaatkan untuk mendalami studi filsafat, teologi moral, dan teori politik di Ludwig-Maximilians, Universitas Munchen, Jerman, hingga mencapai gelar doktor filsafat pada 1973. Ia meraih predikat summa cum laude dengan disertasi tentang pemikiran Karl Marx muda, berjudul Die Funktion normbativer Voraussetzungen im Denken des Jungen Marx (1843-1848).
Hidup Magnis-Suseno diisi dengan mengajar di banyak universitas. Selama 1979-1984 ia menjadi dosen luar biasa di Fakultas Psikologi UI. Tahun 1979 ia dosen tamu di Geschwister-Scholl-Institut, bagian dari Ludwig-Maximilians Universitat, dan di Hochschule fur Philosophie, keduanya di Munchen, Jerman. Tahun 1985-1993 dia menjadi dosen luar biasa di Fakultas Filsafat Universitas Parahyangan, Bandung. Tahun 1983-1987 dia kembali menjadi dosen tamu pada Hochschule for Philosophie, Munchen, dan Fakultas Teologi Universitas Innsbruck, Austria.
Di STF Driyarkara ia pernah menjabat Ketua Jurusan Filsafat Indonesia pada 1987-1990, pejabat Ketua STF Driyarkara tahun 1988-1990, Ketua STF Driyarkara tahun 1990-1998, dan sejak tahun 1995 hingga sekarang menjabat sebagai Direktur Program Pasca Sarjana STF Driyarkara. Ia diangkat menjadi guru besar di sekolah itu pada 1996.
Selain itu, ia dosen luar biasa pada Program Magister Fakultas Pasca Sarjana Universitas Indonesia sejak 1990 sampai sekarang. Pada tahun 2000 ia menjadi dosen tamu di Hochschuke fur Philosophie, Munchen. Dan pada 2002 ia menerima gelar Doktor Teologi Honoris Causa dari Fakultas Teologi Universitas Luzern, Swiss.
Magnis-Suseno juga menerima bintang jasa Satyalancana Dundyia Sistha dari Menteri Pertahanan dan Keamanan Republik Indonesia pada 1986 dan Das grobe Verdienstkreuz des Verdienstordens dari Republik Frans Magnis-Suseno merupakan ilmuwan Indonesia yang paling gigih membahas banyak masalah bangsa ini dari sudut etika selama empat dasawarsa terakhir. Etika bukanlah moral, melainkan ilmu atau telaah kritis dan sistematis tentang ajaran moral. Etika bukan mengajarkan moralitas secara langsung agar manusia menjadi lebih baik, melainkan ikhtiar mencapai pengertian yang mendasar tentang moral. Suatu ajaran moral, dari mana pun sumbernya dianggap atau dinyatakan berasal, bahkan yang telah mengakar dalam budaya masyarakat sehingga diterima begitu saja sebagai sesuatu yang luhur pada-dirinya, selalu terbuka untuk diungkap struktur pembentuk dan tujuan azasinya. Etika adalah upaya pencarian orientasi sesuatu yang mutlak dibutuhkan oleh manusia.
Dengan cara itu etika membekali manusia bukan hanya untuk secara mandiri menilai kebajikan yang tersimpan dalam suatu ajaran moral, tapi juga menyibak kepalsuan yang mungkin ada dalam suatu ajaran yang dari permukaan mungkin terkesan mulia. Dari sana selanjutnya individu, terutama sebagai anggota masyarakat, dapat memiliki pengetahuan yang bisa dipertanggungjawabkan tentang apa yang baik dan buruk mengapa ia mendukung hal yang baik dan menentang yang buruk. Bagi etika yang penting bukan apakah seseorang mendukung kebaikan dan menentang keburukan, melainkan mengapa ia perlu memilih untuk bersikap demikian.
Manfaat praktis itulah yang dikejar oleh Magnis-Suseno dengan ketekunannya menyajikan studi etika, yaitu agar warganegara sanggup mengembangkan sendiri moralitas-moralitas baru, maupun memper­barui atau memperluas moralitas lama, sebab moralitas pun niscaya bergeser mengikuti perubahan-perubahan besar-kecil di pelbagai bidang kehidupan.
Dengan demikian, yang diinginkan Magnis-Suseno bukanlah pengahancuran atas segala ajaran moral, melainkan pengusutan sis­tematis terhadapnya, yang pada akhirnya dapat pula berarti peneguhan suatu ajaran atau setidaknya penguatan landasan-landasannya karena para pendukung moral itu memahami orientasinya dengan tepat. Jika moral diakui sebagai hal penting dalam kehidupan individual maupun sosial, maka ia hanya dapat dijaga kehadirannya, disegarkan dan direlevan­kan, oleh orang-orang yang memahami struktur internalnya bukan oleh mereka yang sekadar ikut atau hanya tunduk pada moralitas yang dipersuasikan atau dipaksakan oleh pihak lain, misalnya kekuasaan.
Begitulah misalnya yang terjadi pada Pancasila. Selama hampir empat dasawarsa dasar negara ini dipaksakan pemberlakuannya, diazas tunggalkan, disantiajikan, di-P4-kan dalam skala massal, tanpa peluang bagi masyarakat untuk turut menyumbang tafsir mereka sendiri terhadap nilai-nilai moral yang diandaikan sebagai pengikat ideal bagi kemajemukan masyarakat Indonesia. Pancasila diringkus menjadi ideologi tertutup. Ia hanya boleh dimaknai oleh penafsir tungƂ­gal dan dibungkus dalam konsensus-semu, yang karenanya bukanlah penafsiran dan konsensus melainkan vonis dan pemaksaan.
