Makalah
DELIK PENODAAN AGAMA
DAN KEHIDUPAN BERAGAMA
DALAM RUU KUHP
I. Acuan Pemikiran
Secara normatif, jaminan kebebasan
kehidupan beragama di Indonesia sebenarnya cukup kuat. Namun, keindahan
aturan-aturan normatif tidak serta merta indah pula dalam kenyataannya. Banyak
sekali warga Negara Indonesia yang merasa dikekang kebebasannya dalam memeluk
agama dan berkeyakinan. Kebebasan itu hanya ada dalam agama yang “diakui”
pemerintah, artinya kalau memeluk agama di luar agama yang “diakui” itu maka
ada efek yang dapat mengurangi hak-hak sipil warga negara. Bahkan, orang yang
mempunyai keyakinan tertentu, bias dituduh melakukan penodaan agama. Keyakinan
keagamaan kelompok Lia “Eden” Aminuddin misalnya, bisa dituduh melakukan
penodaan agama dan divonis 2 tahun karena melanggar KUHP pasal 156a. Hal ini
merupakan contoh telanjang betapa diskriminasi atas dasar agama dan keyakinan,
meski diingkari oleh perundang-undangan kita, namun dalam realitasnya berbeda.
Jaminan kebebasan beragama
pertama-tama dapat dilihat dari konstitusi atau Undang-Undang Dasar negara
kita. Pasal 28 (e) ayat 1 dan 2 UUD 1945 hasil amandemen disebutkan: 1)
“Setiap orang bebas memeluk agama dan beribadat menurut agamanya, memilih
pendidikan dan pengajaran, memilih pekerjaan, memilih kewarganegaraan, memilih
tempat tinggal di wilayah negara dan meninggalkannya, serta berhak kembali”; 2)
“Setiap orang berhak atas kebebasan meyakini kepercayaan, menyatakan pikiran
dan sikap, sesuai dengan hati nuraninya”. Hal tersebut ditegaskan lagi dalam pasal 29 (1) "Negara
berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa.", (2) "Negara menjamin
kemerdekaan tiap-tiap penduduk untuk memeluk agamanya masing-masing dan untuk
beribadat menurut agama dan kepercayaanya itu."
Dalam UU
No. 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia memberikan landasan normatif bahwa
agama dan keyakinan merupakan hak dasar yang tidak bisa diganggu gugat. Dalam
pasal 22 ditegaskan: 1) Setiap orang bebas memeluk agamanya masing-masing
dan untuk beribadat menurut agamanya dan kepercayaannya itu; 2) Negara menjamin
kemerdekaan setiap orang memeluk agamanya masing-masing dan untuk beribadat
menurut agamanya dan kepercayaannya itu”. Dalam pasal 8 juga ditegaskan
bahwa “Perlindungan, pemajuan, penegakan, dan pemenuhan hak asasi manusia
menjadi tanggung jawab negara, terutama
pemerintah”.
Dari pasal tersebut jelas bahwa
negara (c.q. pemerintah) adalah institusi yang pertama-tama berkewajiban untuk
menjamin kebebasan berkeyakinan dan segala sesuatu yang menjadi turunannya,
seperti pengakuan hak-hak sipilnya tanpa diskriminasi. Dalam pasal 1c UU No. 39
Tahun 1999 dijelaskan bahwa “diskriminasi adalah setiap pembatasan, pelecehan,
atau pengucilan yang langsung maupun tak langsung didasarkan pada pembedaan
manusia atas dasar suku, ras, etnis, kelompok, golongan, status sosial, status
ekonomi, jenis kelamin, bahasa, keyakinan politik yang berakibat pengurangan,
penyimpangan, atau penghapusan pengakuan, pelaksanaan atau penggunaan hak asasi
manusia dan kebebasan dasar dalam kehidupan baik individual maupun kolektif
dalam bidang politik, ekonomi, hukum, sosial, budaya dan aspek kehidupan
lainnya”.
Di samping itu, tuntutan untuk
menjamin kebebasan beragama dan berkeyakinan juga menjadi tuntutan international
sebagaimana tertuang dalam International
Covenant on Civil and Political Rights (ICPPR). Indonesia sudah meratifikasi tentang ICCPR melalui Undang-Undang No. 12
Tahun 2005 tentang Pengesahan International
Covenant on Civil and Political Rights (Kovenan Internasional tentang
Hak-Hak Sipil dan Politik). Dengan ratifikasi itu, maka Indonesia
menjadi Negara Pihak (State Parties) yang
terikat dengan isi ICCPR.
Kovenan menetapkan hak setiap orang atas kebebasan berpikir,
berkeyakinan dan beragama serta perlindungan atas hak-hak tersebut (Pasal 18);
hak orang untuk mempunyai pendapat tanpa campur tangan pihak lain dan hak atas
kebebasan untuk menyatakan pendapat (Pasal 19); persamaan kedudukan semua orang
di depan hukum dan hak semua orang atas perlindungan hukum yang sama tanpa
diskriminasi (Pasal 26); dan tindakan untuk melindungi golongan etnis, agama,
atau bahasa minoritas yang mungkin ada di negara pihak (Pasal 27).
ICCPR
pada dasarnya memuat ketentuan mengenai pembatasan penggunaan kewenangan oleh
aparat represif negara, khususnya aparatur represif Negara. Makanya hak-hak
yang terhimpun di dalamnya juga sering disebut sebagai hak negatif (negative rights). Artinya, hak-hak dan kebebasan yang
dijamin di dalamnya akan dapat terpenuhi apabila peran negara dibatasi. Apabila negara terlalu intervensi,
hak-hak dan kebebasan yang diatur di dalamnya akan dilanggar oleh negara.
Negara-negara Pihak yang melakukan pelanggaran terhadap hak-hak tersebut, akan
mendapat kecaman sebagai negara yang telah melakukan pelanggaran serius hak
asasi manusia (gross
violation of human rights).
Meski secara konstitusi jaminan atas
kebebasan beragama dan berkeyakinan cukup kuat, namun pada tingkat implementasi
masih sangat lemah. Bahkan ada kesan, paradigma dan perspektif pemerintah dalam
melihat agama dan segala keragamannya tidak berubah. Keragaman masih dianggap
sebagai ancaman daripada kekayaan. Watak negara yang ingin sepenuhnya menguasai
segi-segi kehidupan dalam masyarakat, terutama keyakinan, sebagai ciri negara
otoriter juga belum sepenuhnya hilang.
II. Penodaan Agama
dalam KUHP
Dalam KUHP (WvS) sebenarnya tidak
ada bab khusus mengenai delik agama, meski ada beberapa delik yang sebenarnya
dapat dikategorikan sebagai delik agama. Istilah delik agama itu sendiri
sebenarnya mengandung beberapa pengertian: a) delik menurut agama; b) delik terhadap
agama; c) delik yang berhubungan
dengan agama. Prof. Oemar Seno Adji seperti dikutip Barda Nawawi Arief
menyebutkan bahwa delik agama hanya mencakup delik terhadap agama dan delik yang
berhubungan dengan agama.[1] Meski demikian,
bila dicermati sebenarnya delik menurut agama
bukan tidak ada dalam KUHP meski hal itu tidak secara penuh ada dalam KUHP
seperti delik pembunuhan, pencurian, penipuan/perbuatan curang, penghinaan,
fitnah, delik-delik kesusilaan (zina, perkosaan dan sebagainya).
Sedangkan pasal 156a yang sering
disebut dengan pasal penodaan agama bisa dikategorikan sebagai delik terhadap agama. Sedang delik kategori c
tersebar dalam beberapa perbuatan seperti merintangi pertemuan/upacara agama
dan upacara penguburan jenazah (pasal 175); mengganggu pertemuan /upacara agama
dan upacara penguburan jenazah (pasal 176); menertawakan petugas agama dalam
menjalankan tugasnya yang diizinkan dan sebagainya.
Bagian ini akan lebih difokuskan pada
pasal 156a yang sering dijadikan rujukan hakim untuk memutus kasus penodaan
agama. Pasal ini selengkapnya berbunyi: “Dipidana
dengan pidana penjara selama-lamanya lima tahun barang siapa dengan sengaja di
muka umum mengeluarkan perasaan atau melakukan perbuatan: a. yang pokoknya
bersifat permusuhan, penyalahgunaan atau penodaan terhadap suatu agama yang
dianut di Indonesia; b. dengan maksud agar supaya orang tidak menganut agama
apapun juga, yang bersendikan Ketuhanan Yang maha Esa.”
Sebagaimana telah disinggung, pasal
ini bisa dikategorikan sebagai delik terhadap
agama. Asumsinya, yang ingin dilindungi oleh pasal ini adalah agama itu
sendiri. Agama, menurut pasal ini, perlu dilindungi dari
kemungkinan-kemungkinan perbuatan orang yang bisa merendahkan dan menistakan
simbol-simbol agama seperti Tuhan, Nabi, Kitab Suci dan sebagainya. Meski
demikian, karena agama “tidak bisa bicara” maka sebenarnya pasal ini juga
ditujukan untuk melindungi penganut agama.[2]
Pasal tersebut masuk dalam Bab V KUHP
tentang Kejahatan terhadap Ketertiban Umum. Di sini tidak ada tindak pidana
yang secara spesifik mengatur tindak pidana terhadap agama. Pasal 156a
merupakan tambahan untuk men-stressing-kan
tindak pidana terhadap agama. Dalam pasal 156 disebutkan: Barang siapa di muka umum menyatakan perasaan permusuhan, kebencian,
atau penghinaan terhadap suatu atau beberapa golongan rakyat Indonesia, diancam
dengan pidana penjara paling lama empat tahun atau pidana denda paling banyak
empat ribu lima ratus rupiah. Perkataan golongan dalam pasal ini dan pasal
berikutnya berarti tiap-tiap bagian dari rakyat Indonesia yang berbeda dengan
suatu atau beberapa bagian lainnya karena ras, negeri asal, agama, tempat asal,
keturunan, kebangsaan atau kedudukan menurut hukum tata negara.[3]
Perlu dijelaskan bahwa pasal 156a
tidak berasal dari Wetboek van Strafrecht
(WvS) Belanda, melainkan dari UU No. 1/PNPS/1965 tentang Pencegahan
Penyalahgunaan dan atau Penodaan Agama. Pasal 4 undang-undang tersebut
langsung memerintahkan agar ketentuan di atas dimasukkan ke dalam KUHP.[4]
Benih-benih delik
penodaan agama juga dapat dilihat dalam pasal 1 Undang-Undang No. 1/PNPS/1965
tegas menyebutkan larangan mengusahakan dukungan umum dan untuk melakukan
penafsiran tentang sesuatu agama. Ketentuan pasal ini selengkapnya berbunyi:
"Setiap orang dilarang dengan
sengaja di muka umum menceritakan, menganjurkan atau mengusahakan dukungan umum
untuk melakukan penafsiran tentang sesuatu agama yang utama di Indonesia atau
melakukan kegiatan-kegiatan keagamaan yang menyerupai kegiatan-kegiatan agama
itu, penafsiran dan kegiatan mana menyimpang dari pokok-pokok ajaran dari agama
itu".
Pasal 156a ini dimasukkan
ke dalam KUHP Bab V tentang Kejatahan terhadap Ketertiban Umum yang mengatur
perbuatan menyatakan perasaan permusuhan, kebencian atau penghinaan terhadap
orang atau golongan lain di depan umum. Juga terhadap orang atau golongan yang
berlainan suku, agama, keturunan dan sebagainya. Pasal-pasal tersebut tampaknya
merupakan penjabaran dari prinsip anti-diskriminasi dan untuk melindungi
minoritas dari kewenang-wenangan kelompok mayoritas.
Mengapa aturan tentang penodaan
agama perlu dimasukkan dalam KUHP? Pertanyaan ini barangkali bisa dijawab
dengan memperhatikan konsideran dalam UU No. 1/PNPS/1965 tersebut. Di sana disebutkan
beberapa hal, antara lain: pertama,
undang-undang ini dibuat untuk mengamankan Negara dan masyarakat, cita-cita
revolusi dan pembangunan nasional dimana penyalahgunaan atau penodaan agama
dipandang sebagai ancaman revolusi. Kedua,
timbulnya berbagai aliran-aliran atau organisasi-organisasi
kebatinan/kepercayaan masyarakat yang dianggap bertentangan dengan ajaran dan
hukum agama. Aliran-aliran tersebut dipandang telah melanggar hukum, memecah
persatuan nasional dan menodai agama, sehingga perlu kewaspadaan nasional
dengan mengeluarkan undang-undang ini.
Ketiga,
karena itu, aturan
ini dimaksudkan untuk mencegah agar jangan sampai terjadi penyelewengan
ajaran-ajaran agama yang dianggap sebagai ajaran-ajaran pokok oleh para ulama
dari agama yang bersangkutan; dan aturan ini melindungi ketenteraman beragama
tersebut dari penodaan/penghinaan serta dari ajaran-ajaran untuk tidak memeluk
agama yang bersendikan Ketuhanan Yang Maha Esa. Keempat, seraya menyebut enam agama yang diakui pemerintah (Islam,
Kristen, Katolik, Hindu, Budha dan Khong Hu Cu [Confusius]), undang-undang ini
berupaya sedemikian rupa agar aliran-aliran keagamaan di luar enam agama
tersebut dibatasi kehadirannya.
Prof. Oemar Seno Adji dapat ditunjuk
sebagai ahli hukum yang paling bertanggung jawab masuknya delik agama dalam
KUHP. Dasar yang digunakan untuk memasukkan delik agama dalam KUHP adalah sila
Ketuhanan Yang Maha Esa sebagai causa prima negara Pancasila. UUD 1945 pasal 29
juga menyebutkan bahwa negara berdasar Ketuhana Yang Maha Esa. Karena itu,
kalau ada orang yang mengejek dan penodaan Tuhan yang disembah tidak dapat
dibiarkan tanpa pemidanaan. Atas dasar itu, dengan meilihat Ketuhanan Yang Maha
Esa sebagai titik sentral dari kehidupan kenegaraan, maka delik Godslastering sebagai blasphemy menjadi prioritas dalam delik
agama.[5]
Pasal 156a dalam praktiknya memang
menjadi semacam peluru yang mengancam, daripada melindungi warga Negara.
Ancaman itu terutama bila digunakan oleh kekuatan yang anti demokrasi dan anti
pluralisme, sehingga orang dengan mudah menuduh orang lain telah melakukan
penodaan agama. Dalam pratiknya pasal ini seperti “pasal karet” (hatzaai articelen) yang bisa
ditarik-ulur, mulur-mungkret untuk menjerat siapa saja yang dianggap menodai
agama. Pasal ini bisa digunakan untuk menjerat penulis komik, wartawan, pelaku
ritual yang berbeda dengan mainstream,
aliran sempalan, dan sebagainya. Karena kelenturannya itu, “pasal karet” bisa
direntangkan hampir tanpa batas.
Pada dasarnya, pasal ini tidak hanya
bisa dipakai untuk menjerat aliran-aliran seperti Lia Eden dan Ahmadiyah,
misalnya, melainkan juga bisa dikenakan kepada aliran-aliran atau organisasi
agama yang suka membuat kekerasan dan onar di dalam masyarakat yang
mengatasnamakan agama tertentu. Sayangnya, dalam praktiknya, pasal 156a ini
tidak pernah diterapkan baik oleh Polisi maupun Hakim untuk melindungi korban.
Dalam kasus Lia “Eden” Aminudin, misalnya, yang justru ditangkap dan diadili
ketika ada tekanan massa. Lia sebagai korban justru dikorbankan dan dijerat
dengan pasal ini karena ada tekanan dari FPI yang dipicu oleh Fatwa MUI yang
menganggapnya sesat.
Jika dalam KUHP yang selama ini
berlaku penodaan agama hanya ada dalam satu pasal (156a), dalam RUU KUHP yang
merevisi KUHP lama, pasal penodaan agama diletakkan dalam bab tersendiri, yaitu
Bab VII tentang Tindak Pidana terhadap Agama dan Kehidupan Keagamaan yang di
dalamnya ada 8 (delapan) pasal. Dari delapan pasal itu dibagi dalam dua bagian:
Bagian I mengatur tentang tindak pidana terhadap Agama. Bagian ini mengatur
tentang Penghinaan terhadap Agama (pasal 341-344) dan Penghasutan untuk
Meniadakan Keyakinan terhadap Agama (pasal 345). Bagian II mengatur tentang
Tindak Pidana terhadap Kehidupan Beragama dan Sarana Ibadah. Bagian ini
mengatur dua hal, yaitu Gangguan terhadap Penyelenggaraan Ibadah dan Kegiatan
Keagamaan (pasal 346-347); dan Perusakan Tempat Ibadah (pasal 348).
Dari gambaran tersebut dapat dilihat
dengan jelas adanya upaya untuk merentangkan lebih luas aspek penodaan agama
ini. Di sini perlu ketelitian dan antisipasi untuk menyusun dan memunculkan
pasal-pasal tentang agama dalam R-KUHP yang lebih berorientasi pada
perlindungan korban. Pasal-pasal dalam R-KUHP tentang agama ini semestinya
diorientasikan disamping untuk melindungi kepentingan umum, juga untuk
melindungi kebebasan beragama baik mayoritas maupun minoritas dan juga
melindungi minoritas dari ancaman diskriminasi dan kewewenang-wenangan
mayoritas. Pasal ini juga harus bisa menjamin bahwa perbedaan penafsiran dan
cara pandang atas berbagai masalah keagamaan tidak kemudian dituduh melakukan
penodaan agama. Karena, menuduh orang melakukan penodaan agama tidak bisa hanya
berangkat dari asumsi dan prasangka, namun harus bias dibuktikan bahwa orang
tersebut memang bermaksud melakukan permusuhan, merendahkan, dan melecehkan
agama. Revisi KUHP tidak boleh disandera kelompok tertentu dengan meminjam
“tangan Negara” guna memuluskan agenda-agenda politiknya.
