Selasa, 17 April 2012


Desentralisasi pada saat ini telah menjadi azas penyelenggaraan pemerintahan yang diterima secara universal dengan berbagai macam bentuk aplikasi di setiap negara.Penerimaan desentralisasi sebagai azas dalam penyelenggaraan pemerintahan
disebabkan oleh fakta bahwa tidak semua urusan pemerintahan dapat diselenggarakan
secara sentralisasi, mengingat kondisi geografis, kompleksitas perkembangan masyarakat, kemajemukan struktur sosial dan budaya lokal serta adanya tuntutan demokratisasi dalam penyelenggaraan pemerintahan. (Prasojo, Maksum dan Kurniawan, 2006, 1)
Desentralisasi memiliki berbagai macam tujuan. Secara umum tujuan tersebut dapat diklasifikasi ke dalam dua variabel penting, yaitu peningkatan efisiensi dan efektivitas penyelenggaraan pemerintahan (yang merupakan pendekatan structural efficiency model) dan peningkatan partisipasi masyarakat dalam pemerintahan danpembangunan (yang merupakan pendekatan local democracy model). Setiap Negara lazimnya memiliki titik berat yang berbeda dalam tujuan-tujuan desentralisasinya. Hal itu sangat ditentukan oleh kesepakatan dalam konstitusi terhadap arah pertumbuhan (direction of growth) yang akan dicapai melalui desentralisasi. Bahkan dalam kurun waktu tertentu titik berat tujuan desentralisasi di setiap negara akan mengalami perbedaan. (Prasojo, Maksum dan Kurniawan, 2006, 1) Dalam konteks Indonesia, Desentralisasi telah menjadi konsensus pendiri bangsa.

