Desentralisasi
pada saat ini telah menjadi azas penyelenggaraan pemerintahan yang diterima
secara universal dengan berbagai macam bentuk aplikasi di setiap
negara.Penerimaan desentralisasi sebagai azas dalam penyelenggaraan
pemerintahan
disebabkan oleh fakta bahwa
tidak semua urusan pemerintahan dapat diselenggarakan
secara sentralisasi,
mengingat kondisi geografis, kompleksitas perkembangan masyarakat, kemajemukan
struktur sosial dan budaya lokal serta adanya tuntutan demokratisasi dalam
penyelenggaraan pemerintahan. (Prasojo, Maksum dan Kurniawan, 2006, 1)
Desentralisasi
memiliki berbagai macam tujuan. Secara umum tujuan tersebut dapat diklasifikasi
ke dalam dua variabel penting, yaitu peningkatan efisiensi dan efektivitas penyelenggaraan
pemerintahan (yang merupakan pendekatan structural efficiency model) dan
peningkatan partisipasi masyarakat dalam pemerintahan danpembangunan (yang
merupakan pendekatan local democracy model). Setiap Negara lazimnya memiliki
titik berat yang berbeda dalam tujuan-tujuan desentralisasinya. Hal itu sangat
ditentukan oleh kesepakatan dalam konstitusi terhadap arah pertumbuhan (direction
of growth) yang akan dicapai melalui desentralisasi. Bahkan dalam kurun waktu
tertentu titik berat tujuan desentralisasi di setiap negara akan mengalami perbedaan.
(Prasojo, Maksum dan Kurniawan, 2006, 1) Dalam konteks Indonesia,
Desentralisasi telah menjadi konsensus pendiri bangsa.
Pasal
18 UUD 1945 yang sudah diamandemen dan ditambahkan menjadi pasal 18, 18A dan
18B memberikan dasar dalam penyelenggaraan desentralisasi. Amanat dan Konsensus
Konstitusi ini telah lama dipraktekkan sejak Kemerdekaan Republik Indonesia
dengan berbagai pasang naik dan pasang surut tujuan yang hendak dicapai melalui
desentralisasi tersebut. Sampai saat ini, kita telah memiliki 7 (tujuh)
Undang-Undang (UU) yang mengatur pemerintahan daerah yaitu UU 1/1945, UU
22/1948,UU 1/1957, UU 18/1965, UU 5/1974, UU 22/1999 dan terakhir UU 32/2004.
Melalui berbagai UU tersebut, penyelenggaraan pemerintahan daerah di Indonesia
mengalami
berbagai pertumbuhan dan
juga permasalahan. (Prasojo, Maksum dan Kurniawan,2006, 2)Pertumbuhan yang
paling fenomenal dalam konteks penyelenggaraan Desentralisasi di Indonesia
terjadi pada saat diberlakukannya UU 22/1999 tentang Pemerintahan Daerah yang
kemudian digantikan oleh UU 32/2004 tentang Pemerintahan Daerah.
Dikatakan
fenomenal mengingat semenjak diberlakukannya, UU 22/1999 ini telah menciptakan
struktur negara yang sangat desentralistis dan mampu memantik euphoria otonomi
Propinsi dan Kabupaten yang luar biasa besarnya (Wibawa, 2005,63-77). Penyelenggaraan
desentralisasi melalui UU 22/1999 menurut Prasojo (2003) diharapkan dapat
memberikan sejumlah efek positif terhadap fungsi pelayananbirokrasi di Daerah
dengan sejumlah alasan: pertama, melalui desentralisasi jalur birokrasi Pusat
ke Daerah menjadi lebih singkat; kedua, proses debirokratisasi Negara melalui
desentralisasi akan memperkuat basis participatory democracy; ketiga, debirokratisasi
negara akan meningkatkan kompetisi antar Daerah; keempat, melalui kompetisi
akan meningkatkan kesadaran dan tanggungjawab birokrasi dalam
pelayanan publik untuk
mempercepat proses pembangunan di daerah; serta kelima, desentralisasi akan
menjadi struktur direktif (pengarah) dalam penciptaan local good
governance yaitu
Pemerintahan Daerah yang berbasis pada transparansi, akuntabilitas, participatory
democracy dan rule of law (Prasojo, 2003, 45-46). Dengan kata lain menurut
Prasojo (2003, 39-40), implementasi elemen-elemen dari good governance tersebut
dapat dilakukan dengan efektif jika unit-unit Desentralisasi menjadi motor dan
katalisator pembangunan dan perubahan di Daerah. Dengan demikian, desentralisasi
politik dan dukungan Administrasi Publik lokal menjadi salah satu instrumen
penting dalam pengimplementasian good governance. Hanya saja menurut Prasojo
(2003, 39-40), kondisi ini hanya dapat terjadi apabila desentralisasi politik dapat
dipahami sebagai instrumen demokrasi lokal dan partisipasi masyarakat dan tidak
hanya sekedar sebagai instrumen maksimalisasi efisiensi pelayanan publik. Selain
itu, upaya mewujudkan good governance tidak bisa dilepaskan dari usaha
mereformasi birokrasi
(Prasojo, 2003, 43-47). Dalam artian menurut hemat penulisbagaimana
mempersiapkan birokrasi yang telah ada untuk dapat mendukungimpelementasi dari
prinsip-prinsip good governance tersebut.