III. Penodaan Agama dalam Praktek
Peradilan
Dalam bagian ini akan diuraikan
bagaimana praktek penggunaan pasal 156a dalam pengadilan. Akan diuraikan
problem dan korban dari penggunaan pasal ini. Hal ini penting karena salah satu
problem krusial dalam revisi KUHP adalah masalah agama. Ada kecenderungan,
kebijakan pemerintah dalam masalah agama senantiasa menimbulkan pro-kontra. Hal
ini karena kelompok-kelompok agama di Indonesia mempunyai aspirasi yang bukan
saja berbeda, tapi saling bertentangan. Karena itu, kelompok-kelompok agama
cenderung ramai-ramai meminjam “tangan negara” untuk memperjuangkan dan mengamankan
posisinya. Kecenderungan ini tampak kian jelas bila kita mengikuti pro-kontra
sejumlah regulasi daerah yang biasa disebut dengan Perda Syariat Islam.
Dengan “mengamankan” agenda
keagamaan melalui pasal dalam undang-undang dan regulasi lainnya, maka tindakan
yang diskriminatif sekalipun bisa menjadi “kebenaran” karena disahkan oleh
undang-undang. Kondisi ini jelas berbahaya, karena undang-undang bisa menjadi
sandera untuk membenarnya tindakan yang melanggar konstitusi sekalipun.
Salah satu fungsi
penting hukum pidana adalah untuk memberikan dasar legitimasi bagi tindakan
represif negara terhadap seseorang atau kelompok orang yang melakukan perbuatan
yang mengancam dan membahayakan, serta merugikan kepentingan umum. Ia
memberikan mandat kepada negara untuk melindungi masyarakat luas dari perbuatan
orang per orang atau kelompok orang yang hak-haknya terlanggar di satu sisi,
dan memberi kewenangan kepada negara untuk menghukum orang yang tindakannya
melanggar hukum. Berikut ini akan diuraikan beberapa kasus penodaan agama yang
sudah divonis oleh pengadilan.
1.
Kasus Cerpen “Langit Makin Mendung” karya ki Pandji Kusmin
Sejauh riset yang dilakukan
di sini, kasus merupakan kasus penodaan agama pertama setelah pasal 156a
dimasukkan dalam KUHP. Korbannya
adalah Hans Bague
Jassin (HB Jassin) yang divonis telah melakukan penodaan agama dengan hukuman satu
tahun penjara dengan masa percobaan dua tahun.
Masalah itu
bermula dari terbitknya cerpen berjudul Langit Makin Mendung (LMM) karya
Ki Pandji Kusmin yang dimuat di majalah Sastra edisi 8 Agustus 1968. Cerpen
itu menimbulkan kecaman dari berbagai pihak, terutama umat Islam. Akibat rekasi
massa yang semakin kuat, Kejaksaan Tinggi Sumatera Utara melarang peredaran
majalah Sastra yang memuat cerpen
tersebut karena isinya dianggap menghina kesucian agama Islam. Akibatnya
ratusan eksemplar majalah Sastra disita di berbagai toko, agen dan
pengecer di kota Medan.
Bukan
itu saja, protes massa terus berlanjut dengan demonstrasi ke kantor majalah Sastra.
Sekitar 50 pemuda berunjuk rasa dari mulai orasi sampai aksi coret-coret
dinding kantor dengan segala macam penghinaan. Nuansa sindrom komunisme begitu
kuat dalam tulisan-tulisan demonstran seperti H.B Jassin Kunjuk! (Kunyuk, ejaan
lama-red), H.B Jassin Tangan Kotor Gestapu PKI, Ini Kantor Lekra, Majalah
Sastra: Anti Islam, dan lain-lain. Akibat demonstasi tersebut majalah Sastra kemudian ditutup sampai batas
waktu yang ditentukan.
Kalangan
sastrawan pun bereaksi. Di Medan sejumlah sastrawan terkemuka seperti Sori Siregar, Zakaria M. Passe dan
Rusli A. Malem membuat
pernyataan protes. Di Jakarta tak ketinggalan Umar Kayam, Taufiq Ismail, Trisno Sumarjdo, D. Djajakusuma dan Slamet Soekirnanto ikut
menandatangani pernyataan protes. Nama Ki Pandjikusmin sendiri ‘mencuat’
sehingga dipelesetkan menjadi "Kibarkan Pandji-Pandji
Komunis Internasional" . Polemik terus berkelanjutan. Setahun sesudah
itu tajuk rencana harian Indonesia Raja menulis : "Ki Pandji Kusmin,
Tampillah Engkau Sekarang Sebagai Ksatria."
H.B
Jassin selaku redaktur majalah Sastra diseret ke pengadilan. Akan tetapi
di muka pengadilan ia berkeras tidak mengungkap identitas Ki Pandji Kusmin
dengan berpegang pada UU Pers 1966: "bila sang pengarang tidak membuka
identitasnya redaksi mempunyai hak tolak memberitahukan identitas pengarang
sesungguhnya." Cerpen ini juga berbuntut panjang dan menyebabkan
polemik sastra meributkan soal fantasi, kebebasan mencipta dan agama. Polemik
tersebut berkepanjangan hingga dua tahun lamanya.
Di
pengadilan H.B Jassin mengaku selama ini hanya berhubungan lewat surat. Ia juga
mengatakan sang pengarang berprofesi sebagai pelaut. Alamatnya selalu
berpindah-pindah. Spekulasi bermunculan. Bahkan ada yang berasumsi H.B Jassin
sendirilah Ki Pandji Kusmin itu.
Ki
Pandji Kusmin sendiri bukannya tidak tinggal diam. Pengarang misterius ini
lewat redaksi Harian Kami tertanggal 22 Oktober 1968 mengeluarkan
pernyataan mencabut cerpennya dan menganggapnya tak pernah ada. Berikut pernyataannya:
"Sebermula
sekali bukan maksud saya menghina agama Islam. Tujuan sebenarnya adalah
semata-mata hasrat pribadi saya mengadakan komunikasi langsung dengan Tuhan,
Nabi Muhammad S.A.W, sorga. dll. Di samping menertawakan kebodohan di masa
rezim Soekarno. Tapi rupanya saya telah gagal, salah menuangkannya ke dalam
bentuk cerpen. Alhasil mendapat tanggapan di kalangan umat Islam sebagai
penghinaan terhadap agama Islam."
Kisah
ini belakangan diterbitkan dalam buku berjudul “Pledoi Satra: Kontroversi
Cerpen Langit Makin Mendung Ki Pandji Kusmin” tahun 2004. Berikut ini
dilampirkan cerpen dimaksud dan juga resensi buku Pledoi Sastra.
2. Kasus
Tabloid Monitor
Kasus ini
terjadi pada 1990 dengan korban Arswendo
Atmowiloto (pemimpin redaksi tabloid Monitor).
Dia divonis lima tahun penjara dengan tuduhan melakukan penodaan agama.
Monitor merupakan tabloid terlaris milik Kelompok
Kompas Gramedia (KKG). Hari itu, Senin 15 Oktober 1990, Monitor menurunkan
hasil angket mengenai tokoh yang paling dikagumi pembaca. Hasil angket itu
menunjukkan Nabi Muhammad SAW menempati
urutan ke sebelas sebagai tokoh yang paling dikagumi, satu tingkat di bawah Arswendo Atmowiloto,
pemimpin redaksi Monitor
yang menempati peringkat kesepuluh.
Sontak
publikasi itu menimbulkan kegemparan di kalangan umat Islam. Monitor dianggap
melecehkan Nabi Muhammad, membangkitkan kembali sentimen suku, agama, dan ras.
Protes pun gencar dilancarkan pada Monitor, dari Majelis Ulama Indonesia hingga
organisasi-organisasi yang mengatasnamakan Islam, seperti Himpunan Mahasiswa
Islam (HMI) dan Pemuda Muhamadiyah. Hanya KH. Abdurrahman Wahid, satu-satunya
tokoh Islam yang berani berpendapat lain tentang kasus ini.
Dengan makin gencarnya protes
terhadap Monitor,
pemerintah melalui Menteri Penerangan Harmoko, Selasa 23 Oktober 1990
membatalkan surat ijin usaha penerbitan persnya. Tak lama, Persatuan Wartawan
Indonesia cabang Jakarta, mengeluarkan surat yang isinya memberhentikan Arswendo Atmowiloto dari
keanggotaan Persatuan Wartawan Indonesia (PWI) dan mencabut rekomendasi untuk
jabatan pemimpin redaksi, tidak hanya untuk Monitor tapi juga untuk majalah Hai.
Ia dianggap menyalahi kode etik jurnalistik sehingga
keanggotaan PWI-nya gugur. Dia pun otomatis tidak bisa menduduki jabatan
pemimpin redaksinya. Menurut aturan, dia masih berhak membela diri di dalam
kongres PWI, namun hal ini tidak berlaku bagi Arswendo Atmowiloto. (S.
Sinansari Ecip, Kode Etik dan Undang-undang Pers,
Berguna ataukah Percuma?, Jumat, 07 Februari
2003 dalam www.dewankehormatanpwi.com). Puncak dari peristiwa heboh angket itu, Arswendo Atmowiloto,
diadili dan dijatuhi hukuman penjara selama lima tahun.
Menghadapi
pembredelan itu, editorial Kompas 23 Oktober 1990, menyatakan, "Monitor memang telah
salah langkah dengan memuat hasil angketnya. Karena itu, kita pun menyesalkan
dan mengecamnya." Hal yang sama dinyatakan oleh Jakob Oetama, "Saya
sendiri menganggap tindakan itu sudah pantas ditimpakan pada Monitor." Lalu,
bagaimana tanggung jawab KKG sebagai induk dari Monitor?
"Monitor itu berdiri
sendiri dan jangan dikait-kaitkan dengan yang lain," tukas Polycarpus
Swantoro, yang saat itu menjabat wakil pemimpin umum Kompas dan salah
satu pemimpin KKG.
Mengenai
Arswendo Atmowiloto,
Oetama mengatakan "Saya sangat menyesalkan dia, sebagai pemimpin media tidak
bisa melihat efek dari apa yang ditulisnya. Padahal, dalam segala hal prinsip
dan sikap dasar kami hati-hati, tahu diri dan timbang rasa, terutama dalam
hal-hal yang menyangkut suku agama dan ras. Hal itu tampak dari isi surat kabar
dan semangat suratkabar yang selama ini saya asuh bersama rekan-rekan."
Tak lama kemudian, Arswendo
diberhentikan sebagai karyawan KKG.
3. Kasus
Saleh Situbondo
Kasus
ini bermula dari pernyataan sepele seorang pemuda lugu penjaga sebuah masjid di
Situbondo bernama Saleh (26). Meski sepele tapi kasus ini mempunyai dampak yang
luar biasa atas kehidupan beragama di Situbondo. Puluhan gereja dibakar sebagai
dampak kasus ini. Saleh sendiri akhirnya divonis lima tahun penjara dengan
tuduhan melakukan penodaan agama. Kasus ini terjadi pada 1996.
Saleh dilaporkan K.H. Achmad Zaini,
pimpinan pondok Nurul Hikam, yang juga tetangga Saleh di Kecamatan Kapongan, Situbondo. Kepada K.H. Zaini, Saleh menyatakan Allah adalah mahluk biasa dan K.H. As'ad Syamsul Arifin, pendiri
pondok pesantren Salafiyah Syafi’iyah, Situbondo,
dan ulama Nahdlatul Ulama yang amat dihormati, meninggal tidak sempurna, atau
dalam bahasa Madura disebut mate takacer.
Kronologisnya
cukup panjang. Menurut KH Achmad Sofyan, sebenarnya peristiwa yang berkenaan
dengan terdakwa Saleh adalah
peristiwa kecil. Dikatakan kecil, karena Saleh itu terhitung saudara sepupu KH Zaini Abdul Aziz pengasuh
pesantren Nurul Hikam, Kesambi Rampak, Kapongan. Keberadaan Saleh sendiri hanyalah sebagai tukang
kebun di Masjid Nurul Islam, Gebang, Kapongan. "Itu sebabnya, waktu Kiai
Zaini meminta PCNU Situbondo
melalui MWC NU Kapongan agar menuntut Saleh,
ya saya sarankan agar soal itu tak perlu dilanjutkan. Tapi Kiai Zaini rupanya
berkukuh memerkarakan Saleh ke
pengadilan," ujar Kiai Sofyan.
Ustadz H
Mohammad Romly, 43, Wakil Ketua PCNU Situbondo
menilai bahwa kasus Saleh
sebenarnya hanya kasus kecil. Saleh
sendiri, menurut Ustadz Romly, tidak pernah meresahkan masyarakat karena Saleh memang bukan orang terkenal.
Keresehan masyarakat, lanjut Ustadz Romly, justru disulut oleh KH Zaini Abdul
Aziz. "Sebab dalam setiap pengajian, Kiai Zaini selalu mengekspose
kesesatan ajaran yang diikuti Saleh.
Bahkan surat pernyataan yang dibuat Saleh
yang menyatakan bahwa KH As'ad meninggal tidak baik, difotokopi oleh Kiai Zaini
dan disebarluaskan. Anehnya, surat pernyataan yang difotokopi dan disebarkan
itu bentuk tulisannya tidak sama dengan tulisan Saleh," ujar Ustadz Romly.
Dalam
usaha menjatuhkan Saleh, ungkap
Ustadz Romly, KH Zaini Abdul Aziz telah meminta kepada MWC-NU Kapongan agar
melapor ke Polsek Kapongan. Melalui surat bernomor O9/MWC/V/1996 tertanggal 7
Mei 1996, Ketua MWC-NU Kapongan H Saiful Abrori dan Sekretarisnya H Samsuddin
meminta Kapolsek Kapongan agar menangani kasus Saleh secara serius sesuai hukum yang berlaku. "Tapi entah
disengaja atau tidak, stempel yang digunakan pada surat itu keliru menggunakan
stempel lama yang sudah tidak berlaku," ungkap Romly.
Tanggal
14 Mei 1996, ungkap Ustadz Romly, para pengurus NU Situbondo membahas surat dari MWC-NU Kapongan itu di kantor PCNU.
Rapat dipimpin langsung oleh KH Achmad Solyan, Ketua Syuriah. Hasil rapat
diputuskan, bahwa masalah Saleh
tidak perlu dibesar-besarkan. Sebab Saleh
masih tergolong anak-anak dan belum berkeluarga. Di samping itu, Saleh juga bukan orang yang
berpengarah. Pekerjaan sehari-hari Saleh
adalah sebagai penjaga Masjid Nurul Islam di Gebang, Kapongan.
"Waktu itu Kiai Sofyan malah mengusulkan agar Saleh dititipkan saja sebagai tahanan di kepolisian selama 3 atau
4 bulan agar jera. Tapi pada prinsipnya Kiai Sofyan dan seluruh pengurus PCNU Situbondo tidak setuju jika kasus itu
dilanjutkan ke pengadilan," ujur Ustadz Romly.
Pada
saat bertemu dengan KH Zaini Abdul Aziz, ungkap Ustadz Romly, ia dimintai
penjelasan mengenai hasil rapat di PCNU. Dengan apa adanya, lanjut Ustadz
Romly, ia menjelaskan alasan PCNU untuk tidak menyetujui dibawanya kasus Saleh itu ke pengadilan. Malah melalui
H Fatchurasyid juga diungkapkan jika Komandan Kodim 0823 yaitu Letkol Imam
Prawato tidak menghendaki kasus itu dilanjutkan ke pengadilan. "Tapi Kiai
Zaini bilang kalau dia akan memperbarui gugatan. Saya waktu itu hanya menjawab
ya terserah saja kalau kemauan kiai begitu. Dan sesudah itu pengurus PCNU tidak
mengikuti lagi masalah tersebut," ujar Ustadz Romly.
Mursawi
Z.A, 46, Sekretaris LP Ma'arif Situbondo
menuturkan bahwa niat KH Zaini Abdul Aziz untuk menuntut Saleh ke pangadilan sebenarnya juga
sudah diingatkan oleh Habib Abdurrachman Alkaf, putera Habib Achmad Alkaf
(almarhum). Habib Abdurrachman Alkaf, ungkap Mursawi, waktu itu sudah memohon
agar kasus Saleh itu tidak perlu
dibawa ke pengadilan. Tapi Kiai Zaini tidak mau. Ia tetap berkukuh menuntut Saleh ke pengadilan. “Selama proses
peradilan berlangsung, saya sering berjumpa dengan pengikut Kiai Zaini dari
berbagai tempat di Besuki. Pengikut Kiai Zaini dari desa Bungatan, Buduan,
Mlandingan, dan Besuki menyapa saya dan saya sapa balik," ujar Mursawi.