Pancasila kemudian harus terlanda ironi berat. Ia tumbang, meski tak binasa, seiring robohnya kuasa politik penyangga tunggalnya, sampai pada titik yang memilukan: bahkan tiada seorang pun presiden Republik Indonesia pasca Orde Baru yang pernah mengejanya atau setidaknya menyebutnya dengan gairah kebangsaan yang semestinya. Pancasila masih disebut dalam dokumen-dokumen kenegaraan, termasuk amar putusan hakim dan naskah sumpah pegawai negeri, namun semua orang seakan sepakat bahwa ia hanyalah formalitas kering, membuat khalayak gamang dan gagap ketika bermunculan tawaran ideologi tandingan untuk mengisi vakum ideologi itu dalam realitas keseharian kebangsaan.
Magnis-Suseno sejak lama membayangkan nasib buruk yang kelak menimpa Pancasila itu. Sejarah bangsa-bangsa lain, termasuk bekas tanah airnya sendiri, Jerman, telah cukup mengajarkan bahwa pola itu mustahil langgeng. Kekuatan rakyat terlalu besar dan terlalu persisten untuk dilawan oleh rezim terkuat sekalipun. Dan hari-hari ini, ketika Pancasila lunglai dan ditantang, sekali lagi ia tampil menawarkan etika untuk mempertahankannya sebagai satu-satunya titik-temu moral yang mungkin sebagai pengikat bangsa yang tertakdir majemuk ini.
Ia ingin semua warganegara Indonesia memahami Pancasila dengan tepat, baik kandungan makna kulturalnya maupun fungsi politiknya. Ia merasa tak cukup menyerahkan kelangsungan hidup Pancasila pada penjagaan militer, bahkan kalaupun disangga oleh doktrin NKRI (yang juga merupakan resep politik pragmatis, bukan nilai-moral yang dihayati sebagaimana diinginkan Etika Magnis-Suseno).
Dan kali ini ia tampil dengan kelantangan seorang Indonesia tulen, meski ia tak mungkin menghapus status Kasman (Bekas Jerman). Masa hidup hampir setengah abad di Indonesia, dengan tigapuluh tahun di antaranya sebagai warganegara resmi RI sambil melepaskan kewargaƂ­negaraan Jermannya, cukup untuk membuatnya merasa wajib bergulat dengan aneka masalah Indonesia sebagai tanah air barunya, tetap dengan perangkat ampuh etikanya. Dengan penghayatan dan percaya-diri keindonesiaan itu, dengan von Magnis yang kian Ć¢€Å“SusenoĆ¢€, dan dengan absennya kekuasaan otoriter yang terlalu peka pada segala yang berbau asing, ia sekarang bisa mengatakan semua yang ia ingin katakan, tak lagi seraya memberi kesan tak mengatakan apa-apaƂ­Ć¢€”suatu strategi komunikasi yang selama berpuluh tahun ia bangun guna menghindari derita akibat kecurigaan politik.
Franz Magnis-Suseno memasuki rumah Indonesia melalui pendopo Jawa. Ia, pada 1961, memulai dengan mempelajari bahasa dan seluk-beluk budaya Jawa di sebuah kota kecil di Jogjakarta, sampai menulis disertasi berbahasa Jerman yang kemudian diindonesiakan sebagai Etika Jawa: Sebuah Analisa Falsafi tentang Kebijaksanaan Hidup Jawa. Dengan itu ia bermaksud membangun tipe ideal manusia Jawa seka­ligus mengupayakan relevansinya dengan budaya politik Indonesia yang makin terasa didominasi oleh kejawaan, atau setidaknya diklaim demikian oleh para petinggi politik.
Ia kemudian lebih memusatkan perhatian pada aspek etika umum, dan dengan demikian memperluas relevansinya dengan kemajemukan sosial-politik Indonesia mutakhir di mana begitu banyak orang, terma­suk kalangan cendekiawan, aktifis LSM, tokoh-tokoh politik di semua sayap pemerintahan, tampak hanya menari-nari di atas lapisan tipis konsep-konsep besar yang turut menentukan arah perjalanan bangsa yang ingin bergerak menjadi negara modern.
Sebagai ilmuwan-cum-rohaniwan, sudah tentu Magnis-Suseno menyentuh isu-isu agama, baik sebagai gejala sosio-kultural maupun himpunan resep keimanan dan pemikiran teologi. Dalam hal ini pun Etika-nya berperan. Etika bisa menantang suatu ajaran agama. Etika dapat menyingkap selubung kepentingan dan ideologis atas suatu ajaran agama yang seolah murni religius. Bukan tak mungkin, menurut Magnis-Suseno, suatu ajaran yang sejak lama dianggap dogma baku ternyata hanyalah pendapat satu atau sejumlah pemuka mazhab hukum atau mazhab teologi dalam agama tersebut. Pengusutan lanjutan mungkin menunjukkan bahwa bukan pemaknaan semacam itu yang dimaksud oleh kitab suci, atau bahwa kitab suci pun sesungguhnya membuka peluang penafsiran baru atas dirinya.
Dalam hal ini Etika bahkan melampaui hermeunetika, metode tafsir yang mempertimbangkan konteks waktu dan tempat tentang suatu ajaran kitab suci, yang sangat penting untuk ketepatan pemahaman, bukan penerapan. Lebih daripada hermeunetika, etika dapat mencegah lompatan menuju penerapan yang sembrono. Etika mengajak penganut agama untuk berhenti sejenak di pantai pemahaman sebelum melaju menuju samudera penerapan. Perhentian itu kemudian mungkin mengubah arah penerapan ke tujuan yang sama sekali berbeda daripada yang semula disangka sebagai tujuan yang pasti.
Demikianlah, dari 33 buku yang ditulis Magnis-Suseno, termasuk sejumlah kumpulan karangan, di luar ratusan artikel surat kabar, hampir separuhnya khusus membahas etika, bahkan dengan judul-judul yang langsung mewartakan subjeknya. Dengan karya-karya itu, sebagai guru ia mengisi kekosongan kronis buku-buku ajar yang disaƂ­jikan secara baik dan gamblang dalam bahasa Indonesia.