Pasal 18 UUD 1945 yang sudah diamandemen dan ditambahkan menjadi pasal 18, 18A dan 18B memberikan dasar dalam penyelenggaraan desentralisasi. Amanat dan Konsensus Konstitusi ini telah lama dipraktekkan sejak Kemerdekaan Republik Indonesia dengan berbagai pasang naik dan pasang surut tujuan yang hendak dicapai melalui desentralisasi tersebut. Sampai saat ini, kita telah memiliki 7 (tujuh) Undang-Undang (UU) yang mengatur pemerintahan daerah yaitu UU 1/1945, UU 22/1948,UU 1/1957, UU 18/1965, UU 5/1974, UU 22/1999 dan terakhir UU 32/2004. Melalui berbagai UU tersebut, penyelenggaraan pemerintahan daerah di Indonesia mengalami
berbagai pertumbuhan dan juga permasalahan. (Prasojo, Maksum dan Kurniawan,2006, 2)Pertumbuhan yang paling fenomenal dalam konteks penyelenggaraan Desentralisasi di Indonesia terjadi pada saat diberlakukannya UU 22/1999 tentang Pemerintahan Daerah yang kemudian digantikan oleh UU 32/2004 tentang Pemerintahan Daerah.
Dikatakan fenomenal mengingat semenjak diberlakukannya, UU 22/1999 ini telah menciptakan struktur negara yang sangat desentralistis dan mampu memantik euphoria otonomi Propinsi dan Kabupaten yang luar biasa besarnya (Wibawa, 2005,63-77). Penyelenggaraan desentralisasi melalui UU 22/1999 menurut Prasojo (2003) diharapkan dapat memberikan sejumlah efek positif terhadap fungsi pelayananbirokrasi di Daerah dengan sejumlah alasan: pertama, melalui desentralisasi jalur birokrasi Pusat ke Daerah menjadi lebih singkat; kedua, proses debirokratisasi Negara melalui desentralisasi akan memperkuat basis participatory democracy; ketiga, debirokratisasi negara akan meningkatkan kompetisi antar Daerah; keempat, melalui kompetisi akan meningkatkan kesadaran dan tanggungjawab birokrasi dalam
pelayanan publik untuk mempercepat proses pembangunan di daerah; serta kelima, desentralisasi akan menjadi struktur direktif (pengarah) dalam penciptaan local good
governance yaitu Pemerintahan Daerah yang berbasis pada transparansi, akuntabilitas, participatory democracy dan rule of law (Prasojo, 2003, 45-46). Dengan kata lain menurut Prasojo (2003, 39-40), implementasi elemen-elemen dari good governance tersebut dapat dilakukan dengan efektif jika unit-unit Desentralisasi menjadi motor dan katalisator pembangunan dan perubahan di Daerah. Dengan demikian, desentralisasi politik dan dukungan Administrasi Publik lokal menjadi salah satu instrumen penting dalam pengimplementasian good governance. Hanya saja menurut Prasojo (2003, 39-40), kondisi ini hanya dapat terjadi apabila desentralisasi politik dapat dipahami sebagai instrumen demokrasi lokal dan partisipasi masyarakat dan tidak hanya sekedar sebagai instrumen maksimalisasi efisiensi pelayanan publik. Selain itu, upaya mewujudkan good governance tidak bisa dilepaskan dari usaha
mereformasi birokrasi (Prasojo, 2003, 43-47). Dalam artian menurut hemat penulisbagaimana mempersiapkan birokrasi yang telah ada untuk dapat mendukungimpelementasi dari prinsip-prinsip good governance tersebut.
Efek positif dari desentralisasi politik dan reformasi birokrasi sebagai basispenciptaan local good governance sebagaimana disebutkan di atas bukan tanpamasalah. Ketidakmampuan Daerah secara personal dan finansial dapat menjadihambatan keberhasilan proses tersebut. Hal ini dapat terjadi jika proses transformasidari sistem yang sentralistis-hira rkhis menjadi desentralistis-partisipatif tidak memiliki kejelasan peraturan pelaksanaan di lapangan. Sehingga dalam hal ini, hokum harus menjadi dasar proses reformasi birokrasi untuk menuju good governance.(Prasojo, 2003, 46)
Harapan untuk mewujudkan good governance pada Pemerintahan Daerah di
Indonesia
Upaya untuk mewujudkan good governance di Indonesia tentu saja tidak akan mudah
untuk dilakukan dengan merujuk kepada pengalaman yang ada di sejumlah negara.
Goetz (2004, 34) mencatat bahwa kondisi utama yang harus dimunculkan untuk mendukung reformasi governance adalah merupakan kombinasi dari faktor institusidan karakteristik dari desain kebijakan. Hal ini akan terkait dengan penentuan batas waktu reformasi yang dibuat oleh institusi formal yang memiliki legitimasi danberkelanjutan; penyerahan tanggungjawab untuk melaksanakan sebagian reformasi kepada tingkat pemerintahan yang lebih rendah; perubahan komposisi elit pemerintah untuk meminimalisir pengaruh pemegang kekuasaan lama; adanya pentahapan terhadap agenda reformasi yang akan dilakukan; keberagaman dan kemampuan yang mendalam dari masyarakat sipil; serta kapasitas teknis yang memadai dari institusi.
Sejalan dengan usulan Goetz di atas, maka pelaksanaan otonomi daerah yang ada saat ini dirasakan akan dapat mendukung dalam upaya mewujudkan good governance di Indonesia. Hanya saja perlu dilakukan sejumlah upaya dalam mereformasi birokrasiyang ada di daerah sebagaimana disarankan oleh Prasojo (2003, 45-47) yakni:
Ø  debirokratisasi struktur internal birokrasi;
Ø   modernisasi proses birokrasi; serta
Ø  peningkatan kapasitas aparat birokrasi.
Melalui upaya reformasi tersebut, diharapkan birokrasi yang ada dapat menjadi jembatan yang memadai dalam proses implementasi konsep good governance.
Sebagai tambahan, dalam melakukan upaya reformasi tersebut maka menurut hemat penulis perlu juga diperhatikan kondisi eksis dari birokrasi kita. Dalam pengertian, kita perlu mencari tahu ada dimana birokrasi kita saat ini, apakah masih menganut paradigma klasik, NPM, atau bahkan sudah mengarah kepada good governance.
Untuk itu, perlulah kiranya dilakukan pemetaan terhadap kondisi dari birokrasi kita, sehingga melalui upaya pemetaan ini diharapkan dapat membantu dalam mendesain strategi reformasi birokrasi yang lebih tepat dan memadai.



Departemen Ilmu Administrasi FISIP UISalomo, Roy, 2002, “E-Government: Suatu Inovasi dalam Kerangka Good  
  Governance”, Bisnis & Birokrasi, Vol. X, No.2, Mei
Samaratunge, Ramanie and Lynne Bennington, 2002, “New Public Management:
        Challenge for Sri Lanka”, Asian Journal of Public Administration, Vol. 24, No.
        1,June,AvailableOnline:
        http://unpan1.un.org/intradoc/groups/public/documents/APCITY/UNPAN020
        779.pdf [6 November 2006]
Schwab, B and D Kubler, 2001, “Metropolitan Governance and the ‘democratic
        deficit’: Theoretical Issues and Empirical Findings”, Paper in Conference
        Area-based initiatives in contemporary urban policy, Copenhagen, May 2001,
        AvailableOnline:
        http://www.sbi.dk/eura/workshops/papers/workshop2/schwab.pdf [17 Januari
        2006]

Tidak ada komentar:

Posting Komentar