Soal
pernyataan Saleh yang
menandaskan bahwa KH As'ad Syamsul Arifin mati tidak baik, ungkap Mursawi,
diperoleh Saleh dari seorang
Madura yang tak dikenalnya. Ucapan itu kemudian didengar KH Zaini Abdul Aziz
dan Saleh diminta untuk membuat
pernyataan tertulis tentang pernyataannya itu. Pada saat surat tulisan Saleh itu diedarkan oleh Kiai Zaini, Saleh dipanggil oleh Habib
Abdurrachman Alkaf. "Waktu itu Saleh
dimarahi Habib Abdurrachman dan disuruh meminta lagi surat pernyataannya itu
kepada Kiai Zaini. Tapi Kiai Zaini tidak memberikan malah memfotokopi dan
menyebarluaskan. Namun setahu saya, keluarga Kiai As'ad tidak ada yang
terpancing emosi oleh surat itu," ujarnya.
KH
Kholil As’ad, pengasuh Pondak Pesantren Walisongo menuturkan bahwa seseorang
tak dikenal telah memberikan fotokopi surat pangakuan Saleh itu kepadanya. "Tapi saya tidak menghiraukannya. Bahkan
saat Saleh disidang karena
suratnya itu, saya tidak tahu-menahu. Baru pada sidang Saleh yang ke-4 saya tahu kalau anak itu diadili. Itupun setelah
ada petugas yang datang meminta bantuan agar saya ikut mengamankan
sidang," ujar kiai muda yang dikenal sebagai guru ilmu tasauf itu (Laporan
Tim Pencari Fakta GP Ansor Jatim, 1996).
Dalam
sidang keempat kasus itu, 3 Oktober
1996, Saleh membantah
tuduhan menodai agama Islam. "Saya datang hanya untuk musyawarah dan saya
ingin tahu tanggapan Kiai Zaini, apakah pendapat saya betul atau tidak,"
kata lulusan SMAN II Situbondo
itu. Massa yang antara lain datang dari Besuki, Panarukan, dan Asembagus yang
mencapai 1.000 orang itu marah. Hadir pula dalam sidang itu Ny. Aisyah, putri Kiai As'ad yang
duduk dengan kaki diangkat ke kursi. Aisyah, yang biasa dipanggil Nisa itu,
tampak marah dan meremas-remas rokok Gudang Garam, serta menyalakan korek api
sampai habis satu kotak. Ia tak menggubris, meskipun sudah diperingatkan
petugas.
Seusai
sidang teriakan "Bunuh Saleh"
pun terdengar. Massa berusaha mengeroyok Saleh, tapi diamankan puluhan petugas dengan memasukkannya ke
tahanan PN Situbondo. Massa yang
sudah kalap merusak pintu dan jendela tahanan. Sekitar 10 orang membongkar
genteng, jendela plafon, dan berhasil menghajar Saleh dalam selnya. Tindakan ini bisa dihentikan dengan bantuan
Ny. Aisyah. Tapi, massa yang ada di luar tahanan tak mau beranjak. Mereka
menuntut Saleh dihukum mati dan
mereka yang akan mengeksekusinya. Teriakan Kapolres Situbondo, Letkol Endro
Agung, sudah tak didengar. Baru setelah Ny. Aisyah berteriak-teriak
lewat megaphone mengajak pulang, massa pun bubar. Saleh diantar ke rutan dalam satu mobil bersama Ny. Aisyah.
"Saya sudah tidak dendam pada Saleh,"
kata Nisa.
Dalam sidang
ke lima, 10 Oktober 1996, Saleh
yang dijaga oleh 100 orang aparat dari komando distrik militer (kodim) sudah
sampai pada tuntutan jaksa. Hadir pula ribuan pengunjung dari luar kota.
Mayoritas adalah Madura pendalungan (pendatang) yang beragama Islam dan jemaah
NU. Kabar akan adanya sidang Saleh
mereka dengar dari mulut ke mulut. Tapi ada sumber yang menyebutkan bahwa K.H.
Zaini yang telah memfotokopi undangan dari PN itu. Selama sidang, massa tetap
tenang. Jaksa menuntut Saleh
hukuman 5 tahun penjara, sesuai dengan Pasal 156 (a) KUHP tentang Penodaan
Agama.
Tindakan
brutal baru terjadi seusai sidang. Sebagian massa yang tak puas dengan tuntutan
jaksa, dan ingin Saleh dihukum
mati, mulai melempari gedung pengadilan dengan batu. Suasana jadi kacau.
Seorang petugas Kodim terkena lemparan batu. Teriakan peringatan Komandan
Kodim, Letkol Imam Prawoto, tidak digubris. Batu-batu terus berjatuhan, setelah
ada aparat yang membalas aksi massa itu. Karena terdesak, aparat masuk ke dalam
gedung. Massa yang sudah kalap terus mengamuk. Aparat dan para hakim, termasuk Erman Tanri, ketua PN Situbondo yang keningnya luka kena
lemparan batu, melarikan diri lewat sungai di belakang gedung PN. Saleh pun diselamatkan ke arah
belakang.
Entah
siapa yang menyulut, ada massa yang berteriak bahwa Saleh dilarikan ke Gereja Bukit Sion yang terletak sekitar 200
meter sebelah barat gedung PN. Isu bahwa hakim yang mengadili ada yang beragama
Kristen pun merebak. "Padahal, 3 hakim dan jaksa yang mengadili Saleh, semua beragama Islam,"
kata Erman Tanri. Massa yang marah kemudian membakar mobil di depan gedung PN
milik kejaksaan dan anggota Polres, serta sebuah sepeda motor. Pesawat televisi
pun dibakar. Akhirnya, gedung PN pun membara. Massa pun bergerak ke Gereja
Bukit Sion. Berbekal bensin dari pom bensin di depan gereja dan dari
kendaraan-kendaraan bermotor yang dihentikan, mereka membakar gereja setelah
lebih dulu menguras isinya.
Mereka
dengan aksinya ini pun lalu mencari sasaran lainnya. Gereja Protestan Indonesia
Barat (GPIB) yang terletak di sebelah Polres akan jadi sasaran berikutnya. Tapi
pembakaran gagal karena dicegah oleh petugas anti huru-hara. Hanya pagar dan
papan nama gereja saja yang sempat dirusak. Karena diblokir, massa pun kemudian
bergerak ke Jalan W.R. Supratmam. Mereka membakar bangunan SD dan SMP Katholik
dan Gereja Maria Bintang Samudra. Gereja Kristen Jawi Wetan (GKJW) dan gedung
TK/SD/SMP Kristen Imanuel jadi sasaran berikutnya. "Untung murid-murid
sudah kami pulangkan. Kalau tidak, wah, ngeri saya membayangkannya." kata
seorang guru SMPK.
Massa
bergerak lagi ke arah timur. Gereja Pantekosta dan Gereja Bethel Injil Sepenuh
(GBIS) di Jalan A. Yani turut pula menjadi sasaran amukan massa. Tak hanya
gereja dan bangunan sekolah Kristen saja yang diincar, rumah makan Malang dan
pertokoan Tanjungsari pun tak luput dari perusakan. Malapetaka juga terjadi
pada sasaran berikutnya, yaitu rumah pendeta dan Gereja Pantekosta Pusat
Surabaya (GPPS) Bahtera Kasih. Di dalam rumah itu tinggal pendeta Ishak Kristian, 71 tahun, isterinya Ribka Lena, 68 tahun, dan anaknya Elisabeth Kristian 23 tahun. Juga
keponakannya, Nova Samuel dan Rita Karyawati, yang sedang magang
pendeta di sana. Mereka tak berani keluar dan akhirnya terbakar di dalam rumah.
Secara
lebih lengkapnya, gereja yang dirusak adalah sebagai berikut:
1.Gereja Bethel
Indonesia/GBI Bukit Sion (di bakar)
2.Gereja Pantekosta di Indonesia /GPdI (di hancurkan)
3.Gereja Bethel Injili Sepenuh/GBIS (di bakar)
4.Gereja Sidang Jemaat Pantekosta/GSJP (di bakar)
5.Gereja Kristen Jawi Wetan/GKJW (di bakar)
6.Gereja Pantekosta Pusat Surabaya/GPPS (di bakar)
7.Gereja Protestan Indonesia Barat/GPIB (dihancurkan)
8.Gereja Katolik (di bakar), Panarukan
9.Gereja Katolik (dibakar)
10.Gereja Pantekosta di Indonesia/GPdI (di bakar), Wonorejo
11.Gereja Pantekosta di Indonesia/GPdI (di rusak)
12.Gereja Kristen Jawi Wetan/GKJW (di bakar)
13.Gereja Bethel Tabernakel/GBT (di bakar),
14.Gereja Katolik (di rusak), Asembagus
15.Gereja Bethel Injili Sepenuh/GBIS (di bakar)
16.Gereja Pantekosta di Indonesia/GPdI (di rusak)
17.Gereja Katolik (di bakar), Besuki
18.Gereja Pantekosta di Indonesia/GPdI (dirusak)
19.Gereja Bethel Injili Sepenuh/GBIS (dirusak)
20.Gereja Kristen Jawi Wetan/GKJW (dirusak)
21.Gereja Katolik (di rusak), Ranurejo
22.Gereja Kristen Jawi Wetan/GKJW (Induk) di bakar
23.Greja Kristen Jawi Wetan/GKJW (cabang) di bakar
24.Gereja Kristus Tuhan /GKT (di bakar).
2.Gereja Pantekosta di Indonesia /GPdI (di hancurkan)
3.Gereja Bethel Injili Sepenuh/GBIS (di bakar)
4.Gereja Sidang Jemaat Pantekosta/GSJP (di bakar)
5.Gereja Kristen Jawi Wetan/GKJW (di bakar)
6.Gereja Pantekosta Pusat Surabaya/GPPS (di bakar)
7.Gereja Protestan Indonesia Barat/GPIB (dihancurkan)
8.Gereja Katolik (di bakar), Panarukan
9.Gereja Katolik (dibakar)
10.Gereja Pantekosta di Indonesia/GPdI (di bakar), Wonorejo
11.Gereja Pantekosta di Indonesia/GPdI (di rusak)
12.Gereja Kristen Jawi Wetan/GKJW (di bakar)
13.Gereja Bethel Tabernakel/GBT (di bakar),
14.Gereja Katolik (di rusak), Asembagus
15.Gereja Bethel Injili Sepenuh/GBIS (di bakar)
16.Gereja Pantekosta di Indonesia/GPdI (di rusak)
17.Gereja Katolik (di bakar), Besuki
18.Gereja Pantekosta di Indonesia/GPdI (dirusak)
19.Gereja Bethel Injili Sepenuh/GBIS (dirusak)
20.Gereja Kristen Jawi Wetan/GKJW (dirusak)
21.Gereja Katolik (di rusak), Ranurejo
22.Gereja Kristen Jawi Wetan/GKJW (Induk) di bakar
23.Greja Kristen Jawi Wetan/GKJW (cabang) di bakar
24.Gereja Kristus Tuhan /GKT (di bakar).
Menurut Sanidin, ketua RT
O3/O03 Kampung Mimba'an, Desa Panji, yang rumahnya bersebelahan dengan GPPS,
ketika gereja itu dibakar masyarakat tidak ada yang bisa melakukan pertolongan.
Bahkan, ketika Sanidin berusaha menyiramkan air ke api yang hampir membakar
rumahnya, ia di marahi massa.
Tapi, Sanidin berkilah bahwa ia menyirami rumahnya sendiri. Sebenarnya, ketika
GPPS terbakar, ada 10 orang di dalamnya. Namun, dua pembantu bisa menyelamatkan
diri dengan naik ke atap dan meluncur ke rumah tetangga lewat pipa. Walaupun
salah satu lengan pembantu ini terbakar tapi jiwanya selamat. Sanidin menduga
pendeta Ishak yang dikenal sebagai orang baik semasa hidupnya itu, tidak bisa
menyelamatkan diri karena berusaha melindungi isterinya yang lumpuh karena
rematik.
Saat
itu tak ada seorang petugas pun yang bisa mencegah kebrutalan massa. Massa
malah ikut mengajak para pelajar SMEA yang letaknya di depan GPPS ini untuk
membakar gereja. "Kalau kalian santri, ayo, ikut bakar gereja," kata
seorang diantaranya. Tapi, para pelajar itu tak menurutinya.
Sanidin
tidak tahu massa itu berasal dari mana. "Saya tak kenal mereka,"
ujarnya. Warga kota santri itu pun
melihat banyak-nya massa yang berbicara dengan logat bukan khas Situbondo.
Bahkan dilaporkan, saat kejadian begitu banyak kendaraan bermotor yang bernomor
polisi dari luar Situbondo (Kompas, 1 Pebruari 1997)
Setelah
membakar gereja, sebagian massa naik ke 3 truk menuju ke arah timur. Mereka
diduga menuju Asembagus. Lainnya menyebar ke JalanArgopuro dan membakar salah
satu rumah pendeta yang juga dijadikan gereja. Massa masih bergerak menuju
pertokoan Mimbaan Baru di depan terminal Situbondo. Selain rumah bilyar, mereka juga merusak gedung
bioskop.
Ketika
merusak pertokoan itulah, satu kompi senapan batalyon infantri 514 datang.
Petugas langsung memukuli dan mengangkut orang yang dianggap sebagai biang
kerusuhan. Tindakan para petugas itu membuat massa lari tunggang langgang.
Sebagian lari ke Gang Karisma, dan masih sempat-sempatnya membakar rumah anak
yatim di bawah asuhan Yayasan Buah Hati. Sebagian massa lainnya lari ke Jalan
Jaksa Agung Suprapto dan di sana mereka membakar TK Santa Theresia dan sebuah
susteran. Tragedi Situbondo itu
baru benar-benar berhenti pada pukul 15.00.
Namun,
aksi massa menjalar ke daerah sekitarnya. Di Asembagus dan Besuki, yang
jaraknya lebih dari 30 kilometer ke arah timur Situbondo, mereka membakar 3 gereja, sedang di Kecamatan
Banyuputih ada 6 gereja dan sebuah rumah pendeta yang dibumihanguskan. Massa
juga bergerak ke arah barat. Sejak pukul 15.00 sampai Magrib, massa beraksi di
Panarukan, 6 kilometer dari Situbondo
dan membakar 2 gereja. Dari sana, mereka bergerak ke Besuki yang jaraknya
hampir 30 kilometer dari Situbondo
dan membakar 2 gereja, sebuah klenteng, serta merusak sebuah toko di alun-alun.
Aksi bakar hangus ini baru benar-benar reda pada pukul 23.00.
Aparat
keamanan dari lokasi seputar kerusuhan baru berdatangan ke Situbondo menjelang Magrib. Malam itu
120 orang ditangkap dan diseleksi menjadi 46 orang. Dari jumlah sekian, 11
diantaranya pelajar dari STM, SMA, dan SMEA Ibrahimi yang ketua yayasannya
dipegang oleh K.H. Fawaid, salah
satu putra K.H. As'ad. "Kami pengurus sekolah merasa malu pada masyarakat
dan pengasuh pondok, tapi mereka hanya ikut-ikutan," kata seorang guru.
Selain pelajar, juga ditahan sejumlah santri dari pondok Wali Songo, Mimbaan
dan "anjal" alias anak jalanan, sebuah perkumpulan bekas preman yang
dibina oleh K.H. Cholil, juga
salah satu putra K.H. As'ad.
Malam itu diadakan
pertemuan antara Kasdam Brawijaya Brigjen Muchdi. kapolwil Besuki, Danrem Malang, Muspida Situbondo, dan para ulama. Kepala staf
daerah militer meminta ulama untuk menenangkan suasana. Pertemuan serupa
diadakan oleh Pangdam Imam Oetomo pada keesokan harinya. "Semua
pelaku akan diusut tuntas," janji Imam Oetomo (www.tempointeraktif.com, 19 Oktober 1996).
4. Kasus
Mas’ud Simanungkalit
Masud Simanungkalit, 50 tahun,
adalah mantan wartawan Harian Angkatan Bersenjata yang kemudian berprofesi
sebagai karyawan di Otorita Batam. Rabu (24/03/05) dia divonis tiga tahun
penjara di Pengadilan Negeri Batam, Kepulauan Riau. Masud, menurut Ketua
Majelis Hakim Janatul Firdaus, bersalah karena telah salah menafsirkan al-Quran.
Masud menerbitkan buku berjudul
"Kutemukan Kebenaran Sejati dalam al-Qur’an". Dalam Buku setebal 25
halaman itu, Masud menyelewengkan dua kalimat syahadat, dari asyhadu Anla
ilaha ilallah wa asyhadu anna Muhammadan Rusullah diubah menjadi asyhadu
anla ilaha ilallah wa asyhadu anna Isa Mahdiyah Ruhullah Wakalimatullah.
Selain itu dalam tafsir itu Masud menyebutkan Allah Bapak di Surga. "Dalam
Islam itu tidak ada," kata Hakim Janatul. Dalam buku yang disebarluaskan
atas nama Yayasan al- Hanif, menurut hakim, Masud menafsirkan secara salah
surat Yasin.