Tetapi ia dengan sadar memperluas jangkauan pembaca, dengan menyajikan subjeknya sesederhana mungkin agar dapat diakses oleh awam, meski terkadang ia harus memohon maaf kepada mereka untuk kerumitan penjelasannya berhubung ide filsafat yang sedang dipaparnya memang rumit pada-dirinya, menuntut keketatan berpikir, dan upaya penyederhanaannya hanya akan mengorbankan ketepatan ide yang hendak disajikannya, selain mengkhianati pemilik asli ide itu.
Namun secara umum Magnis-Suseno memegang teguh kearifan kesarjanaan yang benar: ia menyajikan kegamblangan berkat pengua­saan ilmiah yang kokoh, dengan selalu menyertakan contoh-contoh sederhana yang dekat dengan kehidupan keseharian. Bukan justeru merumitkan masalah-masalah yang sesungguhnya sederhana, dengan mengobral jargon ganjil dan membingungkan suatu gaya yang makin lazim di kalangan penulis kita, yang mungkin dimaksudkan sebagai pendongkrak wibawa akademis, tapi patut dicurigai sebagai kelemahan penguasaan subjek yang sedang mereka bahas. Magnis-Suseno sejak awal karir keilmuannya terbebas dari pretensi palsu itu. Ia memilih untuk lugas menegakkan martabat akademis ketimbang terengah-engah mengesankan wibawa akademis secara sia-sia.
Dengan energi ilmiah yang tak pernah pudar, ia tanpa letih berupaya menyajikan pendasaran etis atas isu-isu penting yang merentang dari demokrasi, hak-hak azasi manusia dan negara hukum hingga ling­kungan hidup, krisis energi, kerukunan beragama bahkan kemacetan lalu lintas. Dan terbukti perangkat etikanya sering ampuh. Dalam kontroversi dan kesimpangsiuran pendapat di seputar isu Rancangan Undang-undang Anti-Pornografi, misalnya, Magnis-Suseno tampil menyajikan inti masalah yang luput kewaspadaan semua peserta debat nasional berbulan-bulan yang memunculkan sejumlah demonstrasi pendukung dan penentang RUU itu di berbagai kota.
Masalah utama dalam RUU tersebut, menurut dia, adalah pencam­pur­adukan tiga konsep: pornografi, erotika, dan kesopanan (public decency). Ketiganya memiliki sejarah, rumusan konseptual, landasan filsafat berikut konsekuensi masing-masing. Membaurkan ketiganya, seperti tampak jelas dalam RUU tersebut yang menstipulasikan ketiganya sebagai satu konsep saja yaitu pornografi niscaya akan melahirkan komplikasi-komplikasi serius bagi kehidupan kemasya­rakatan yang wajar.
Seorang gadis yang berbusana minim mungkin tidak sopan, tapi ia bukan sedang mengumbar pornografi. Seorang pengarang yang menuliskan adegan-adegan yang berkonotasi seksual boleh disebut mengungkap erotika, tapi bukan sedang memamerkan pornografi. Gadis dan pengarang itu mungkin layak ditegur, tapi tidak pantas dihukum, apalagi dengan pidana-pidana berat yang sangat menakutkan sebagaimana tercantum dalam RUU tersebut, yang mematok asumsi yang teramat rendah terhadap manusia Indonesia.
Franz Magnis-Suseno belum membangun sebuah sistem filsafat atau mazhab pemikiran yang dapat diidentifikasi sebagai khas miliknya. Ia adalah siswa filsafat yang rajin, tekun dan bersungguh-sungguh meng­hadapi aneka masalah yang menantangnya. Kegelisahan keilmuannya mengilhami publik yang jauh lebih luas daripada sebatas murid-muridnya di sekolah filsafat yang turut ia dirikan maupun di univer­sitas-universitas lain, selain di ratusan forum seminar di berbagai kota.
Selama lima dasawarsa ia berperan secara amat mengesankan sebagai penghubung yang fasih, gigih, optimistis dan sabar antara para filosof besar Barat beserta gagasan-gagasan mereka selama 2500 tahun, terutama dalam 300 tahun terakhir, dengan masyarakat Indonesia, yang ia duga secara tepat sangat membutuhkan gagasan-gagasan itu dalam ikhtiar panjang untuk menentukan arah menuju negara modern.
Kerut kening konstannya mengisyaratkan ia mafhum bahwa jalan ke arah itu bukan dihampari karpet merah, tapi ia selalu percaya bahwa pada akhirnya Indonesia akan berhasil. Ia selalu mengingatkan bahwa bangsa-bangsa lain yang di masa lalu menghadapi rintangan lebih berat bisa selamat. Jika ternyata mereka berhasil, tak ada alasan bagi IndoƂ­nesia untuk gagal. Nada dasar seluruh karya Magnis-Suseno pun memuat optimisme yang merangsang pembacanya untuk berbagi optimisme itu.
Buku-buku karyanya, berkisar pada isu-isu filsafat yang ia tetapkan sebagai ilmu kritis (judul salah satu bukunya: Filsafat sebagai Ilmu Kritis), yang terus dicetak-ulang hingga belasan atau puluhan kali sejak puluhan tahun silam, membuktikan bahwa sumbangan terbaiknya kepada peradaban Indonesia itu diterima dengan syukur oleh berbagai lapisan masyarakat Indonesia, meski tanpa berarti selalu mereka setujui.
Magnis-Suseno bahkan makin sering berperan sebagai semacam juru bicara kultural bangsanya kepada publik akademis dan umum di luar negeri melalui undangan ke seminar-seminar mereka. Dan hingga saat ini ia masih mengerjakan beberapa jilid karya terbarunya agaknya masih di seputar perangkat ampuhnya, yaitu telaah kritis dan sistematis atas ajaran-ajaran moral.
Terhadap segenap sumbangan dan pengabdian ilmiahnya yang luar biasa itu, Dewan Juri merasa patut memberikan Penghargaan Achmad Bakrie 2007 kepada Franz Magnis-Suseno untuk Pemikiran Sosial.