Efek
positif dari desentralisasi politik dan reformasi birokrasi sebagai
basispenciptaan local good governance sebagaimana disebutkan di atas bukan
tanpamasalah. Ketidakmampuan Daerah secara personal dan finansial dapat
menjadihambatan keberhasilan proses tersebut. Hal ini dapat terjadi jika proses
transformasidari sistem yang sentralistis-hira rkhis menjadi
desentralistis-partisipatif tidak memiliki kejelasan peraturan pelaksanaan di
lapangan. Sehingga dalam hal ini, hokum harus menjadi dasar proses reformasi
birokrasi untuk menuju good governance.(Prasojo, 2003, 46)
Harapan untuk mewujudkan good governance pada Pemerintahan Daerah
di
Indonesia
Upaya untuk mewujudkan good
governance di Indonesia tentu saja tidak akan mudah
untuk dilakukan dengan
merujuk kepada pengalaman yang ada di sejumlah negara.
Goetz
(2004, 34) mencatat bahwa kondisi utama yang harus dimunculkan untuk mendukung
reformasi governance adalah merupakan kombinasi dari faktor institusidan
karakteristik dari desain kebijakan. Hal ini akan terkait dengan penentuan
batas waktu reformasi yang dibuat oleh institusi formal yang memiliki
legitimasi danberkelanjutan; penyerahan tanggungjawab untuk melaksanakan
sebagian reformasi kepada tingkat pemerintahan yang lebih rendah; perubahan
komposisi elit pemerintah untuk meminimalisir pengaruh pemegang kekuasaan lama;
adanya pentahapan terhadap agenda reformasi yang akan dilakukan; keberagaman
dan kemampuan yang mendalam dari masyarakat sipil; serta kapasitas teknis yang
memadai dari institusi.
Sejalan
dengan usulan Goetz di atas, maka pelaksanaan otonomi daerah yang ada saat ini
dirasakan akan dapat mendukung dalam upaya mewujudkan good governance di Indonesia.
Hanya saja perlu dilakukan sejumlah upaya dalam mereformasi birokrasiyang ada
di daerah sebagaimana disarankan oleh Prasojo (2003, 45-47) yakni:
Ø debirokratisasi struktur internal birokrasi;
Ø modernisasi proses
birokrasi; serta
Ø peningkatan kapasitas aparat birokrasi.
Melalui upaya reformasi
tersebut, diharapkan birokrasi yang ada dapat menjadi jembatan yang memadai
dalam proses implementasi konsep good governance.
Sebagai
tambahan, dalam melakukan upaya reformasi tersebut maka menurut hemat penulis
perlu juga diperhatikan kondisi eksis dari birokrasi kita. Dalam pengertian, kita
perlu mencari tahu ada dimana birokrasi kita saat ini, apakah masih menganut paradigma
klasik, NPM, atau bahkan sudah mengarah kepada good governance.
Untuk
itu, perlulah kiranya dilakukan pemetaan terhadap kondisi dari birokrasi kita, sehingga
melalui upaya pemetaan ini diharapkan dapat membantu dalam mendesain strategi
reformasi birokrasi yang lebih tepat dan memadai.
Departemen Ilmu Administrasi
FISIP UISalomo, Roy, 2002, “E-Government: Suatu Inovasi dalam Kerangka
Good
Governance”, Bisnis & Birokrasi, Vol. X,
No.2, Mei
Samaratunge, Ramanie and
Lynne Bennington, 2002, “New Public Management:
Challenge for Sri Lanka”, Asian Journal
of Public Administration, Vol. 24, No.
1,June,AvailableOnline:
http://unpan1.un.org/intradoc/groups/public/documents/APCITY/UNPAN020
779.pdf [6
November 2006]
Schwab, B and D Kubler,
2001, “Metropolitan Governance and the ‘democratic
deficit’: Theoretical Issues and
Empirical Findings”, Paper in Conference
Area-based initiatives in contemporary
urban policy, Copenhagen, May 2001,
AvailableOnline:
http://www.sbi.dk/eura/workshops/papers/workshop2/schwab.pdf
[17 Januari
2006]
Tidak ada komentar:
Posting Komentar