Lebih lengkapnya dikemukakan oleh
Ja’far Usman al-Qari
Pengurus Masjid Raya Batam Center, Sekretaris Eksekutif MUI Batam. Menurutnya, di halaman 10 buku tersebut misalnya, Simanungkalit membuat sebuah statemen persaksian yang dalam Islam dikenal dengan syahadat. Sebagai kesimpulannya dalam memahami yang sekaligus menyalahgunakan firman Allah SWT yang terdapat dalam QS. al-Nisa’ ayat 171, 172, 173; Ali Imran ayat 45; al-Zuhruf ayat 61; Maryam ayat 17, 19, 20, 21; Lukman ayat 34; al-Tin ayat 8; dan al-Nas ayat 1. Dari pemahaman ayat-ayat tersebut Masud menciptakan sebuah syahadat bagi alirannya (Islam al-Hanif) yang berbunyi: ”Asyhadu anla Ilaha Illallah wa asyhadu anna Isa Mahdiyah Ruhullah Wakalimatullah” yang artinya: Saya bersaksi tidak ada Tuhan selain Allah dan saya bersaksi bahwa Isa adalah Ruh dan Firman Allah.
Pengurus Masjid Raya Batam Center, Sekretaris Eksekutif MUI Batam. Menurutnya, di halaman 10 buku tersebut misalnya, Simanungkalit membuat sebuah statemen persaksian yang dalam Islam dikenal dengan syahadat. Sebagai kesimpulannya dalam memahami yang sekaligus menyalahgunakan firman Allah SWT yang terdapat dalam QS. al-Nisa’ ayat 171, 172, 173; Ali Imran ayat 45; al-Zuhruf ayat 61; Maryam ayat 17, 19, 20, 21; Lukman ayat 34; al-Tin ayat 8; dan al-Nas ayat 1. Dari pemahaman ayat-ayat tersebut Masud menciptakan sebuah syahadat bagi alirannya (Islam al-Hanif) yang berbunyi: ”Asyhadu anla Ilaha Illallah wa asyhadu anna Isa Mahdiyah Ruhullah Wakalimatullah” yang artinya: Saya bersaksi tidak ada Tuhan selain Allah dan saya bersaksi bahwa Isa adalah Ruh dan Firman Allah.
Dalam telaah yang dilakukan Drs H
Masrum M Noor MH.terhadap buku tersebut bahwa di halaman 7, Simanungkalit juga
memberikan tanggapannya terhadap paham Trinitas dengan mendasarkan pendapatnya
pada dasar yang tidak tepat, yaitu menggunakan QS. al-Maidah ayat 72 dan 73
yang tidak bercerita tentang hal tersebut. Dan pada halaman 12 buku itu,
Simanungkalit menyatakan bahwa umat Islam al-Hanif melakukan salat berjamaah
atau ibadah pada hari Sabtu dan mejadikan QS. al-Nahl: 124; al-Nisa:47, 154; al-A’raf:
163; dan al-Baqarah: 65, 66 sebagai dasarnya. Ini adalah pemerkosaan pemahaman
ayat yang sangat bodoh dan pengecut. Karena Simanungkalit dalam penjelasannya
dengan sengaja membuang bagian ayat yang menjelaskan bahwa ayat-ayat tersebut
adalah memang menerangkan tentang kondisi Bani Israil dan Yahudi. Maka
semestinya Simanungkalit sportif untuk tidak menyebutnya sebagai cara ibadah
umat Islam al-Hanif. (www.harianbatampos.com,
24/09/05).
Menafsirkan al-Qur'an, kitab suci
umat Islam, menurut Hakim Jannatul, tak bisa dilakukan sembarang orang. Apalagi
penafsiran itu dijadikan buku guna disebarluaskan. Sebab bisa memicu kemarahan
umat dan berujung permusuhan antar umat beragama. Majelis Hakim menilai Masud
telah melanggar pasal 156a huruf a jo pasal 55 ayat 1 ke 1 KUHP tentang penodaan
agama."Masud Simanungkalit dengan sengaja melakukan perbuatannya serta
tidak sedikitpun merasa menyesal atas perbuatannya," kata Hakim Jannatul.
Memang terdakwa sempat mengirim
surat permintaan maaf kepada Majelis Ulama Indonesia (MUI) Kota Batam. Namun tak
sedikitpun merasa bersalah. Bahkan dalam surat tersebut Masud minta agar MUI
menyetujui Islam al-Hanif yang didirikannya.
Ashari Abbas, Ketua MUI Batam
menyatakan, putusan hakim itu cukup bagus dan memuaskan. Sebab,
sepengetahuannya, Masud Simanungkalit bukan beragama Islam. Dalam persidangan
terdakwa mengaku masuk agama Islam setahun yang lalu. "Orang beragama
Islam saja belum tentu bisa menafsirkan al-Qur'an, apalagi agama lain,"
kata Ashari (www.tempointeraktif.com,
24/03/05).
5. Kasus Sekte Pondok Nabi
Kasus ini terjadi di
lingkungan agama Protestan. Korbanya adalah Mangapin Sibuea, 59 tahun, pimpinan sekte ‘Pondok Nabi’
di Bandung. Mangapin Sibuea dijatuhi hukuman dua tahun penjara dengan tuduhan melanggar
pasal 156a KUHP tentang tindak pidana bersifat permusuhan, penyalahgunaan atau
penodaan terhadap suatu agama yang dianut di Indonesia oleh Pengadilan Negeri
Bale Endah, Bandung, Jawa Barat (www.tempointeraktif.com, 8 April
2004).
Vonis penjara
dengan potongan masa tahanan itu dibacakan Ketua Majelis Hakim Sir Johan, didampingi hakim anggota, Dwi Sugiarto dan DS Dewi, Selasa 6/4/2004. Selain vonis
penjara, hakim memutuskan bahwa barang bukti berupa tiga keping VCD berisi
rekaman khotbah Mangapin dan sebuah buku berjudul ‘Kiamat Dunia Akan Segera
Terjadi’ disita (Kompas Cyber Media, 7 April 2004).
Sebanyak 283 anggota jemaat sekte
yang sedang menunggu kiamat di rumah peribadatan mereka dipimpin pendeta Mangapin
Sibuea di Jalan Siliwangi, Bale Endah, Kabupaten Bandung, Senin (10/11/03).
Namun, mereka kemudian dievakuasi aparat Kepolisian Resor Bandung. Ini
dilakukan menyusul protes warga sekitarnya. Selain itu, ada kekhawatiran para
anggota jemaat yang di dalamnya banyak anak-anak akan melakukan upaya bunuh
diri.
Sebelumnya,
suasana di Bale Endah pada petang hari menjelang pukul 15.00 memang kurang
kondusif, dengan berkumpulnya puluhan warga masyarakat yang umumnya keberatan
tentang adanya aktivitas jemaat di sekitar lingkungan mereka itu. Dari dalam
rumah ibadah Pondok
Nabi yang berlantai dua itu sendiri terdengar nyanyian dan tangis jemaat.
Pada pukul
15.30, aparat Bimbingan Masyarakat Polres Bandung memutuskan mengevakuasi
jemaat Pondok Nabi
ke Gereja Bethel Tabernakel di Jalan Lengkong Besar, Bandung, dengan
menggunakan mobil pengendalian massa (dalmas). Evakuasi ke gereja itu atas
petunjuk Dewan Gereja Jawa Barat, agar jemaat itu bisa dibina kembali.
Jemaat Pondok Nabi tersebut dievakuasi dengan
didampingi Tim Crisis Center Forum Komunikasi Kristen (TCC FKK) Jawa Barat. Acara
pengangkatan dengan berkumpul di Pondok Nabi, memang gagal. Tapi dia mengelak
kalau pengangkatan urung terjadi, lantaran aparat polisi dan pihak Crisis
Center Forum Komunikasi Kristen Indonesia (FKKI) menghentikan acara tersebut.
“Ditengah-tengah acara Pendeta
Simon Timorason masuk,” kata Sibuea. Pendeta Simon Timorason adalah Ketua Crisis
Center FKKI Jawa Barat. FKKI tergolong menentang dan menganggap Sibuea sesat (www.tempointeraktif.com,
12 November 2003).
Sibuea kemudian diperiksa dan
ditahan. 13 tersangka yang lain juga diperiksa selama dua hari lalu ditahan di
Markas Polres Bandung. Mereka adalah Michael Timotius, Ester Sinaga, Andreas,
Ferry, Charles, Brijones, Marthen, Josep Hasian, Ery Indiardi, Yohanes, Daniel
Kale, Yani Batuwael, dan Sela. Mereka juga masih menjalani pemeriksaan. Sebelas
dari mereka bertindak sebagai rasul dan seorang selaku nabiah (nabi perempuan).
Sedangkan 21 pengurus sekte kiamat pimpinan pendeta Mangapin Sibuea lain hingga
kini masih diperiksa intensif. Mereka semua perempuan dan 14 di antaranya
adalah nabiah (www.liputan6.com, 12/11/2003).
Pada proses berikutnya, Mangapin
yang diduga menyebarkan aliran
sesat kepada para jemaatnya, dituntut tiga tahun penjara oleh Jaksa Penuntut
Umum (JPU) Hutagaol, SH., dalam sidang pembacaan tuntutan di PN Bale Bandung.
Sidang dipimpin majelis hakim yang diketuai Sir Johan, SH dengan dua anggotanya Eddy Pangaribuan, SH., serta Bachtiar Sitompul, SH.
ia
dituntut telah melakukan tidak pidana penodaan agama secara berulang kali
sebagaimana diatur dalam pasal 156a KUHP. Penodaan agama tersebut dilakukan
terdakwa sekitar Mei 2002-Januari 2003 lalu di tempat tinggalnya di RT 02
RW.08, Kel. Baleendah Kec. Baleendah, Kab. Bandung. Sibuea dengan sengaja di
muka umum melakukan perbuatan bersifat permusuhan, penyalahgunaan atau penodaan
agama yang dianut di Indonesia.
Yang dianggap
lebih menyesatkan lagi, Mangapin meyakini bahwa pada 10 November 2003 dunia
akan kiamat. Ia meyakini hal itu melalui suara langsung yang didengar dari
Tuhan ke telinganya setelahnya berpuasa selama tujuh hari tujuh malam. Di bulan
Mei 2002, Mangapin telah merekam ajarannya dalam sebuah VCD kemudian
disampaikan kepada para jemaatnya. Dalam rekaman itu terdakwa mengatakan bahwa
pendeta-pendeta Kristen adalah nabi-nabi palsu yang tempatnya di neraka dan
menyebutkan baptisan di luar kebenaran al-Kitab.
Pembelanya,
Habel, menyatakan, tidak realistis. Karena di persidangan tidak ditemui
unsur-unsur penodaan agama yang dilakukan kliennya. Bahkan, tidak ada tindak
provokasi terhadap agama lain serta melakukan paksaan terhadap para jemaatnya
untuk mengikuti ajarannya. Justru dalam Surat Penetapan Presiden (PNPS) No.
1/1965, yang dimaksud penodaan agama jika satu kegiatan agama tertentu telah
memprovokasi agama lain. (Pikiran Rakyat, 10 Maret 2004)
Pembacaan vonis yang
memakan waktu hampir satu setengah jam itu berjalan tenang. Hanya
sekali Managapin menunjukkan perasaannya dengan bertepuk tangan, tatkala
mendengar tuduhan yang dibacakan hakim anggota. Terhadap putusan itu, Mangapin
menyatakan banding, dan menunjuk pengacara baru, yakni Djonggi M. Simorangkir.
Kepada wartawan, Mangapin menyatakan, dirinya tidak pernah berpendapat bahwa kiamat
dunia terjadi pada 10 November 2003 ditandai dengan lenyapnya langit dan bumi,
serta binasanya semua manusia. "Itu persepsi orang lain yang dikenakan
kepada kami, lalu dituntut di pengadilan," katanya. Lalu, ia mengungkap kiamat
versi dirinya. "Kiamat itu berarti, kami sudah kiamat, sudah tidak bisa
berbuat dosa lagi. Sebab, kami sudah dikuasai oleh roh dari Allah," kata
Sibuea.
Di
tempat yang sama, Djonggi menyatakan pihaknya akan mengajukan banding karena
persidangan terhadap Mangapin berbeda dengan persidangan 12 rasul pengikut
Mangapin yang juga ia dampingi. Sekadar contoh, di persidangan, ia sudah
memeriksa saksi Jhon Madris Nainggolan (Bimbingan Masyarakat Kristen, Depag
Jawa Barat) dan Lumban Tobing (Sekretaris Umum PGI Wilayah Jawa Barat).
Ternyata, keduanya mengaku tidak ada yang dirugikan. Selain itu, ia juga
keberatan jika pernyataan Mangapin disebut menodai agama. "Kalaupun
penjabaran al-Kitab (yang dilakukan Mangapin) tidak benar, itu upahnya hanya
dosa dari Tuhan, bukan dari pemerintah," ujarnya, dengan nada tinggi.
Ditahan di Rutan Kelas I Kebon Waru,
Bandung, Mangapin tetap yakin bahwa tanggal 10 November terjadi pengangkatan
dan para jemaat telah dimurnikan Tuhan. Ia
juga "meralat" keyakinan sebelumnya soal kiamat 10 November
2003 menjadi 11 November 2007 (KCM, 13/11/2003). Esoknya, tepat
tanggal 14/11/2003, sekitar pukul 13:00 WIB, ratusan warga sekitar
menghancurkan ‘Pondok Nabi’ Jalan Siliwangi 75
Baleendah --tempat pendeta itu mengajarkan ajarannya kepada sekitar 284 jamaah.
Selain merobohkan pagar pondok, warga juga menjebol pintu
pondok lalu merobek-robek seluruh dokumen Mangapin maupun buku-buku berisi
ajarannya yang masih tersisa di sana. Akibatnya sepenggal jalan Siliwangi penuh
sobekan kertas di antaranya berisi penafsiran Mangapin dalam Alkitab tentang
datangnya hari kiamat 10 November 2003.
Warga
juga merusak tempat tinggal Mangapin di jalan yang sama nomor 55. Namun,
kerusakan di rumah ini tidak separah di ‘Pondok Nabi’ karena keburu petugas dari Polsek Baleendah datang ke
lokasi. Setelah merobohkan pagar pondok, warga beramai-ramai menempeli kertas
karton bertuliskan kecaman-kecaman terhadap Mangapin. Tulisan itu, di antaranya
"jangan kotori RW 10 dengan ajaran sesat", "jangan kotori kami
dengan ajaran setan". Tulisan lain, yakni "bongkar bangunan Pondok Nabi".
Sekadar
tahu saja, RW 10 yang dimaksud dalam tulisan itu adalah wilayah pondok itu
berada, tepatnya kampung Sibolga RW 10 Kelurahan Baleendah. "Bangunan ini
(Pondok Nabi) harus
dirobohkan, karena memang juga belum punya izin bangunan (IMB)," kata
seorang tokoh warga RW 10. Bukan hanya menempelkan kertas bertuliskan kecaman
terhadap Mangapin. Sebagian warga juga menorehkan kecaman dengan cat pilok di
dinding ruang utama ‘Pondok
Nabi’--ruang bekas 284 jamaah Mangapin menggelar ritual menunggu
datangnya kiamat 10 November. Tulisan cat pilok itu, di antaranya berbunyi
"Mangapin Setan", Mangapin Penyebar Ajaran Sesat", dan lainnya (Banjarmasin
Post, 15/11/05).
Sumber yang dihimpun di lapangan
menyebutkan, ratusan warga yang meluapkan kekesalan mereka terhadap Mangapin
itu terjadi secara mendadak. "Mereka datang satu per satu, lalu tidak lama
kemudian menjadi kumpulan massa. Kejadiannya tidak lama, kurang dari seperempat
jam," tutur Erma, warga yang rumahnya berdampingan dengan ‘Pondok Nabi’.
Pada
proses selanjutnya, pihak Mangapin menuntut balik. Menurut Habel Rumbiak, sang
pengacara, tindakan FKKI dianggap telah mendeskriditkan banyak pihak di
kelompok pondok nabi, pribadi dan keluarga Managapin. Dugaan adanya unsur
fitnah pun ditujukan kepada Simon dan FKKI dalam tiap pernyataannya. Secara
organisasi, FKKI akan dituntut secara perdata. "Untuk tuntutan yang satu
lagi, kita akan mengajukan pasal 310, 311 tentang pasal penghinaan KUHP
pidana," kata Habel.
Menanggapi
itu, Pendeta Simon
mengaku tidak gentar. Karena apa yang dilakukannya adalah gerakan kemanusiaan.
"Bayangkan, kalau waktu itu mereka bunuh diri massal?,” kata Simon.
Ketidak-gentaran Simon ditunjukkannya dengan dukungan pengacara dari Persatuan
Gereja Indonesia Wilayah (PGIW) Jawa Barat, Gerakan Angkatan Muda Kristen
(Gamki) dan lainnya.
Simon
juga membantah dirinya melakukan penghinaan terhadap Mangapin. Karena apa yang
dilakukan FKKI adalah mengevakuasi. "FKKI khawatir massa stress, lalu
terjadi bunuh diri atau mati massal," kata Simon. Simon justru menyesalkan
sikap pengacara yang hanya memikirkan Sibuea. "Pikirkan dong nasib ratusan
jemaatnya," katanya. Dicontohkannya, para jemaat kesulitan biaya untuk
pulang kampung, lantaran harta benda sudah dijual demi Mangapin (www.tempointeraktif.com, 20 November 2003).