-------------------------

Federasi Jerman.

Selasa, 22 November 2011

MAKALAH ANALISIS KEBIJAKAN DAN PENGAMBILAN KEPUTUSAN


BAB I

PENDAHULUAN

  1. A. Latar Belakang

Pengambilan keputusan ialah proses memilih suatu alternatif cara bertindak dengan metode yang efisien sesuai dengan situasi (Salusu, 1996: 47). Proses ini untuk menemukan dan menyeleseikan masalah organisasi. Pernyataan ini menegaskan bahwa mengambil keputusan memerlukan satu seri tindakan, memerlukan beberapa langkah. Dapat saja langkah-langkah tersebut terdapat dalam pikiran seseorang yang sekaligus mengajaknya berfikir sistematis. Dalam dunia manajemen proses atau seri tindakan itu lebih banyak tampak dalam kegiatan diskusi.

Kehidupan sehari-hari seorang eksekutif, manajer, kepala, ketua, direktur, rektor, bupati, gubernur, menteri, panglima, presiden, atau pejabat apapun, sesungguhnya adalah kehidupan yang selalu bergumul dengan keputusan. Sering kali ia merasa hampa apabila dalam satu hari tidak mengmbil suatu keputusan. Tidak menjadi soal apakah keputusan itu benar atau mengandung kelemahan. Oleh sebab itu banyak manajer yang berpendapat bahwa lebih baik membuat enam kesalahan dari sepuluh keputusan yang ia buat daripada sama sekali tidak membuat keputusan. Bagi pejabat tersebut yang paling penting timbul rasa kepuasan karena dapat mengmbil keputusan hari itu.

Ilustrasi itu menggambarkan bahwa pengambilan keputusan adalah aspek yang paling penting dalam aspek manajemen. Keputusan merupakan kegiatan sentral dari manajemen, merupakan kunci kepemimpinan, atau inti kepemimpinan (Siagian, 1988), sebagai suatu karakteristik yang fundamental, sebagai jantung kegiatan administrasi (Mitchell, 1978), suatu saat kritis bagi tindakan administrasi (Robins, 1978). Bahkan Higgins (1979) melanjutkan bahwa pengambilan keputusan adalah kegiatan yang paling penting dari semua kegiatan karena di dalamnya manajer terlibat.

1

Pada akhirnya, Robin Hughes dalam prakatanya pada Decision Making berkesimpulan bahwa karena pengambilan keputusan terjadi di semua bidang dan tingkat kegiatan serta pemikiran manusia, maka tidaklah mengherankan apabila begitu banyak disiplin yang berusaha mengabalisis dan membuat sistematika dari seluruh proses keputusan.

Pengambilan keputusan mempunyai arti penting bagi maju mundurnya suatu organisasi, terutama karena masa depan suatu organisasi banyak ditentukan oleh pengambilan keputusan sekarang. Pentinya pengambilan keputusan dilihat dari segi kekuasaan untuk membuat keputusan, yaitu mengikuti pola desentralisasi atau pola sentralisasi. Berbeda dengan hal tersebut, beberapa ahli memberi perhatian pada pengambilan keputusan dari sudut kehadirannya, yaitu adanya teori pengambilan keputusan administrasi, kita dapat meramalkan tindakan-tindakan manajemen sehingga kita dapat menyempurnakan efektifitas manajemen.

  1. B. Rumusan Masalah
  2. Apakah pengertian pengambilan keputusan.
  3. Bagaimana fungsi dan apakah tujuan pengambilan keputusan.
  4. Apakah dasar-dasar pengambilan keputusan.
  5. Bagaimana proses pengambilan keputusan.
  6. Apakah permasalahan yang dihadapi dalam pengambilan keputusan.

  1. C. Tujuan
  2. Mengetahui pengertian pengambilan keputusan
  3. Mengetahui fungsi dan tujuan pengambilan keputusan
  4. Mengetahui dasar- dasar pengambilan keputusan
  5. Mengetahui proses pengambilan keputusan
  6. Mengetahui permasalahan yang dihadapi dalam pengambilan keputusan

BAB II

PEMBAHASAN

  1. A. Pengertian Pengambilan Keputusan

Sebelum mulai dengan mengemukakan definisi pengambilan keputusan, maka perlu disampaikan lebih dulu tentang apa pengertian keputusan itu.

  1. 1. Menurut Ralp C. Davis

Keputusan adalah hasil pemecahan yang dihadapinya dengan tegas. Suatu keputusan merupakan jawaban yang pasti terhadap suatu pertanyaan. Keputusan harus dapat menjawab pertanyaan tentang apa yang dibicarakan dalam hubungannya dengan perencanaan. Keputusan dapat pula berupa tindakan terhadap pelaksanaan yang sangat menyimpang dari rencana semula.

  1. 2. Menurut Mary Follet

Keputusan adalah suatu atau sebagai hukum situasi. Apabila suatu fakta dapat diperolehnya dan semua yang terlibat, baik pengawas maupun pelaksana mau mentaati hukumnya atau ketentuannya, maka tidak sama dengan mentaati perintah. Wewenang tinggal dijalankan, tetapi itu merupakan wewenang dari hukum situasi.

  1. 3. Menurut James A.F.Stoner

Keputusan adalah pemilihan di antara alternatif- alternatif

  1. Ada pilihan atas dasar logika atau pertimbangan.
  2. Ada beberapa alternatif yang harus dan dipilih salah satu yang terbaik.
  3. Ada tujuan yang ingin dicapai, dan keputusan itu makin mendekatkan pada tujuan tersebut.
  4. 4. Menurut Prof. Dr. Prajudi Atmosudirjo, SH

Keputusan adalah suatu pengakhiran daripada proses pemikiran tentang suatu masalah atau problema untuk menjawab pertanyaan apa yang harus diperbuat guna mengatasi masalah tersebut, dengan menjatuhkan pilihan pada suatu alternatif.

3

Dari pengertian- pengertian tersebut di atas dapat ditarik suatu kesimpulan bahwa keputusan merupakan suatu pemecahan masalah sebagai suatu hukum situasi yang dilakukan melalui pemilihan satu alternatif dari beberapa alternatif (Hasan, 2002: 9)

Setelah mengetahui definisi dari keputusan maka selanjutnya akan dikemukakan definisi dari pengambilan keputusan.

  1. 1. Menurut George R. Terry

Pengambilan keputusan adalah pemilihan alternatif perilaku (kelakuan) tertentu dari dua atau lebih alternatif yang ada.

  1. 2. Menurut S.P. Siagian

Pengambilan keputusan adalah suatu pendekatan yang sistematis terhadap perhitungan alternatif yang dihadapi dan mengambil tindakan yang menurut perhitungan merupakan tindakan yang paling tepat

  1. 3. Menurut Jemes A.F Stoner

Pengambilan Keputusan adalah proses yang digunakan untuk memilih suatu tindakan sebagai cara pemecahan masalah.

  1. 4. Menurut Ibnu Syamsi

Pengambilan keputusan adalah tindakan pimpinan untuk memecahkan masalah yang dihadapi dalam organisasi yang dipimpinnya dengan melalui satu diantara alternatif- alternatif yang memungkinkan.

Selain beberapa pengertian di atas, pengambilan keputusan itu juga berarti proses memilih suatu alternatif cara bertindak dengan metode yang efisien sesuai dengan situasi (Salusu, 1996: 47). Proses ini untuk menemukan dan menyeleseikan masalah organisasi. Pernyataan ini menegaskan bahwa mengambil keputusan memerlukan satu seri tindakan, memerlukan beberapa langkah. Dapat saja langkah-langkah tersebut terdapat dalam pikiran seseorang yang sekaligus mengajaknya berfikir sistematis. Dalam dunia manajemen proses atau seri tindakan itu lebih banyak tampak dalam kegiatan diskusi.

Dari pengertian- pengertian pengambilan keputusan di atas, dapat disimpulkan bahwa pengambilan keputusan merupakan suatu proses pemilihan alternatif terbaik dari beberapa alternatif secara sistematis untuk ditindaklanjuti (digunakan) sebagai suatu cara pemecahan masalah.

Persoalan pengambilan keputusan, pada dasarnya adalah bentuk pemilihan dari berbagai alternatif tindakan yang mungkin dipilah yang prosesnya melalui mekanisme tertentu, dengan harapan akan menghasilkan sebuah keputusan yang terbaik (Wahab, 2008: 163). Penyusunan model keputusan adalah salah satu cara untuk mengembangkan hubungan- hubungan logis yang mendasari persoalan keputusan ke dalam suatu model matematis, yang mencerminkan hubungan yang terjadi di antara faktor- faktor yang terlibat. Apapun dan bagaimana pun prosesnya, satu tahapan yang paling sulit dihadapi pengambilan keputusan adalah dalam segi penerapannya karena di sini perlu meyakinkan semua orang yang terlibat, bahwa keputusan tersebut memang merupakan pilihan terbaik. Semuanya akan merasa terlibat dan terikat pada keputusan tersebut. Hal ini, adalah proses tersulit. Walaupun demikian, bila hal tersebut dapat disadari, proses keputusan secara bertahap, sistematik, konsisten, dan dalam setiap langkah sejak awal telah mengikut sertakan semua pihak, maka usaha tersebut dapat memberikan hasil yang terbaik.

  1. B. Fungsi dan Tujuan Pengambilan Keputusan

Pengambilan keputusan sebagai suatu kelanjutan dari cara pemecahan masalah memiliki fungsi antara lain sebagai pangkal permulaan dari semua aktivitas manusia yang sadar dan terarah, baik secara individual maupun secar kelompok, baik secara institusionalnya maupun secara organisasional. Selain itu pengambilan keputusan juga merupakan sesuatu yang bersifat futuristik, artinya bersangkut paut dengan hari depan, masa yang akan datang, di mana efeknya atau pengaruhnya berlangsung cukup lama.

Kegiatan- kegiatan yang dilakukan dalam organisasi itu dimaksudkan untuk mencapai tujuan organisasinya. Yang diinginkan semua kegiatan itu dapat berjalan lancar dan tujuan dapat tercapai dengan mudah dan efisien. Namun kerap kali terjadi hambatan- hambatan dalam melaksanakan kegiatan. Ini merupakan masalah yang harus diselesaikan oleh pimpinan organisasi. Pengambilan keputusan dimaksudkan untuk memecahkan masalah tersebut. Kerap kali pengambilan keputusan itu hanya merupakan satu segi saja, misalnya hanya menyangkut segi keungan saja dan kalau dipecahkan tidak menimbulkan efek sampingan atau akibat lain. Tetapi ada kemungkinan dapat saja terjadi masalah yang pemecahannya menghendaki dua hal kontradiksi terpecahkan sekaligus (Syamsi, 2000: 5).

Oleh karena itu tujuan pengambilan keputusan itu dibedakan menjadi dua, yaitu sebagai berikut.

  1. Tujuan yang bersifat tunggal

Tujuan pengambilan keputusan yang bersifat tunggal terjadi apabila keputusan yang dihasilkan hanya menyangkut satu masalah, artinya bahwa sekali diputuskan, tidak akan ada kaitannya dengan masalah lain.

  1. Tujuan yang bersifat ganda

Tujuan pengambilan keputusan yang bersifat ganda terjadi apabila keputusan yang dihasilkan itu menyangkut lebih dari satu masalah, artinya bahwa satu keputusan yang diambil itu sekaligus memecahkan dua masalah (atau lebih), yang bersifat kontradiktif atau yang tidak bersifat kontradiktif.

  1. C. Dasar- Dasar Pengambilan Keputusan

Dasar pengambilan keputusan itu bermacam- macam tergantung dari permasalahannya. Keputusan dapat diambil berdasarkan perasaan semata- mata, dapat pula keputusan dibuat berdasarkan rasio. Tetapi tidak mustahil, bahkan banyak terjadi terutama dalam lingkungan instansi pemerintah maupun di perusahaan, keputusan diambil berdasarkan wewenang yang dimilikinya.

Oleh George R. Terry, disebutkan dasar- dasar dari pengambilan keputusan yang berlaku adalah sebagai berikut.

  1. Intuisi

Pengambilan keputusan yang berdasarkan atas intuisi atau perasaan memiliki sifat subjektif, sehingga mudah terkena pengaruh. Pengambilan keputusan berdasarkan intuisi ini mengandung beberapa kebaikan dan kelemahan.

Kebaikannya antara lain sebagai berikut.

  1. Waktu yang digunakan untuk mengambil keputusan relatif lebih pendek.
  2. Untuk masalah yang pengaruhnya terbatas, pengambilan keputusan akan memeberikan kepuasan pada umumnya.
  3. Kemampuan mengambil keputusan dari pengambil keputusan itu sangat berperan, dari itu perlu dimanfaatkan dengan baik.

Kelemahannya antara lain sebagai berikut.

  1. Keputusan yang dihasilkan relatif kurang baik.
  2. Sulit mencari alat pembandingnya, sehingga sulit diukur kebenaran dan keabsahannya.
  3. Dasar- dasar lain dalam pengambilan keputusan sering kali diabaikan.
  4. Pengalaman

Pengambilan keputusan berdasarkan pengalaman memiliki manfaat bagi pengetahuan praktis. Karena pengalaman seseorang dapat memperkirakan keadaan sesuatu, dapat memperhitungkan untung dan ruginya, baik- buruknya keputusan yang akan dihasilkan. Karena pengalaman, seseorang yang menduga masalahnya walaupun hanya dengan melihat sepintas saja mungkin sudah dapat menduga cara penyelesaiannya.