Sekedar
informasi, Managapin dilahirkan di Tapanuli, 17 Oktober 1944. Ia menamatkan
pendidikan sekolah dasar, sekolah lanjutan tingkat pertama, sampai sekolah
kejuruan (STM) di Pematang Siantar, Sumatera Utara. Dari sana ia masuk sekolah
Alkitab di daerahnya, kemudian dilanjutkan ke Beji, Malang, Jawa Timur, sampai
tahun 1966. Selama 16 tahun dia menjadi pendeta Gereja Pantekosta di Indonesia,
dan menjadi pendeta jemaat Filadelfia sampai tahun 1999. Ia keluar dari
jemaat itu dan membentuk sekte Pondok Nabi.
Tempat
ibadah kelompok yang dipimpin Mangapin pernah dibakar warga sekitar yang resah.
Soalnya, ia mengaku sebagai rasul terakhir dan mengajak warga bergabung. Untuk
kasus ini, Managapin masih menjalani proses persidangan di Pengadilan Negeri
Bale, Bandung. Ia kemudian memindahkan tempat ibadahnya ke sebuah gudang di
Bale Endah, Bandung (www.liputan6.com, 11/11/2003).
Sekte pimpinannya ini sebenarnya
telah dilarang Kantor Wilayah Departemen Agama Jawa Barat pada tahun 2000.
Pondok Nabi dinyatakan sebagai aliran sesat. Tim Reserse Kriminal Kepolisian
Resor Bandung Tengah menetapkan 13 dari 34 pengurus sekte kiamat sebagai
tersangka. Mereka bakal dijerat Pasal 156a KUHP tentang permusuhan,
penyalahgunaan atau penodaan agama dengan ancaman penjara lima tahun.
6. Kasus
Artikel ‘Islam Agama yang ‘Gagal’ Karya Rus’an
Rus’an adalah dosen Fakultas Agama
Universitas Muhammadiyah Palu. Rus’an menulis artikel berjudul ‘Islam Agama
yang ‘Gagal’ dan dimuat di harian Radar Sulteng pada hari Kamis, 23 Juni 2005.
Akibat tulisannya itu polisi mengenakan tuntutan tindak kriminal kepada Rus’an
karena telah menghina Islam, dan menahannya selama 5 hari sebelum mengenakan
tahanan kota.
Penulis yang
juga sekretaris DPC PAN Palu itu mempersoalkan agama yang ternyata tidak
berpengaruh banyak kepada pemeluk-pemeluknya. Dengan bahasa yang ekstrem, agama
di Indonesia telah gagal semua. Sembari itu, ia mengutip ucapan-ucapan Karl
Marx yang menyatakan bahwa ‘agama merupakan candu bagi masyarakat. Agama
merupakan suatu minuman keras spritual. Agama dipandang sebagai penyebab
penindasan, eksploitasi kelas dan lebih jauh lagi penyebab munculnya
imajinasi-imajinasi non produktif. Sehingga kaum komunis menganggap agama
sebagai racun dan harus dibinasakan keberadaannya. Semuanya disitir dari
tulisan Vladimir Lenin tahun 1905.
Ia bahkan
menyatakan bahwa ternyata masyarakat lebih suka nonton sinteron dari pada mau
mendengarkan nasihat-nasihat para tokoh agama yang penuh dengan retorika
belaka. Yang lebih menyakitkan bagi tokoh muslim di Palu adalah pernyataannya yang mempersalahkan agama dan
bukan oknum penganutnya berkaitan dengan merebaknya kasus korupsi.
Pada paragraf
terakhir berbunyi; “Dengan melihat realitas yang terjadi seperti yang
digambarkan di atas, kita harus memutuskan apakah agama masih memiliki makna
bagi kehidupan manusia di masa kini? Bila jawabannya tidak, maka itulah
agama yang gagal." diklaim menyulut amarah massa.
Inilah
yang mendorong sejumlah warga (tak kurang dari 2000 orang versi detikcom atau ratusan massa menurut Media
Indonesia Online atau ribuan massa seperti ditulis Portal Berita
Sulteng yang menamakan dirinya Komunitas Muslim Kota Palu—antara lain
terdiri dari pelajar, mahasiswa, dan pemuda Perguruan Islam al-khairat Palu,
mahasiswa Sekolah Tinggi Agama Islam Palu, mahasiswa Universitas al-khairat,
Pergerakan Mahasiswa Islam Indonesia, dan Himpunan Mahasiswa Islam berdemo pada
hari Sabtu, 25 Juni 2005. Mereka meminta harian kelompok media Jawa Pos Group
itu untuk berhenti terbit. Penutupan dianggap sebagai bentuk permohonan maaf
mereka atas artikel itu (www.aji-jakarta.org, 25 Juni 2005). Karena
maraknya protes, Radar Sulteng akhirnya memutuskan tidak terbit selama 3 hari
sejak hari ini meskipun kantor tetap buka dan karyawan masih masuk.
Sebelum
bertolak ke kantor Radar Sulteng, mereka membacakan sikap di Mapolda Sulteng.
Mereka meminta aparat penegak hukum segera menangkap oknum yang menghina umat
Islam sekaligus memberikan hukuman yang seberat-beratnya. Juga mengancam akan
mengerahkan massa yang lebih besar dan menyelesaikan sendiri kasus tersebut
apabila dalam tempo 1x24 jam lembaga kepolisian di daerah itu tidak bereaksi
mengambil tindakan tegas.
Hukuman yang dimaksud bukan saja
karena bersangkut paut dalam soal penodaan agama tetapi menyangkut pasal
penyebaran faham atheisme. Opini tersebut, seperti diklaim mereka, merupakan
bentuk penyebaran ajaran komunisme sementara ketetapan MPRS yang melarang
ideologi tersebut hingga kini belum dicabut.
Menanggapi tuntutan pengunjuk rasa,
Kapolda Sulteng Brigjen Aryanto Sutadi yang menerima mereka mengatakan pihaknya
sudah melakukan proses penyidikan terhadap kasus tersebut sebelum ada permintaan dari masyarakat,
sebab tulisan di kolom opini Radar Sulteng itu telah memenuhi unsur penondaan
terhadap agama. Prosesnya tidak dimulai dari penyelidikan tetapi langsung ke
penyidikan.
Sementara itu, Wakil Pemimpin
Redaksi / Penanggung jawab Radar Sulteng Udin Salim yang dikonfirmasi
secara terpisah mengakui terjadi keteledoran di pihak redaksi sehingga muncul
tulisan saudara Rus'an yang meresahkan itu. Pihak kami sudah menyampaikan
permohonan maaf kepada umat Muslim dan khalayak atas kehilafan ini, dengan
menurunkannya dalam menerbitan dua kali berturut-turut sejak Jumat (24/6/2006) (Media Indonesia Online, 25 Juni 2005).
Lalu apa jawaban Rus'an. Ia
menyatakan bahwa tulisan tersebut sekedar kritik. “Saya juga Islam tapi saya
juga mengkritisi perilaku elit kita yang jauh dari nilai-nilai agama agung
ini,". Pria kelahiran Tolitoli 11 Juni 1973 yang juga diduga merupakan
anggota JIL ini menyebutkan kalau ia tak berniat sedikit pun menistakan agama.
Namun, jika menyakiti perasaan umat, ia meminta maaf. “Saya tidak bermaksud
apa-apa," ujarnya.
Polda Sulteng, di pihak lain,
meminta keterangan keterangan Ketua Majelis Ulama Indonesia Sulteng HS Saggaf al-Jufri.
Polisi juga telah memeriksa Rus'an. Menurut Kapolda Sulteng Brigjen Ariyanto
Sutadi, ia telah menjadi tersangka, terkait artikel opini yang dituding menista
agama Islam ini. "Sebelum ada laporan Polisi terkait artikel opini itu,
kami sudah membahasnya. Rus'an langsung kami tetapkan sebagai tersangka,"
kata Kapolda Ariyanto di Polda Sulteng, Jalan Sam Ratulangi, Palu Timur (detikcom, 25 Juni 2005).
7. Kasus YKNCA
Probolinggo
Kasus ini menimpa Yayasan Kanker dan
Narkoba Cahaya Alam (YKNCA) Probolinggo yang dipimpin Ardhi Husein. Dalam kasus
ini Ardhi Husein dipenjaran 5 tahun dengan tuduhan melakukan penodaan agama.
Pada Jum’at, 27 Mei 2005, padepokan YKNCA, di desa Kerampilan, Kecamatan Besuk,
Probolinggo diserbu dan dirusak ribuan massa. Perusakan dan penyerbuan yayasan
ini terkait dengan kontroversi isi buku Menembus
Gelap Menuju Terang 2 yang ditulis Ardhi Husein dan dinilai sesat oleh MUI
Kabupaten Probolinggo. Berbagai media yang terbit esok harinya memberitakan
bahwa sekitar 3000 orang menyerbu dan sebagian melempari padepokan tersebut
hingga bangunan rumah yayasan itu hancur. Namun semua penghuni dan pasien yang
ada di dalamnya dapat diselamatkan.
Dalam pernyataan yang dibuat MUI
Probolinggo dan ditandatangani KH. M. Hasan Mutawakkil A, SH dan KH. Mahfud
Syamsul Hadi tanggal 16 Mei 2005, dinyatakan beberapa masalah yang dianggap
sesat, dari masalah aqidah, syari’ah, dan masalah lain-lain. Dalam masalah
aqidah misalnya dipermasalahkan beberapa hal: 1. menganggap rasul masih ada; 2.
iblis lebih beriman dari manusia; 3. menganggap kitab Wedha, Tripitaka, Tao,
dan Khong futse termasuk shuhuf Ibrahim; 4. masih adanya wahyu yang turun; 5.
mengaku bertemu Allah di dunia; 6. Islam hanya untuk orang Arab; 7. masuk surga
tidak harus masuk Islam; 8. seiman tidak harus seagama; 9. berucap atas nama
nabi Muhammad; 10. menjadi Muslim sejati tidak harus masuk Islam; 11. kitab
yang menjadi petunjuk bagi Muslim sejati tidak ada di bumi; 11. mohon ampun
kepada Allah tidak diterima tanpa melalui hambanya.
Sedang masalah syari’ah yang
dipermasalahkan antara lain: 1. membolehkan menggauli perempuan dengan suka
sama suka; 2. menafsirkan al-Quran menurut akal pikiran; 3. syariat nabi
Muhammad dianggap berakhir setelah nabi wafat dan dilanjutkan oleh hambanya
yang mendapat wahyu langsung dari Allah; 4. perbedaan syariat dianggap sebagai
perbedaan yang tidak prinsip; 5. poligami hanya boleh bagi nabi, waliyullah; 6.
beribadah dengan menginginkan surga dianggap sombong, dan beribadah takut masuk
neraka tidak tulus; 7. para insan kamil berjalan, berpikir dan beribadah tidak
seperti manusia sewajarnya.
Tuduhan yang diberikan MUI tersebut
diambil berdasar kutipan-kutipan dari buku Menembus
Gelap menuju Terang 2 tersebut. Tuduhan-tuduhan inilah yang dijadikan
sebagai amunisi dan bahan bakar untuk menggerakkan emosi massa. Meski beberapa
tuduhan sudah diklarifikasi dan dijawab oleh Ardhi Husein, namun massa tetap
tidak puas, dan akhirnya menyerbu yayasan tersebut.
Dalam amar putusan Majlis Hakim
Pengadilan Negeri Probolinggo No. 280/Pid.B/2005/PN.Kab. Prob. tanggal 6
Oktober 2005, Ardi Husein dianggap secara sah meyakinkan melakukan tindak
pidana penodaan agama. Barang bukti yang digunakan adalah buku Menembus Gelap menuju Terang 2, lima
lembar fatwa MUI tanggal 19 Mei 2005. Tuduhan-tuduhan yang dijadikan dasar
putusan PN Probolinggo juga sepenuhnya berdasar surat MUI tersebut.
8. Kasus Shalat Dwi
Bahasa Yusman Roy
Yusman Roy adalah pemimpin “Pondok I’tikaf Ngaji Lelaku” di Malang Jawa
Timur. Dalam komunitasnya itu, Yusman Roy mempratekkan shalat dua bahasa
(Arab-Indonesia), sebuah praktek dalam shalat yang agak tidak lazim. Sebagai
hal yang tidak lazim, praktik tersebut dianggap salah dan “menyesatkan”. Oleh
karena itu, semua komunitas agama seperti Majlis Ulama Indonesia (MUI), Nahdlatul
Ulama (NU), dan Muhammadiyah menganggap hal tersebut menyalahi praktik shalat
yang dilakukan Nabi Muhammad saw (shallû kamâ ra`aitumûnî ushallî). Dia
akhirnya diadili dan dipenjaran 2 tahun karena dianggap melakukan perbuatan
yang meresahkan. Semula dia dituduh melakukan penodaan agama tapi tidak
terbukti, sehingga dihukum dengan pasal yang lain. Ada kesan, yang penting
Yusman Roy masuk penjara.
Muhammad
Yusman Roy mendapat serangan dari berbagai kalangan nyaris tanpa pembelaan dan
argumentasi yang memuaskan. Maklum, dia bukan seorang seorang ulama, kiai,
akademisi, atau orang yang tumbuh dan berkembang dalam tradisi keagamaan yang
ketat. Dia juga bukan seorang pengikut “Islam liberal” yang terus berupaya
menerobos ortodoksi Islam. Karena itu, wajar kalau dia tidak begitu peduli
dengan metodologi berfikir para ahli fiqih yang jlimet itu. Dia hanya
orang yang ingin mengajarkan kepada komunitasnya agar apa yang dibaca dalam
shalat diketahui maknanya sehingga diharapkan shalat tidak sekedar menjadi
rutinitas ritual tapi mempunyai atsar kepada pelakunya. Ditemukanlah
formula shalat dua bahasa, di samping membaca “edisi Arab” diikuti pula “edisi
Indonesia”.
Jadi Roy
bukan mengganti Bahasa Arab dengan Bahasa Indonesia, tapi sekedar menambahkan
terjemahan dalam Bahasa Indonesia. Dengan begitu, orang yang shalat mengetahui
apa yang sedang dibaca. Roy semakin yakin dengan “ijtihadnya” itu setelah
menemukan QS. Ibrahîm (14): 4 yang artinya: “Kami tidak mengutus seorang
rasul pun melainkan dengan bahasa kaumnya”. Ayat ini seolah menjadi
“inspirasi” bagi kebolehan shalat dengan tambahan terjemahan ke dalam bahasa
non-Arab.
Argumen Roy dari sisi ilmu ushûl al-fiqih konvensional memang bisa
dikatakan lemah. Argumen pertama (agar shalat mempunyai makna) akan dengan
mudah dipatahkan dengan mengatakan bahwa shalat dengan dua bahasa karena tidak
tahu artinya bukanlah formula untuk menjadikan shalat mempunyai makna, karena
jalan keluarnya adalah belajar bagaimana agar orang yang tidak tahu makna
bacaan dalam shalat menjadi tahu.
Demikian juga dengan QS. Ibrahîm (14): 4 tidak mempunyai wajh
al-istidlâl untuk membenarkan praktik shalat dua bahasa karena ayat
tersebut tidak mempunyai keterkaitan sama sekali dengan problem yang sedang
dibahas.
Meskipun
argumen yang dikemukakan Muhammad Yusman Roy lemah dari sisi manhaj
al-istidlâl, namun hal itu tidak berarti tidak mempunyai preseden sama
sekali dalam khazanah fiqih klasik. Memang nyaris tidak ada fuqaha yang
memperbolehkan shalat selain dengan bahasa Arab, terutama dalam membaca surat al-fatihah,
kecuali Imam Abu Hanifah (w. 150 H). Kalau toh ada sebagian kecil ulama
yang memperbolehkan mengganti bacaan shalat selain Bahasa Arab, namun hal itu
tidak berlaku untuk surat al-fatîhah. Surat al-fatîhah adalah
‘harga mati’ yang tidak boleh diganti dengan bahasa apapun.
Namun
demikian, Imam Abu Hanifah memperbolehkan membaca al-fatihah dalam
shalat dengan bahasa Parsi bagi yang tidak mampu berbahasa Arab. Bahkan, dia
berpendapat, membaca al-fatihah dengan bahasa Parsi –atau bahasa-bahasa
lain tentunya- tidak menghalangi sahnya salat meskipun orang tersebut mampu
berbahasa Arab. Hal yang terakhir ini (bagi orang yang mampu berbahasa Arab)
memang hukumnya makruh menurut Imam Abu Hanifah. (Abu Zahra,
Abû Hanîfah: Hayâtuhu wa ‘Ashruhu wa arâ`uhu wa Fiqhuhu, [Dâr al-Fikr
al-‘Arabî, 1977], hlm. 34-35).
Memang
pendapat Imam Abu Hanifah tersebut bagaikan “suara lirih” di tengah kuatnya
arus pendapat yang tidak memperbolehkan shalat selain Bahasa Arab. Imam Syafi’i
(w. 204 H) adalah tokoh yang paling keras menyuarakan hal ini. Bagi Imam
Syafi’i tidak ada pilihan kecuali harus menggunakan Bahasa Arab dalam Shalat,
baik orang yang tahu Bahasa Arab maupun tidak. Imam Syafi’i memang dikenal
sebagai seorang tokoh yang mempunyai pembelaan gigih terhadap Bahasa Arab,
terutama Bahasa Arab versi suku Quraisy. Dia, misalnya, menolak pendapat yang
mengatakan bahwa di dalam al-Qur’an ada serapan dari Bahasa non-Arab.
Pendapat
Imam Syafi’i tersebut bertumpu pada pemahaman mengenai esensi al-Qur’an.