  1. Fakta

Pengambilan keputusan berdasarkan fakta dapat memberikan keputusan yang sehat, solid, dan baik. Dengan fakta, maka tingkat kepercayaan terhadap pengambil keputusan dapat lebih tinggi, sehingga orang dapat menerima keputusan dengan rela dan lapang dada.

  1. Wewenang

Pengambilan keputusan berdasarkan wewenang biasanya dilakukan oleh pimpinan terhadap bawahannya atau orang yang lebih tinggi kedudukannya kepada orang yang lebih rendah kedudukannya. Pengambilan keputusan berdasarkan wewenang juga memiliki beberapa kelebihan dan kelemahan.

Kelebihannya antara lain sebagai berikut.

  1. Kebanyakan penerimanya adalah bawahan, terlepas apakah penerimaan tersebut secara sukarela ataukah secara terpaksa.
  2. Keputusan dapat bertahan dalam jangkia waktu yang cukup lama.
  3. Memiliki otentisitan (otentik).

Kelemahannya antara lain adalah sebagai berikut

  1. Dapat menimbulkan sifat rutinitas.
  2. Mengasosiasikan dengan praktek diktatorial.
  3. Sering melewati permasalahan yang sehatusnya dipecahkan sehim\ngga dapat menimbulkan kekaburan.
  4. Rasional

Pada pengambilan keputusan yang berdasar pada rasional, keputusan yang dihasilkan bersifat obyektif, logis, lebih trasparan, konsisten untuk memaksimumkan hasil atau nilai dalam batas kendala terentu, sehingga dapat dikatakan mendekati kebenaran atau sesuai dengan apa yang diinginkan. Pada pengambilan keputusan secara rasional ini terdapat beberapa hal, sebagai berikut.

  1. Kejelasan masalah: tidak ada keraguan dan kekaburan masalah.
  2. Orientasi tujuan: kesatuan pengertian tujuan yang ingin dicapai.
  3. Pengetahuan alternatif: seluruh alternatif diketahui jenisnya dan konsekuensinya.
  4. Preferensi yang jelas: alternatif bisa diurutkan sesuai kriteria.
  5. Hasil maksimal: pemilihan alternatif terbaik didasarkan atas hasil ekonomis yang maksimal

Pengambilan keputusan secara rasional ini berlaku sepenuhnya dalam keadaan yang ideal.

  1. D. Proses Pengambilan Keputusan

Proses pengambilan keputusan merupakan tahap- tahap yang harus dilalui atau digunakan untuk membuat keputusan. Tahap- tahap ini merupakan kerangka dasar, sehingga setiap tahap dapat dikembangkan lagi menjadi beberapa sub tahap (disebut langkah) yang lebih khusus/ spesifik dan lebih operasional

(Hasan, 2002: 22).

Secara garis besarnya proses pengambilan keputusan terdiri atas tiga tahap yaitu sebagai berikut.

  1. Penemuan masalah

Tahap ini merupakan tahap di mana masalah harus didefinisikan dengan jelas sehingga perbadaan antara masalah satu dan bukan masalah (misalnya isu) menjadi jelas.

  1. Pemecahan masalah

Tahap ini merupakan tahap di mana masalah yang sudah ada atau sudah jelas itu kemudian diselesaikan. Langkah- langkah yang diambil adalah sebagai berikut.

  1. Identifikasi alternatif- alternatif keputusan untuk memecahkan masalah.
  2. Perhitungan mengenai faktor- faktor yang tidak dapat diketahui sebelumnya atau diluar jangkauan manusia, identifikasi peristiwa- peristiwa di masa datang (state of nature).
  3. Pembuatan alat (sarana) untuk mengevaluasi atau mengukur hasil, biasanya berbentuk tabel hasil (pay of table).
  4. Pemilihan dan penggunaan model pengambilan keputusan.
  5. Pengambilan keputusan

Keputusan yang diambil adalah berdasarkan pada keadaan lingkungan atau kondisi yang ada, seperti kondisi pasti, kondisi beresiko, kondisi tidak pasti dan kondisi konflik.

Banyak para ahli yang berpendapat mengenai proses pengambilan suatu keputusan, namun pada intinya proses pengambilan keputusan dapat disimpulkan sebagai berikut.

  1. Mengidentifikasi masalah

Suatu organisasi apabila menghadapi permasalahan lebih dulu harus dibuat jelas apakah itu memang masalah (problem) atau sekedar isu (issue) belaka. Yang dimaksud dengan masalah disini adalah persoalan yang harus dipecahkan sedangkan isu adalah persoalan yang perlu dibicarakan (tidak harus dipecahkan)

  1. Menganalisis masalah

Untuk mengetahui penyebab timbulnya masalah, lebih dahulu harus diperoleh data dan informasinya. Dengan kata lain, lebih dulu harus didapat datanya. Data tersebut kemudian diolah menjadi informasi tentang penyebab timbulnya masalah. Disini fungsi unit pengolah data sangat penting sebab kemungkinan juga akan ada informasi yang masuk yang tidak dapat dipertanggungjawabkan.

  1. Membuat beberapa alternatif pemecahan masalah

Untuk dapat membuat alternatif-alternatif pemecahan masalah, maka lebih dahulu harus diketahui penyebab timbulnya masalah. Selanjutnya dibuatlah beberapa alternative pemecahannya. Dalam pembuatan beberapa alternative, maka masing-masing alternatif harus ditunjukkan kekurangan dan kelebihannya.

  1. Penilaian dan pemilihan alternatif

Setelah berbagai alternatif diidentifikasi, kemudian dilakukan evaluasi terhadap masing-masing alternatif yang telah dikembangkan dan dipilih sebuah alternatif yang terbaik. Alternatif-alternatif tindakan dipertimbangkan berkaitan dengan tujuan yang ditentukan, apakah dapat memenuhi keharusan atau keinginan. Alternatif yang terbaik adalah dalam hubungannya dengan sasaran atau tujuan yang hendak dicapai. Bidang ilmu statistik dan riset operasi merupakan model yang baik untuk menilai berbagai alternatif yang telah dikembangkan.