Menurutnya, esensi al-Qur’an bukan semata-mata makna tapi makna yang dibungkus
dengan kata-kata. Dengan demikian, Bahasa Arab (al-Qur’an) -dengan segenap
ideologinya- adalah bagian substansial dari struktur teks (al-talâzum bain
al-lafdzi wa al-ma’nâ)..
Nasr Hamid
Abu Zayd mempunyai penilaian yang menarik mengenai hal ini. Menurutnya, sikap
Imam Syafi’i yang begitu keras membela Bahasa Arab (Quraisy) karena dia memang
seorang Arab (Quraisy) yang begitu fanatik dengan ke-Arab-annya. Hal ini
berbeda dengan Imam Abu Hanifah yang non-Arab, Persia, sehingga ia tidak
mensakralkan Bahasa Arab. (Nasr Hâmid Abu Zayd, al-Imâm al-Syâfi’î wa
ta`tsîts al-Idiolojiyat al-Wasathiyah, [Kairo: Maktabah Madbûlî, 1996],
cet. II, hlm. 66).
Perdebatan
pro-kontra demikian pasti akan selalu berakhir dengan “penindasan” terhadap
kelompok yang dianggap menyimpang. Dalam sejarah, pemahaman keagamaan yang
dianggap menyimpang dari mainstream hampir selalu (di)kalah(kan) dan
dilibas oleh kelompok mainstream dengan berbagai cara, seperti dengan
memberi fatwa sesat atau meminjam tangan kekuasaan untuk mengadili dan
memenjara.
Kasus ini
sebenarnya bisa direfleksikan lebih jauh mengenai wajah keagamaan kita (Islam)
yang sangat Arab oriented. Arab, terutama Mekah dan Madinah, menjadi
orientasi hampir seluruh segi kehidupan orang Islam, baik ilmu, religiusitas,
maupun kebudayaan. Akibatnya, orang sering mencampuradukkan antara agama dan
tradisi. Tradisi sering dianggap sebagai agama, dan agama sering dianggap
sebagai tradisi. Maraknya revivalisme Islam sekarang ini antara lain disebabkan
kegagalan dalam membedakan dan memisahkan aspek-aspek tersebut.
Siapapun
tidak bisa menolak bahwa Islam sangat lekat dengan budaya Arab. Hal ini
sebenarnya wajar-wajar saja, karena Islam lahir di Arab, al-Qur’an berbahasa Arab,
Nabi Muhammad orang Arab, kiblatnya ada di Arab, kitab-kitab fiqih ditulis
dengan bahasa Arab, dan seterusnya. Oleh karena itu tidak perlu heran jika cita
rasa Arab begitu dominan dalam hampir seluruh konstruk keislaman. Budaya Arab
adalah bahan baku untuk membentuk bangunan Islam. Ke-Arab-an senantiasa menjadi
standar dalam menentukan baik-buruk, pantas-tidak pantas, halal-haram dan
sebagainya. Bahkan, untuk menentukan apakah suatu jenis makanan itu halal atau
haram, lidah orang Arab yang menjadi standar. Kalau lidah orang Arab menganggap
sesuatu khabîts (kotor, menjijikkan) maka haram dimakan. Sebaliknya,
jika lidah orang Arab mengatakan thayyib (baik, enak), maka halal
dimakan untuk semua orang Islam di berbagai belahan dunia.
Dengan
demikian, wilayah Islam di luar Arab dianggap sebagai wilayah Islam pinggiran
yang tidak mempunyai otonomi untuk mengatur dirinya sendiri. Segala sesuatu
yang ada di wilayah pinggiran, harus dikonfirmasikan bagaimana “pusat Islam”
menyikapi. Tokoh-tokoh intelektual Indonesia sejak abad 18 M banyak yang
menulis kitab fiqih, namun hampir semuanya fiqih berkepribadian Arab. Bahkan,
gagasan merumuskan fiqih Indonesia yang pernah dipikirkan Hasbi Ash-Shiddiqi,
tetap saja tidak bisa melepaskan diri dari “kepribadian Arab”. Kompilasi Hukum
Islam (KHI) yang digagas untuk membuat fiqih Indonesia juga masih terjebak pada
Arabisme.
Dari
perspektif tersebut, apa yang dilakukan Yusman Roy di Malang merupakan “suara
lirih” untuk melawan hegemoni Arabisme. Memang Yusman Roy kalah berargumentasi,
bahkan dipenjara, tapi semangatnya untuk menegaskan identitas keindonesiaan
ditengah kuatnya Arabisme patut dihargai.
9. Kasus Komunitas
Eden
Korban dari kasus ini adalah Lia
“Eden” Aminuddin. Dia divonis dua tahun penjara dengan tuduhan penodaan atas
agama. Peristiwa itu berawal pada Rabu, 28 Desember 2005, ketika rumah Lia
Aminuddin yang beralamat di Jalan Mahoni 30, Bungur, Jakarta Pusat, dikepung
oleh sebagian masyarakat. Mereka memprotes penyebaran ajaran Lia, yang oleh
Majelis Ulama Indonesia telah dinyatakan sebagai ajaran sesat. Polisi pun kini
telah menetapkan Lia sebagai tersangka dengan tuduhan telah melanggar Pasal
156-a dan 157 Kitab Undang-Undang Hukum Pidana tentang penodaan agama dan
penghasutan.
Komunitas Eden lahir tahun 1997 dari
kelompok kajian Islam yang bermarkas di rumah pribadi Lia Aminuddin di Jalan
Mahoni 30, Senen, Jakarta Pusat. Dulunya, Lia Aminuddin yang merupakan perangkai bunga yang terkenal. Dia sering
tampil di TVRI dan membawakan acara merangkai bunga. Dalam perkembangannya, Lia
mengaku merasakan mendapat petunjuk dari Jibril, bahkan kemudian dirinya
mengaku sebagai Jibril. Dia menyampaikan pengalaman hidupnya kepada
rekan-rekannya dan dapat memperoleh pengikut sebanyak 48 0rang, 15 di antaranya
adalah anak-anak. Sejak kelahirannya, komunitas itu tak putus dirundung teror.
Pada bulan Mei 2001, sekelompok orang merusak dan mengusir komunitas itu
sewaktu bertempat di Mega Mendung, Bogor. Pada 28 Desember 2005, massa kembali
mengepung Komunitas Eden. Dan akhirnya anggota komunitas itu dievakuasi secara
paksa oleh polisi.
Pengikutnya yang berjumlah 48
ditangkap. Ketut Untung (Kabag Humas Polda Metro Jaya) mengatakan, 15 orang
dipulangkan oleh polisi karena dalam pemeriksaan mereka terbukti bukan sebagai
anggota aliran itu tetapi sebagai pelayan rumah, pekerja ataupun orang yang
bekerja di rumah Lia, Jalan Mahoni 30, Senen, Jakarta Pusat. "Masa orang
yang jadi pembantu di rumah itu juga diperiksa terkait dengan aliran. Mereka
kan bukan pengikut aliran karena hanya sebagai pekerja," tegasnya.
Sebelumnya, Polda Metro Jaya membawa 48 pengikut aliran Lia Aminuddin dari
kediamannya, Rabu (28/12) petang setelah dua hari berturut-turut rumah itu
dikepung warga sekitar yang merasa terganggu dengan keberadaan aliran pimpinan
Lia.
Kendati para pengikut aliran itu
menolak untuk dibawa ke Polda Metro Jaya, namun polisi akhirnya berhasil
mengevakuasi kendati sebagian pengikut harus digotong untuk masuk ke dalam bus
milik Polda Metro Jaya. Lia, seperti diketahui, menyebarkan ajarannya sudah
enam tahun lebih. Dia mencampurkan sejumlah agama. Dan, dia juga berinovasi
dalam beribadah. Semula salah satu ibadahnya dengan menyanyikan lagu-lagu
rohani diiringi organ. Penampilan jemaat wanitanya serbatertutup, lengkap
dengan kerudung, dan berwarna putih semua. Namun belakangan, ibadah kelompok
Lia juga dengan mengaji diiringi musik. Belakangan lagi, kelompoknya membuat
ritual dengan mengelilingi kawasan Mahoni.
Penampilannya pun selalu berubah
sesuai dengan ''wahyu'' yang dia terima. Dahulu, dia berjubah dan berkerudung
warna putih. Namun, beberapa tahun kemudian menggunduli rambutnya dan
berpakaian ala biksu. Namun, reaksi anggota masyarakat sekitar selama ini tidak
terlalu dahsyat. Baru pada Selasa lalu, warga sekitar marah. Pengurus masjid sekitar
akan menggelar tablig akbar untuk memerangi ajaran perempuan yang mengaku
sebagai Malaikat Jibril itu. Kegiatan itu akan digelar di depan rumah Lia,
Sabtu (31/12). Materi tablig akbar tentang Malaikat Jibril palsu.
Warga mengultimatum agar ''Kerajaan
Tuhan'' pindah dari Kecamatan Bungur. Lia diberi waktu seminggu dan Rabu
kemarin telah memasuki hari ketiga dari ultimatum.Belum diketahui apa ajaran
Lia yang meresahkan warga sekitar itu namun diduga karena Lia pernah mengklaim
sebagai malaikat Jibril dan mendaulat anaknya sebagai Nabi Isa. Rumah dua
lantai milik Lia pun dijadikan sebagai "Kerajaan Tuhan".
Diperkirakan, Lia telah menyebarkan ajarannya lebih dari enam tahun.
Kapolda Metro Jaya Irjen Pol Firman
Gani mengatakan bahwa polisi hanya menetapkan Lia Aminudin sebagai tersangka
tunggal dalam kasus penodaan agama. Puluhan pengikut Lia hanya dijadikan saksi
dan diwajibkan melapor ke polda. "Undang-undang mengatakan pengikut tidak
bisa dijadikan tersangka. Jadi, hanya Lia yang dijadikan tersangka," ujar
Firman Gani di Mapolda Metro Jaya, Jumat (30/12). Ia dijerat Pasal 156A KUHP,
sebagaimana Lia.
Lia masih meringkuk di tahanan Polda
Metro Jaya. Sumber di kepolisian menyebutkan, wanita yang mengaku sebagai
Malaikat Jibril itu tetap menolak tuduhan ia menodai agama. Lia bersikukuh
bahwa ajaran yang dianut dan dikembangkannya
benar. "Ya tetap merasa kalau dirinya benar. Tapi, itu hak dia,
karena menyatakan benar atau tidak adalah pengadilan," kata sumber tersebut.
Dalam sidang, pengacara dari Koalisi Pembela Kebebasan Beragama itu menuduh
Majelis Hakim melanggar asas peradilan yang fair karena menghadirkan
saksi ahli yang juga merupakan saksi pelapor, yakni anggota Komisi Fatwa
Majelis Ulama Indonesia Prof Dr Ali Mustofa.
“Baik, kalau begitu Majelis, dengan
hormat, karena kami mintakan surat kami, dengan hormat kami berkeberatan untuk
mengikuti persidangan ini. Dengan hormat, kami meninggalkan persidangan! Sekian
dan terima kasih….” kata Saor Siagian. Saksi lainnya ternyata memberatkan. Ia
mengaku kepalanya digunduli, dipukul, bahkan mulutnya dibakar karena dianggap
berbohong. Saksi mengaku tinggal di Komunitas Eden selama tiga tahun. Anggota
Koalisi Pembela Kebebasan Beragama Asfinawaty menyatakan persidangan kasus Lia
Eden tidak pantas dilanjutkan karena cacat hukum. Menurut pengacara Lembaga
Bantuan Hukum (LBH) Jakarta itu, persidangan kasus Lia Eden menjadi ujian bagi
Indonesia dalam menerapkan Kovenan Internasional tentang Hak Sipil dan Politik
yang sudah disahkan melalui Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2005. Ketua Majelis
Hakim Lief Sufijullah yang membacakan putusan di Pengadilan Negeri (PN) Jakarta
Pusat, Kamis, menyatakan Lia Eden terbukti melakukan perbuatan menodai salah
satu ajaran agama yang dilindungi di Indonesia sebagaimana dakwaan pertama
Jaksa Penuntut Umum (JPU) dan melakukan perbuatan yang tidak menyenangkan
sebagaimana dakwaan ketiga JPU.
Komentar atas
Kasus-Kasus
Dalam kaitan ini, ada beberapa
catatan penting yang perlu diberikan. Pertama,
kasus-kasus penodaan agama senantiasa terkait dengan agama apa/siapa yang dinodai.
Siapa yang berhak mengatakan agama tertentu telah dinodai atau tidak. Hal ini
sangat mendasar dalam masalah ini. Secara yuridis formal, tentu saja pengambil
keputusan pada akhirnya adalah hakim. Namun semua orang tahu bahwa hukum dan
hakim tidak berbicara dengan dirinya sendiri. Apalagi dalam masalah agama,
hakim seringkali merasa tidak punya “otoritas” dalam bersikap dan membuat
penafsiran.
Kedua,
karena masalah di
atas, maka suara mainstream seringkali
diambil sebagai referensi kebenaran. Dalam Islam misalnya ada doktrin: ‘alaikum bi al-sawâd al-a’dham (hendaklah
kamu mengikuti pendapat mayoritas) yang sering digunakan untuk melegitimasi
kebenaran mayoritas. Doktrin ini
semakin kuat dengan adanya hadis: lâ
tajtami’u ummatî ‘alâ dhalâlatin (umatku tidak akan pernah bersepakat dalam
kesesatan). Dari doktrin inilah dalam hukum Islam dikenal konsep Ijmâ’ (konsensus ulama) yang menjadi
standar kebenaran. Dalam konteks
modern, apa yang disebut mayoritas sebagai penguasa kebenaran itu bisa
merupakan hasil rekayasa.
Ketiga,
karena itu, kasus pengadilan penodaan agama
senantiasa melibatkan massa. Pengerahan massa dilakukan bukan saja untuk
menyuarakan aspirasi, tapi untuk menimbulkan kesan bahwa apa yang disuarakan
adalah pendapat mayoritas. Tekanan ini pada akhirnya diharapkan mempengaruhi
keputusan hakim. Akhirnya, klaim penodaan agama bukanlah masalah hakikat dari
kebenaran itu sendiri, tapi lebih karena tekanan massa, masalah
mayoritas-minoritas, yang dibungkus dengan otoritas penafsiran agama. Suka atau
tidak, demikianlah realitasnya.
Keempat, khusus menyangkut masalah penodaan
Lia Eden, pertanyaan yang harus segera dijawab adalah agama apa yang dinodai?
Sebagian orang Islam mengatakan bahwa ajaran Lia Eden telah menodai agama Islam. Lia Eden bilang
dia adalah Jibril yang mendapat wahyu dari Tuhan, seorang anggotanya dikatakan
reinkarnasi Nabi Muhammad, dan sebagainya. Sampai di sini saya belum merasa ada
penodaan terhadap Islam, meskipun orang mungkin mengatakan bahwa membawa-bawa
nama Jibril dan Nabi Muhammad tidak dalam posisi “sewajarnya” adalah bentuk
penodaan terhadap Islam. Lia Eden sendiri mengatakan bahwa dia tidak memeluk
agama, tapi percaya pada Tuhan. Karena itu tidak tepat kalau ajaran-ajarannya
itu dikatakan menodai Islam. Ajaran-ajaran Lia Eden tidak bisa diletakkan dalam
konteks penafsiran tentang Islam, sehingga ajarannya tidak bisa dilihat dengan
menggunakan kacamata Islam. Kalau Lia mengaku tidak beragama, mengapa Islam,
merasa dinodai? Kalau Lia merasa Jibril datang kepadanya, mengapa Islam merasa
terhina? Ini sungguh aneh.
IV.
Penodaan Agama versus Otoritas Kelompok Mainstream
Sebelum membicarakan lebih jauh tentang pasal penodaan agama,
perlu didiskusikan dulu tentang sifat melawan hukum. Hal ini penting untuk
melihat jenis perbuatan yang bisa dikatakan melanggar hukum. Dalam hukum pidana dikenal dua jenis sifat
melawan hukum, yaitu sifat melawan hukum materiil dan sifat melawan hukum
formil. Sifat melawan hukum materiil sebagaimana tercantum di dalam pasal 1 rancangan
KUHP yang baru memungkinkan orang dijatuhi hukuman jika melakukan hal-hal yang
tidak patut dan menusuk rasa keadilan dalam masyarakat, meski perbuatan itu
tidak dilarang UU. Sebaliknya, ajaran sifat melawan hukum secara formal (asas
legalitas) menentukan seseorang dapat dijatuhi hukuman pidana jika melakukan
hal-hal yang dilarang UU yang ada sebelum perbuatan itu dilakukan.
Di sini memang ada dilema. Persoalan
antara perbuatan melawan hukum secara materiil dan secara formal merupakan
persoalan dilematis yang cukup lama. Dilemanya terletak pada apakah kita akan
menggunakan prinsip kepastian hukum ataukah rasa keadilan. Keduanya sama-sama
ada di dalam konsepsi negara hukum. Prinsip kepastian hukum lebih menonjol di
dalam tradisi kawasan Eropa Kontinental dengan konsep negara hukum rechtstaat, sedangkan rasa keadilan
lebih menonjol di dalam tradisi hukum kawasan Anglo Saxon dengan konsep negara hukum the rule of law.