  1. Melaksanakan keputusan

Jika salah satu dari alternatif yang terbaik telah dipilih, maka keputusan tersebut kemudian harus diterapkan. Sekalipun langkah ini sudah jelas, akan tetapi sering kali keputusan yang baik sekalipun mengalami kegagalan karena tidak diterapkan dengan benar. Keberhasilan penerapan keputusan yang diambil oleh pimpinan bukan semata-mata tanggung jawab dari pimpinan akan tetapi komitmen dari bawahan untuk melaksanakannya juga memegang peranan yang penting.

Dalam mengevaluasi dan memilih alternatif suatu keputusan seharusnya juga mempertimbangkan kemungkinan penerapan dari keputusan tersebut. Betapapun baiknya suatu keputusan apabila keputusan tersebut sulit diterapkan maka keputusan itu tidak ada artinya. Pengambil keputusan membuat keputusan berkaitan dengan tujuan yang ideal dan hanya sedikit mempertimbangkan penerapan operasionalnya.

  1. Evaluasi dan Pengendalian

Setelah keputusan diterapkan, pengambil keputusan tidak dapat begitu saja menganggap bahwa hasil yang diinginkan akan tercapai. Mekanisme sistem pengendalian dan evaluasi perlu dilakukan agar apa yang diharapkan dari keputusan tersebut dapat terealisir. Penilaian didasarkan atas sasaran dan tujuan yang telah ditetapkan. Tujuan yang bersifat khusus dan mudah diukur dapat mempercepat pimpinan untuk menilai keberhasilan keputusan tersebut. Jika keputusan tersebut kurang berhasil, di mana permasalahan masih ada, maka pengambil keputusan perlu untuk mengambil keputusan kembali atau melakukan tindakan koreksi. Masing-masing tahap dari proses pengambilan keputusan perlu dipertimbangkan dengan hati-hati, termasuk dalam penetapan sasaran tujuan Setiap keputusan yang diambil itu merupakan perwujudan kebijakan yang telah digariskan. Oleh karena itu analisis proses pengambilan keputusan pada hakikatnya sama saja dengan proses kebijakan.

Diakui oleh banyak pihak, bahwa pengambilan keputusan yang benar- benar tepat itu memeng sulit. Namun sekedar pedoman umum cara pengambilan keputusan

  1. E. Permasalahan yang dihadapi dalam Pengambilan Keputusan

Kegiatan yang dilakukan oleh setiap organisasi itu diharapkan dapat berjalan dengan lancar, tanpa mengalami suatu hambatan apapun. Tetapi dalam prakteknya selalu ada saja masalah atau kendala yang dihadapi sehingga tujuan tidak selalu dapat dicapai dengan mulus.

Oleh karena itu yang pertama-tama dilakukan dalam proses pengambilan keputusan adalah mengadakan identifikasi masalahnya lebih dahulu. Masalah adalah sesuatu yang perlu dipecahkan, yang kerap kali membutuhkan beberapa alternatif untuk kemudian dipilih satu yang sekiranya paling tepat untuk masalah tersebut. Apabila dihubungkan dengan kebijakan dalam pengambilan keputusan dalam suatu organisasi maka masalah yang dihadapi itu merupakan nilai-nilai, kebutuhan-kebutuhan yang belum sempat terealisasi namun apabila dapat diidentifikasikan akan dapat dilaksanakan dengan baik melalui tindakan pengambil keputusan.

Dalam menghadapi masalah, hendaknya merici terlebih dahulu permasalahannya dengan cermat. Dari masalah yang dirinci kemudian disusun manalah yang bulat dan menyeluruh. Dunn memberikan memberikan pendapat bahwa penyusunan masalah secara bulat melalui tiga tahap. Pertama, mengadakan konseptualisasi permasalahannya. Kedua, mengadakan spesifikasi permasalahan dan ketiga berusaha memehami permasalahan secara keseluruhan.

Quade mengemukakan langkah-langkah apa yang sekiranya perlu dilakukan dalam menangani masalah: (1) mengusahakan keterangan dan penjelasan yang lebih lanjut tentang masalah itu sendiri; (2) identifikasi sasaran dan tujuan kegiatan yang akan dilakukan; (3) mengukur tingkat keberhasilannya; (4) menentukan kriteria keberhasilan pencapaian tujuan; (5) memperhatikan sektor lingkungan; (6) meneliti satu per satu alternatif pemecahan masalah sehingga masing-masing dikrtahui kelemahan dan keunggulannya; (7) merumuskan model mana saja yang dimungkinkan untuk pemecahan masalah; (8) mengumpulkan data untuk pengukuran dan pemilihan alternatif yang paling tepat untuk pemecahan masalah; (9) mengadakan perbandingan antara model yang satu dengan model yang lain; (10) mengetes hasil analisis untuk lebih meyakinkan; (11) mempertimbangkan juga apakah terdapat juga segi-segi ketidakefisienan yang terjadi, dan (12) mengadakan ringkasan bilamana perlu menyertakan juga saran-sarannya.

BAB III

PENUTUP

  1. A. Kesimpulan

Pengambilan keputusan merupakan suatu proses pemilihan alternatif terbaik dari beberapa alternatif secara sistematis untuk ditindaklanjuti (digunakan) sebagai suatu cara pemecahan masalah. Pengambilan keputusan sebagai suatu kelanjutan dari cara pemecahan masalah memiliki fungsi antara lain sebagai pangkal permulaan dari semua aktivitas manusia yang sadar dan terarah, baik secara individual maupun secar kelompok, baik secara institusionalnya maupun secara organisasional. Dasar pengambilan keputusan itu bermacam- macam tergantung dari permasalahannya. Secara garis besarnya proses pengambilan keputusan terdiri atas tiga tahap yaitu penemuan masalah, pemecahan masalah, pengambilan keputusan. Dalam menghadapi masalah, hendaknya merici terlebih dahulu permasalahannya dengan cermat. Dari masalah yang dirinci kemudian disusun manalah yang bulat dan menyeluruh. Dunn memberikan memberikan pendapat bahwa penyusunan masalah secara bulat melalui tiga tahap. Pertama, mengadakan konseptualisasi permasalahannya. Kedua, mengadakan spesifikasi permasalahan dan ketiga berusaha memehami permasalahan secara keseluruhan.




DAFTAR RUJUKAN

Hasan, I. 2002. Teori Pengambilan Keputusan. Jakarta: Ghalia Indonesia.

Higin, J. 1979. Organization Policy and Strategik Management: Text and Cases. Illinois: The Dryden Press.