Rencana KUHP kita sebagaimana terlihat
dalam pasal 1 ayat (1) menggunakan prinsip kepastian hukum di bawah asas
legalitas. Tetapi, sejak berlakunya UU No 14/1970, selain menerapkan bunyi UU,
hakim harus menggali nilai-nilai keadilan di dalam masyarakat. Itu berarti,
selain kepastian hukum, dunia peradilan menekankan pada rasa keadilan. Jadi,
keduanya diakomodasi di dalam sistem peradilan kita. Akomodasi atas keduanya
kemudian menimbulkan dilema. Sebab, di dalam praktiknya, keduanya tidak
diperlakukan secara integratif, melainkan alternatif.
Akomodasi atas dilema yang memberi tempat
pada kedua prinsip tersebut menimbulkan ambiguitas orientasi konsep yang sering
dipergunakan aparat penegak hukum untuk mencari "kemenangan", bukan
"kebenaran" dalam perkara pidana. Proses mencari kemenangan bagi
pengacara, jaksa, dan hakim sering dilakukan melalui manipulasi atas pilihan
antara kepastian hukum dan rasa keadilan.
Judicial corruption yang di dalam masyarakat lebih populer
disebut mafia peradilan dilakukan dengan manipulasi atas konsep-konsep itu.
Jika satu kasus dapat dimenangkan -menurut kehendak dalam proses mafia- melalui
prinsip kepastian hukum, proses mafianya mengarahkan putusan pengadilan untuk
menggunakan hukum-hukum tertulis dan bukti formal. Tetapi, jika kasus tak bisa
dimenangkan -negatif dengan mafia-, yang dipergunakan adalah dalil-dalil
tentang rasa keadilan. Itulah sebabnya tidak jarang satu kasus yang sama
diputus secara berbeda oleh hakim dengan kelompok penegak hukum yang berbeda.
Untuk itu, para hakim tak dapat disalahkan. Sebab, mereka selalu berlindung di
bawah prinsip kebebasan dan kemandirian hakim.[6]
Bab
tersebut sesungguhnya dimaksudkan untuk melindungi agama dan
praktik beragama yang berkembang di masyarakat. Dengan kata lain, tampaknya
negara bermaksud melindungi setiap keyakinan agama dan praktik yang dilakukan
oleh pengikutnya dari penodaan dan kecenderungan berbuat tindak pidana terhadap
agama.
Namun,
pasal-pasal yang termaktub dalam Rancangan KUHP itu bisa saja dipahami secara
salah atau terbalik, karena ketidakjelasan
definisi yang ada di dalamnya. Apa yang dimaksud dengan penodaan terhadap
agama. Bukankah setiap penganut agama bisa menyatakan bahwa agamanya telah
dinodai oleh kelompok lain hanya karena berbeda ajaran dan praktik agama,
meskipun dalam satu jenis agama. Seperti yang terjadi pada kasus
Ahamdiyah atau Lia Eden, jelas sekali nuansa kerumitannya untuk menentukan
apakah mereka telah menodai agama Islam. Pertanyaan mendasarnya adalah siapa
yang bisa menjamin pengertian dari penodaan terhadap agama. Bukankah selama ini
istilah penodaan terhadap agama selalu ditafsirkan oleh kelompok mainstream.
Kenyatannya justru banyak aliran keagamaan diserang oleh kelompok mainstream
dengan tuduhan kepercayaannya sesat dan menyesatkan. Seharusnya pasal-pasal
tersebut justeru untuk melindungi mereka dari serangan pihak mainstream dan
hegemonik itu. Tapi apa boleh buat hakim mengikuti cara pandang kelompok
mainstream sehingga menghukum kelompok minoritas karena dianggap telah menodai
agama.
Istilah penodaan agama sesungguhnya sangat abstrak
sehingga bisa digunakan oleh kelompok tertentu, terutama kelompok mainstream
yang menuduh kelompok lain telah menodai agama dengan keyakinan dan praktik
agamanya. Dalam praktiknya pasal tentang penodaan agama menjadi
pasal yang sangat lentur (hatzaai
articelen) yang bisa dipahami secara sepihak. Pasal ini bisa digunakan
untuk menjerat pelaku ritual dan penganut keyakinan keagamaan yang berbeda. Dan
inilah yang terjadi dengan berbagai kasus yang dituding sebagai kelompok aliran
sesat, seperti kasus Pondok Nabi di Bandung (2004), kasus Saleh Situbondo
(1996), Lie “Eden” Aminudin di Jakarta (2006).
Karena
itulah, istilah-istilah yang terdapat dalam Rancangan KUHP bersifat multitafsir
karena istilahnya yang sangat abstrak, sehingga mengakibatkan kelompok
mainstream mendominasi dan menghegemoni tafsir atas teks-teks Rancangan KUHP.
Untuk itu, maka perlu ada kesepakatan-kesepakatan tentang berbagai istilah yang
tertuang dalam KUHP agar tidak salah tafsir.[7]
Jika dilihat dari
disain besar keagamaan di Indonesia, secara kasat mata kita bisa lihat, kelompok
agama mainstream dari agama-agama resmi terus mengontrol pemahaman keagamaan
masyarakat yang ditunjukkan dengan sikap aktif dan reaktif mereka dalam setiap
praktik sosial-keagamaan di masyarakat, terutama terhadap aliran yang dianggap
menyimpang kelompok mainstream. Karena jumlahnya yang besar (meskipun
fragmentasinya sangat beragam), kelompok mainstream dianggap sebagai
representasi agama yang sebenarnya, sehingga menafikan kebenaran lain yang
berkembang di masyarakat. Dalam kasus Islam, dengan fatwa agama yang
dikeluarkan oleh MUI, masyarakat umum lebih mudah menerima dan melakukan proses
justifikasi teologis, karena MUI lah yang dianggap memiliki otoritas yang kuat
dalam menafsirkan agama. Sehingga dalam praktiknya, Islam yang bukan mainstream
dianggap sesat dan menyimpang dengan tolak ukur pada praktik beribadah dan
keyakinan teologisnya yang berbeda.
Dalam
beberapa kasus akhir-akhir ini tentang aliran sesat mestinya pasal-pasal
tersebut bisa melindungi mereka dari penghinaan, penyalahan secara sepihak,
tuduhan sesat dan serangan serta pelarangan secara sepihak oleh aparat hukum
karena tekanan dari manapun, dari mereka yang tidak sepaham atau bahkan dari
MUI. Tetapi kenyataannya justeru sebaliknya. Mereka dipersalahkan dan dituduh
menodai agama, padahal kalau dilihat dari pasal-pasal di sini seharusnya MUI
dan seseorang atau sekelompok orang yang menghina, menuduh sesat serta
menyerang lah yang seharusnya dikenai pasal-pasal agama dalam KUHP ini, dan
juga aparat keamanan dan hukum yang melarang tanpa proses pengadilan bisa
dikenai pasal-pasal.[8]
Tapi apa boleh buat, kelompok yang bukan mainstream tidak memiliki kekuatan
untuk melakukan perlawanan guna mendapatkan perlindungan yang layak dari
negara.
Pasal-pasal
yang termaktub dalam Rancangan KUHP jelas sekali terlihat bahwa objek hukum
yang diatur menimbulkan perbedaan tafsir. Ketidakjelasan objek yang diatur,
seperti soal simbol agama, sifat dan keagungan Tuhan bisa membuat perbedaan
pemahaman di masyarakat. Di satu sisi, bagi penganut agama tertentu, simbol itu
dianggap suci, yang diagung-agungkan, tetapi bagi kelompok lain tidak dianggap
suci. Hal ini bisa berakibat konflik serius dalam mendudukkan simbol keagamaan
yang dianggap suci. Lantas bagaimana menafsirkan dan mengimplementasikannya
dalam persoalan-persoalan riil di masyarakat. Sudah seharusnya objek hukum yang
diatur adalah sesuatu yang mudah dipahami dan tidak menimbulkan perbedaan
pendapat di kalangan umat beragama.
V. Agama
Resmi dan Tidak Resmi
Agama-agama
yang dianut di Indonesia sebenarnya berjumlah sangat banyak, dari agama yang
sering disebut sebagai agama samawi (Yahudi, Kristen, dan Islam) hingga
agama-agama lain, seperti Hindu, Budha, Konghucu, Sinto, dan lain sebagainya.
Belum lagi agama-agama lokal yang telah lama dianut oleh masyarakat sebelum
kedatangan agama pendatang (Islam dan Kristen), yang kemudian sering disebut
sebagai aliran kepercayaan sesuai dengan kebudayaan dan adat istiadatnya.
Realitas inilah yang menunjukkan bahwa masyarakat Indonesia adalah masyarakat
majemuk, masyarakat yang dihuni oleh banyak suku dan agama. Dengan
kemajemukannya inilah, potensi pertentangan dalam kontestasi untuk menyatukan
berbagai aliran dan paham kagamaan semakin besar. Paling tidak, kelompok
mainstream akan menguasai panggung kontestasi untuk merebut makna-makna
pemahaman keagamaan yang berserakan dalam kemejemukan masyarakat.
Dalam
konteks keanekaragaman agama yang dianut masyarakat Indonesia ini, ternyata
negara justru membatasi agama-agama yang diakui secara resmi oleh negara. Negara tidak mengakui secara resmi seluruh
keyakinan agama yang dianut oleh masyarakat Indonesia yang sangat banyak atau
paling tidak mengakui seluruh keyakinan agama yang berkembang di masyarakat.
Negara justru hanya memberi batasan bahwa ada 6 agama resmi yang diakui. Selain
agama yang 6 ini, dianggap tidak resmi dan tidak diakui.
Hal
itu bermula dari Penetapan Presiden No. 1 tahun 1965 tentang Pencegahan
Penyalahgunaan atau Penodaan Agama yang status hukumnya kemudian ditingkatkan
menjadi UU berdasar UU No. 5 tahun 1969. UU No. 1 /PNPS/1965 tersebut
belakangan mulai direvisi dengan terbitnya Inpres No. 14 tahun 1967 tentang
agama, kepercayaan dan adat istiadat Cina. Meskipun Inpres tersebut tidak
secara eksplisit mencabut pengakuan terhadap eksistensi agama Konghucu, namun
dalam praktek di lapangan kesan pengingkaran terhadap Konghucu sangat
dirasakan, sehingga hak-hak sipil penganut agama Konghucu menjadi terabaikan,
seperti masalah perkawinan dimana Kantor Catatan Sipil tidak mau mencatat,
tidak memperoleh pendidikan agama Konghucu di sekolah, perayaan hari raya dan
sebagainya. Hal demikian semakin dipertegas dengan terbitnya Surat Edaran (SE)
Menteri Dalam Negeri No. 477/74054/BA.01.2/4683/95 tanggal 18 Nopember 1978
yang antara lain menyatakan bahwa agama yang diakui oleh pemerintah adalam
Islam, Kristen, Katolik, Hindu dan Budha. Dari SE
tersebut, Konghucu dikeluarkan dari daftar agama-agama di Indonesia. Akibatnya, hak-hak sipil mereka tidak diakui,
sehingga banyak penganut Konghucu yang secara terpaksa harus pindah ke agama
lain, pelajaran agama Konghucu juga dihilangkan dari sekolah kecuali UGM yang
sejak 1967 tetap menawarkan agama Konghucu sebagai salah satu mata kuliahnya. Belakangan, pada masa
pemerintahan KH. Abdurrahman Wahid (Gus Dur) Inpres No. 14 tahun 1967 tersebut
dicabut dengan Kepres No. 6 tahun 2000. Dengan terbitnya Kepres yang terakhir
ini maka hak-hak sipil penganut agama Konghucu dipulihkan kembali.
Inilah
yang mendasari dirumuskannya Rancangan KUHP terutama soal tindak pidana terhadap
agama dan kehidupan beragama (pasal 341-348). Di Bab itulah agama menjadi kata kunci untuk
menentukan tindak pidana seseorang. Apakah yang dimaksud dengan agama? Apakah
agama masih dipahami secara konvensional; memiliki Tuhan, kitab suci, nabi, dan
jumlah penganut. Kalau demikian penegertiannya, maka jelas sekali bahwa arti
kata agama dalam Rancangan KUHP dipahami
dengan 6 agama resmi yang diakui negara,
sehingga tidak mencakup atau tidak memberi ruang terhadap kepercayaan
lokal (CF pasal 18 ICCPR), karena tidak memiliki persyaratan untuk disebut
agama.
Pengakuan
6 agama resmi ini diiringi juga dengan didirikannya lembaga-lembaga agama
”korporatis” negara yaitu MUI (Majelis Ulama Indonesia), KWI (Konferensi Wali
Gereja Indonesia), PGI (Persatuan Gereja-Gereja Indonesia), Walubi, dan Hindu
Dharma Indonesia. Lembaga-lembaga
agama “korporatis” negara ini kemudian dipercaya sebagai pemegang otoritas
agama di Indonesia, yang kemudian jangkauan kerjanya mencakup interpretasi
ajaran agama, menyelesaikan sengketa internal dan eksternal agama, dll.[9]
Lembaga-lembaga agama tersebut
sesungguhnya mencerminkan kebenaran yang dijustifikasi. Dengan kata lain,
lembaga agama inilah yang memproduksi dan menjustifikasi kebenaran suatu agama.
Sementara kebenaran yang dimiliki oleh kelompok lain menjadi tidak
terjustifikasi. Inilah yang menjadikan telah hilangnya makna agama yang
substansial, yang pada gilirannya digantikan oleh lembaga agama atau agama yang
dilembagakan, yang dalam teori sosial disebut institusionalized religion dalam bentuk
organisasi keagamaan. Sehingga militansi dan fanatisme selalu dirujuk pada
bagaimana pengikut organisasi mengikuti kebenaran yang telah dirumuskan oleh
suatu organisasi agama. Kebenaran kemudian menjadi milik suatu organisasi agama
yang dianut oleh anggotanya. Selama ini orang
tidak sadar bahwa militansi terhadap “agama yang
telah terlembaga” lebih besar
ketimbang agamanya itu sendiri. Meskipun terkesan seseorang berjuang untuk
menegakkan agama, tetapi yang sesungguhnya kita lihat adalah ia berjuang untuk “agama
yang telah terlembaga”.
Dampak dari perlakuan
yang berbeda secara normatif dalam Undang-undang dengan pemilahan agama resmi
dan agama tidak resmi adalah negara tidak memiliki kesadaran untuk melindungi
agama yang dipandang tidak resmi (agama-agama yang tidak disebutkan dalam
Undang-undang No. 1/PnPs/1965 pasal 1 ). Pada gilirannya, negara hanya
melindungi agama yang diakui dan dinyatakan resmi yang termuat dalam peraturan
perundang-undangan. Ini artinya, agama kepercayaan lokal tidak mendapatkan
tempat yang layak secara normatif dalam negara Indonesia yang majemuk. Tak
heran, jika perilaku kekerasan terhadap kepercayaan agama lokal yang dianggap
sesat oleh kelompok mainstream tidak mendapatkan jaminan hak asasi manusia,
bahkan mereka cenderung dipersalahkan secara hukum dengan vonis penjara di
pengadilan.
Jika
dilhat latarbelakang sejarahnya, Undang-undang ini dibuat untuk mengamankan
negara dan masyarakat, cita-cita revolusi dan pembangunan nasional di mana
penyalahgunaan atau penodaan agama dipandang sebagai ancaman revolusi. Ditambah
lagi dengan munculnya aliran-aliran atau oraganisasi-organisasi
kebatinan/kepercayaan masyarakat yang dianggap bertentangan dengan ajaran dan
hukum agama. Aliran-aliran tersebut dipandang telah melanggar hukum, memecah
persatuan nasional dan menodai agama sehingga perlu kewaspadaan nasional. Dan
yang terpenting, Undang-undang ini dimaksudkan untuk mencegah agar jangan
sampai terjadi penyelewengan ajaran-ajaran agama yang dianggap sebagai
ajaran-ajaran pokok oleh para ulama dari agama yang bersangkutan dan aturan ini
melindungi ketentraman beragama tersebut dari penodaan/penghinaan serta dari
ajaran-ajaran untuk tidak memeluk agama yang bersendikan Ketuhanan Yang Maha
Esa. Tak pelak lagi, Undang-undang ini dimaksudkan untuk membatasi
aliran-aliran keagamaan di luar agama yang resmi.
Kecenderungan
negara yang diskriminatif tampaknya akan terlihat jelas dalam Rancangan KUHP,
karena perlindungan menjalankan ibadah hanya diberikan kepada agama yang diakui
negara saja, yaitu Islam, Hindu, Budha, Kristen, Katolik, dan Konghucu.
Sementara keyakinan atau kepercayaan lain di luar itu tidak mendapat jaminan
menjalankan keyakinan. Bahkan, keyakinan itu dapat dianggap sebagai “meniadakan
keyakinan agama yang dianut”yang dijadikan tindak pidana. Perlindungan terhadap
agama resmi itu dengan aktivitas mengganggu, mengejek, merintangi, atau dengan
melawan hukum membubarkan orang yang sedang menjalankan ibadah, upacara
keagamaan dan sebagainya.[10]
Argumentasi
ini ingin mengatakan Rancangan KUHP, tidak mengakomodasi agama atau
kepercayaan/keyakinan lokal diluar agama yang diakui oleh negara, yaitu Islam,
Kristen Protestan, Buddha, Hindu, Konghucu, dan Kristen Katolik. Para peserta
seminar dan workshop juga dapat menangkap ide pemikiran di balik pasal ini,
bahwa kepercayaan atau keyakinan lokal yang tumbuh subur di masyarakat dianggap
sebagai penghalang, dan pengganggu bagi agama yang formal tadi. Secara tidak
langsung negara melakukan tindakan disriminatif terhadap kepercayaan lokal.