Mitchell, T. 1978. People in Organization: Understanding Their Behavior. New York: McGraw-Hill.

Robbins, S. The Administrative Process. New Delhi: Hall of India.

Salusu, J. 1966. Pengambilan Keputusan Stratejik untuk Organisasi Publik dan Organisasi Nonprofit. Jakarta: PT Gramedia Widiasarana Indonesia.

Siagian, S. 1988. Teori dan Praktek Pengambilan Keputusan. Jakarta: Haji Masagung.

Syamsi, I. 1989. Pengambilan Keputusan (Decision Making). Jakarta: Bina Aksara.

Syamsi, I. 2000. Pengambilan Keputusan dan Sistem Informasi. Jakarta: Bumi Aksara.

Wahab, Abdul Aziz. 2008. Anatomi Organisasi dan Kepemimpinan Pendidikan. Bandung: Alfabeta

.

Minggu, 20 November 2011

Landasan Teori : Evaluasi Kebijakan Publik

Dalam mengevaluasi suatu kebijakan, analis akan dihadapkan pada 3(tiga) aspek yaitu :
  1. Aspek perumusan kebijakan, pada aspek ini analis berusaha mencari jawaban bagaimana kebijakan tersebut dirumuskan , siapa yang paling berperan dan untuk siapa kebijakan tersebut dibuat. 
  2. Aspek implementasi kebijakan, pada aspek ini analis berusaha untuk mencari jawaban bagaimana kebijakan tersebut dilaksanakan, apa faktor-faktor yang mempengaruhinya dan bagaimana performance dari kebijakan tersebut. Aspek ini merupakan proses lanjutan dari tahap formulasi  kebijakan. Pada tahap formulasi ditetapkan strategi dan tujuan-tujuan kebijakan sedangkan  pada tahap implementasi  kebijakan , tindakan (action) diselenggaran dalam mencapai tujuan. Menurut Bressman dan Wildavsky (Jones, 1991) implementasi adalah suatu proses interaksi antara suatu perangkat tujuan dan tindakan yang mampu mencapai tujuan. Dalam mengkaji implementasi kebijakan, para ahli kebijakan publik banyak menggunakan model implementasi yang salah satunya adalah model Merilee S Grindle (1980). Medel Grindle menyajikan 3 (tiga) komponen kelayakan yaitu : 1) tujuan kebijakan, 2) aktivitas pelaksanaan yang dipengaruhi oleh content yang terdiri atas : kepentingan yang dipengaruhi, tipe manfaat, derajat perubahan, posisi pengambilan keputusan, pelaksanaan program, sumber daya yang dilibatkan,  dan  context yang terdiri atas : kekuasaan, kepentingan dan strategi yang dilakukan pelaksana; karakteristik rezim dan lembaga; compliance serta responsiveness. Model ini menggambarkan semua variabel yang berpengaruh dalam pencapaian tujuan dan hasil kebijakan.
  3. Aspek evaluasi, pada aspek ini analis berusaha untuk mengetahui apa dampak yang ditimbulkan oleh suatu tindakan kebijakan, baik dampak yang diharapkan maupun yang tidak diharapkan.
Evaluasi kebijakan menurut Samudro, dkk (1994) dilakukan untuk mengetahui : 1) proses pembuatan kebijakan; 2) proses implementasi;   3) konsekuensi kebijakan ; 4) efektivitas dampak kebijakan. Evaluasi pada tahap pertama, dapat dilakukan sebelum dan sesudah kebijakan dilaksanakan, kedua evaluasi tersebut evaluasi sumatif dan formatif, evaluasi untuk tahap kedua disebut evaluasi implementasi ,  evaluasi ketiga dan keempat disebut evaluasi dampak kebijakan.

Sedangkan evaluasi menurut Limberry (dalam Santoso, 1992), analisis evaluasi kebijakan mengkaji akibat-akibat pelaksanaan suatu kebijakan dan membahas hubungan antara cara-cara yang digunakan dengan hasil yang dicapai.

Dengan demikian studi evaluasi kebijakan (Sudiyono, 1992) merupakan suatu analisis yang bersifat evaluatif sehingga konsekuensinya lebih restrospeksi dibandingkan prospeksi. Dan dalam mengevaluasi seorang analis berusaha mengidentifikasi efek yang semula direncanakan untuk merealisir suatu keberhasilan dan dampak apa yang ditimbulkan dari akibat suatu kebijakan.

Studi evaluasi ini mempunyai 2 (dua) pendekatan (Sudiyono,1992) yaitu :
  1. Pendekatan kepatuhan, asumsinya apabila para pelaksana mematuhi  semua  petunjuk atau aturan yang diberikan  maka implementasi  sudah dinilai   berhasil. Kemudian pendekatan ini disempurnakan lagi dengan adanya pengaruh : a) ekstern, kekuatan non birokrasi dalam pencapaian tujuan, b) intern, program yang dimaksudkan untuk melaksanakan suatu kebijakan sering tidak terdesain dengan baik sehingga perilaku yang baik dari para pelaksana (birokrasi) tetap tidak akan berhasil dalam mencapai tujuan kebijakan.
  2. Pendekatan perspektif, “what’s happening (apa yang terjadi). Pendekatan ini menggambarkan pelaksanaan suatu kebijakan dari seluruh aspek karena implementasi kebijakan melibatkan beragam variabel dan faktor.
Dalam studi evaluasi, menurut Finsterbusch dan Motz (dalam Samudro dkk, 1994) terdapat 4 (empat) jenis evaluasi yaitu :
  1. Single program after only, merupakan jenis evaluasi yang melakukan pengukuran kondisi atau penilaian terhadap program setelah meneliti setiap variabel  yang dijadikan  kriteria program. Sehingga analis tidak mengetahui baik atau buruk respon  kelompok sasaran terhadap program.
  2. Single program befora-after,  merupakan penyempurnaan dari jenis pertama yaitu adanya data tentang sasaran program pada waktu sebelum dan setelah program berlangsung.
  3. Comparative after only, merupakan penyempurnaan evaluasi kedua tapi tidak untuk yang pertama dan analis hanya melihat sisi  keadaan  sasaran bukan sasarannya.
  4. Comparative before-after, merupakan kombinasi ketiga desain  sehingga informasi yang diperoleh  adalah efek program terhadap kelompok sasaran.