VI. Tindak Pidana
Agama dan Kehidupan Beragama dalam RUU KUHP
The Wahid Instutute telah
menyelenggarakan seminar dan workshop di lima kota; Jakarta, Surabaya, Banten,
Bandung, dan Mataram yang dimaksudkan untuk mengkritisi RUU KUHP yang telah
disiapkan oleh pemerintah untuk dijadikan sebagai Undang-undang. Seminar
dan workshop secara khusus membahas, mendiskusikan, dan mengkritisi pasal-pasal
yang berkaitan dengan tindak pidana agama (Bab VII: Tindak Pidana terhadap
Agama dan Kehidupan Beragama; pasal 341-348).
Berikut ini akan dikemukakan
pasal-pasal tindak pidana agama dan kehidupan beragama sebagaimana terdapat
dalam RUU KUHP:
Bab VII
Tindak Pidana terhadap
Agama dan Kehidupan Beragama
Bagian I
Tindak Pidana terhadap
Agama Dan Kehidupan Beragama
Penghinaan
terhadap Agama
Pasal
341
Setiap orang yang di muka umum
menyatakan perasaan atau melakukan perbuatan yang sifatnya penghinaan terhadap
agama, dipidana dengan pidana penjara paling lama 2 (dua) tahun atau denda
paling banyak Kategori III.
Pasal
342
Setiap orang yang di muka umum
menghina keagungan Tuhan, firman dan sifat-Nya, dipidana dengan pidana penjara
paling lama 5 (lima) tahun atau denda paling banyak Kategori IV.
Pasal
343
Setiap orang yang di muka umum
mengejek, menodai, atau merendahkan agama, Rasul, Nabi, Kitab Suci, ajaran
agama, atau ibadah keagamaan, dipidana dengan pidana penjara paling lama 5
(lima) tahun atau denda paling banyak Kategori IV.
Pasal
344
(1) Setiap orang yang menyiarkan,
mempertunjukkan atau menempelkan tulisan atau gambar, sehingga terlihat oleh
umum, atau memperdengarkan suatu rekaman sehingga terdengar oleh umum, yang
berisi tindak pidana sebagaimana dimaksud dalam Pasal 341 atau Pasal 343,
dengan maksud agar isi tulisan, gambar, atau rekaman tersebut diketahui atau lebih
ditahui oleh umum, dipidana dengan pidana penjara paling lama 7 (tujuh) tahun
atau denda paling banyak Kategori IV.
(2)
Jika
pembuat tindak pidana sebagaimana dimaksud pada ayat (1) melakukan perbuatan
tersebut dalam menjalankan profesinya dan pada waktu itu belum lewat 2 (dua)
tahun sejak adanya putusan pemidanaan yang telah memperoleh kekuatan hokum
tetap karena melakukan tindak pidana yang sama, maka dapat dijatuhi pidana
tambahan berupa pencabutan hak untuk menjalankan profesi tersebut.
Penghasutan
untuk Meniadakan Keyakinan terhadap Agama
Pasal
345
Setiap orang yang di muka umum
menghasut dalam bentuk apapun dengan maksud meniadakan keyakinan terhadap agama
yang dianut di Indonesia, dipidana dengan pidana penjara paling lama 4 (empat)
tahun atau denda paling banyak Kategori IV.
Bagian
II
Tindak
Pidana terhadap Kehidupan Beragama dan Sarana Ibadah
Gangguan
terhadap Penyelenggaraan Ibadah dan Kegiatan Keagamaan
Pasal
346
(1)
Setiap
orang yang mengganggu, merintangi, atau dengan melawan hukum membubarkan dengan
cara kekerasan atau ancaman kekerasan terhadap jamaah yang sedang menjalankan
ibadah, upacara keagamaan, atau pertemuan keagamaan, dipidana dengan pidana
penjara paling paling lama 3 (tiga) tahun atau denda paling banyak Kategori IV.
(2)
Setiap
orang yang membuat gaduh di dekat bangunan tempat untuk menjalankan ibadah pada
waktu ibadah sedang berlangsung, dipidana dengan pidana denda paling banyak
Kategori II.
Pasal
347
Setiap orang yang di muka umum
mengejek orang yang sedang menjalankan ibadah atau mengejak petugas agama yang
sedang melakukan tugasnya, dipidana dengan pidana penjara paling lama 2 (dua)
tahun atau denda paling banyak Kategori III.
Perusakan
Tempat Ibadah
Pasal
348
Setiap orang yang menodai atau
secara melawan hukum merusak atau membakar bangunan tempat beribadah atau benda
yang dipakai untuk beribadah, dipidana dengan pidana penjara paling lama 5
(lima) tahun atau denda paling banyak Kategori IV.
Jika
dalam KUHP lama hanya ada satu pasal yang dikaitkan dengan penodaan agama (pasal
156ª), dalam RUU KUHP, satu pasal itu direntang menjadi 8 pasal. Tindak pidana terhadap agama yang termaktub dalam RUU
KUHP terdiri dari dua bagian, yaitu tindak pidana terhadap agama dan tindak
pidana terhadap kehidupan beragama. Bagian pertama berisi penghinaan terhadap
agama yang terdiri dari 4 pasal (pasal
341-344). Pada bagian ini, RUU KUHP sebenarnya melanjutkan KUHP lama soal delik
agama, tepatnya delik terhadap agama.
Karena itu, yang ingin dilindungi oleh bagian ini adalah agama itu sendiri. Perlindungan
itu diberikan untuk melindungi agama dari tindakan penghinaan.
Hal-hal
yang dipandang sebagai penghinaan terhadap agama antara lain adalah penghinaan
terhadap agama (341), menghina keagungan Tuhan, firman, dan sifat-Nya (342);
mengejek, menodai, atau
merendahkan agama, Rasul, Nabi, Kitab Suci, ajaran agama, atau ibadah keagamaan
(343); menyiarkan, mempertunjukkan, menempelkan tulisan, gambar,
memperdengarkan rekaman yang berisi tindak pidana sebagaimana dimaksud dalam
pasal 341-343 (344 ayat 1); penghasutan untuk meniadakan keyakinan terhadap agama
yang dianut di Indonesia (345).[11]
Pertanyaan yang bisa didiskusikan
dalam masalah ini adalah sejauhmana negara mempunyai kewenangan untuk memberi
perlindungan terhadap agama? Benarkah ada yang namanya delik agama? Kalau ada,
apakah delik agama bisa memenuhi syarat kriminalisasi sebagaimana dikenal dalam
hukum pidana?[12]
Sebagaimana telah diuraikan, delik
agama dalam KUHP diperkenalkan oleh Prof. Oemar Seno Adji dengan
argumen-argumen yang sebagian telah dijelaskan di atas. Penulis cenderung
berpendapat, bahwa hukum pidana tidak sepatutnya diarahkan untuk melindungi
agama, karena pada dasarnya keberadaan agama tidak memerlukan perlindungan dari
siapapun, termasuk negara. Perlindungan negara dalam bentuk undang-undang
akhirnya ditujukan pada pemeluk agama, bukan agama itu sendiri. Terlalu naif
kalau sebuah undang-undang yang relatif dan temporer sifatnya bermaksud
melindungi sesuatu yang mutlak dan diyakini berasal dari Tuhan. Yang absolut
tidak bisa disandarkan pada yang relatif. Karena itu, delik agama dalam RUU
KUHP yang bermaksud melindungi agama jelas merupakan kesalahan berpikir.
Selain itu, perluasan delik agama
ini terlihat mengarah pada over kriminalisasi (overcriminalization). Seharusnya yang diproteksi melalui hukum
pidana adalah freedom of religion. Kalau
hal ini yang dilindungi, maka menurut hukum hak asasi manusia internasional,
yang dilindungi adalah respecting
people’s rights to practice the religion of their choice, bukan melindungi respecting religion. Sedangkan yang diatur dalam Rancangan KHUP ini
lebih banyak ditujukan pada perlindungan respecting
religion ketimbang respecting people’s rights to practice the religion of their choice.[13]
Indonesia sebagai bangsa majemuk
yang terdiri dari bermacam-macam agama dan kelompok-kelompok agama, sudah
seharusnya mengembangkan suatu paradigma freedom
of religion, yakni seluruh keyakinan agama yang hidup dan berkembang di
masyarakat dilindungi bukan untuk diseragamkan sesuai dengan keyakinan kelompok
mainstream. Namun sayangnya, dalam beberapa tahun belakangan ini, bangsa kita
sedang dihadapkan pada persoalan krusial, yakni hilangnya toleransi yang sudah
sejak lama dipupuk sebagai bagian dari modal sosial yang paling berharga bagi
bangsa.
Indonesia sebagai negara yang
toleran seakan tidak mampu menghilangkan sikap-sikap intoleran yang dilakukan
oleh kelompok-kelompok yang menginginkan unifikasi pandangan keagamaan. Apalah
jadinya jika sikap-sikap intoleran yang dibarengi dengan aksi kekerasan menjadi
trade mark baru bagi bangsa
Indonesia. Karena itulah, pemaksaan keyakinan dan praktik agama sesuai dengan
keyakinan dan pratik keagamaan mainstream sesungguhnya tidak bisa memahami
perbedaan pandangan dan praktik keberagamaan yang terjadi dalam proses menuju
jalan Tuhan.
Dalam
konteks inilah, cukup praktik kehidupan beragama (pasal-pasal bagian II RKUHP)
yang diatur dalam perundang-undangan karena memang inilah yang mesti mendapat
perlindungan dari negara. Dalam hal ini, negara semestinya melindungi hak-hak
setiap warga negara yang ingin melakukan praktik ritual keagamannya secara
bebas. Lagi pula untuk membuktikannya tidak mengalami kesulitan karena ukuran
yang dijadikan sebagai tolak ukur untuk menentukan apakah perbuatan itu
melanggar hukum atau tidak mudah didapatkan. Perbuatan merintangi, mengganggu
dan membubarkan kekerasan terhadap jamaah yang sedang beribadah, merusak atau
membakar tempat ibadah adalah perbuatan yang jelas ukurannya dan tidak sulit
untuk membuktikannya.
Dengan
cara pandang demikian, maka negaralah yang melindungi agama masyarakatnya, apa
pun agamanya tanpa adanya tudingan sesat, kehidupan beragama akan lebih
mengarah pada orientasi yang toleran, damai, tanpa kekerasan. Jika negara hanya
memihak pada agama resmi dengan segala tafsir yang dimilikinya, maka negara
gagal mengelola kemajemukan agama di masyarakat. Karena itulah, 8 pasal dalam
Rancangan KUHP sudah sepantasnya disederhanakan untuk kepentingan jaminan
kebebasan beragama. Maka cukup pasal-pasal yang mengatur tindak pidana terhadap
kehidupan beragama dan sarana ibadah (pasal 346-348).
Dengan
demikian, sudah sepantasnya pasal-pasal yang terdapat dalam bagian tentang Tindak Pidana terhadap Agama ditinjau
ulang. Selama tidak ada kejelasan tentang sesuatu yang diatur dalam pasal-pasal
tersebut, yang bisa berakibat pada perselesihan pemahaman, maka lebih baik
dihapus. Bukankah ketidakjelasan tentang apa yang diatur itu akan berakibat
pada kesulitan untuk membuktikannnya. Peninjauan ulang pasal penodaan agama itu
(pasal 341-344 RUU KUHP) dengan mempertimbangkan beberapa alasan sebagai
berikut:
1. Pasal-pasal tersebut lebih
diorientasikan untuk melindungi dan memproteksi agama, bukan memproteksi
kebebasan beragama. Yang diperlukan dalam hal ini adalah memproteksi jaminan
kebebasan beragama, bukan perlindungan terhadap agama.
2. Pasal-pasal agama multi tarsir.
Hakim biasanya akan mengikuti pendapat mayoritas, sehingga sangat potensial
penindasan atas paham keagaamaan yang non-mainstream oleh kelompok mainstream.
Akibat lebih jauh kelompok mainstream akan dengan mudah menuduh seseorang
melakukan tindak pidana agama, apalagi kalau tuduhan tersebut digerakkan
melalui provokasi massa.
3. Definisi agama hanya mencakup agama
yang diakui oleh negara, tidak mencakup kepercayaan lokal. Akibatnya, menghina
keyakinan lokal masyarakat adat dianggap bukan sebagai penodaan agama.
4. Definisi pelaku dan korban (subyek
dan obyek hukum) tidak jelas. Adakah tindak pidana terhadap agama? Jika
seseorang melakukan tindak pidana agama, pada dasarnya bukan tindak pidana
terhadap agama tapi tindak pidana terhadap umat beragama.
5.
Pasal-pasal
penodaan agama dapat dimasukkan dalam pasal-pasal lain dalam RUU KUHP tentang
penghinaan terhadap golongan penduduk pasal 286-287. Bunyinya: Pasal 286: “setiap orang yang di muka umum melakukan
penghinaan terhadap satu atau beberapa golongan penduduk Indonesia yang dapat
ditentukan berdasar ras, kebangsaan, etnik, warna kulit, dan agama, atau
kelompok yang dapat ditentukan berdasarkan jenis kelamin, umur, cacat mental,
atau cacat fisik yang berakibat timbulnya kekerasan terhadap orang atau barang,
dipidana dengan pidana penjara paling lama 4 (empat) tahun atau pidana denda
paling banyak kategori IV.” Pasal 287: “(1) Setiap orang yang menyiarkan, mempertunjukkan, atau menempelkan tulisan
atau gambar sehingga terlihat oleh umum, atau memperdengarkan rekaman sehingga
terdengar oleh umum, yang berisi pernyataan permusuhan dengan maksud agar
isinya diketahui atau lebih diketahui oleh umum, terhadap satu atau beberapa
golongan penduduk Indonesia yang dapat ditentukan berdasar ras, kebangsaan,
etnik, warna kulit, dan agama, atau terhadap kelompok yang dapat ditentukan berdasarkan jenis kelamin, umur,
cacat mental, atau cacat fisik yang berakibat timbulnya kekerasan terhadap
orang atau barang, dipidana dengan pidana penjara paling lama 4 (empat) tahun
atau pidana denda paling banyak kategori IV.
Sedangkan
menyangkut pasal 345 RUU KUHP tentang Penghasutan untuk Meniadakan Keyakinan
terhadap Agama perlu mendapat perhatian serius. Pasal 345 dirumuskan: “Setiap orang yang di
muka umum menghasut dalam bentuk apapun dengan maksud meniadakan keyakinan
terhadap agama yang dianut di Indonesia, dipidana dengan pidana penjara paling
lama 4 (empat) tahun atau denda paling banyak Kategori IV.” Pasal ini ingin mengkriminalisasi
terhadap orang yang di depan umum menghasut orang lain untuk tidak beragama atau mengajak pindah agama. Orang yang berpindah agama atau tidak beragama itu
sendiri tidak dianggap perbuatan kriminal, tapi orang yang “menghasut” dianggap
kriminal.
Penulis berpendapat bahwa pasal ini sangat
potensial menimbulkan ketegangan antar umat beragama, terutama agama-agama
misionaris seperti Islam dan Kristen. Orang yang berdakwah di televisi atau
radio untuk “mengajak” orang yang berbeda agama untuk masuk pada agama si
pendakwah, bisa dikatakan telah melakukan tindak kriminal. Kata “menghasut” itu
sendiri sangat multitafsir karena orang berceramah bisa juga dikatakan sebagai
hasutan bagi orang yang merasa keyakinannnya terancam. Oleh karena itu, pasal
ini lebih tepat diarahkan sebagai bentuk perlindungan pada keyakinan keagamaan
individu dari kemungkinan pemaksaan dan ancaman orang lain untuk pindah agama.
Oleh karena itu, krimiminalisasi bukan dengan kata “mengahasut” yang bisa multi tafsir, tapi harus disertai dengan
unsur “paksaan” dan “ancaman”. Dengan demikian rumusan pasal 345 bisa berbunyi:
“Setiap orang yang memaksa dan atau mengancam
orang lain dalam bentuk apapun dengan
maksud meniadakan keyakinan keagamaan, dipidana dengan pidana penjara paling
lama 4 (empat) tahun atau denda paling banyak Kategori IV.”
Tindak Pidana terhadap Kehidupan
Beragama
Pasal-pasal yang mengatur soal
tindak pidana terhadap kehidupan beragama dan sarana ibadah menjadi tolak ukur
krusial bagi kebebasan beragama bagi masyarakat yang beragama. Dalam konteks
ini, apakah negara menjamin kebebasan beragama masyarakat atau justru
menjustifikasi kekerasan atas nama agama.
Delik pidana terhadap kehidupan beragama dimaksudkan
untuk melindungi umat beragama dari berbagai perbuatan yang dianggap sebagai
tindak pidana. Dalam RUU KUHP terdapat beberapa hal yang dipandang perumus RUU
KUHP sebagai hal yang harus dilindungi dari perbuatan tertentu. Perlindungan
terhadap umat beragama itu dirumuskan dalam beberapa bentuk: mengganggu, merintangi,
membubarkan dengan kekerasan atau ancaman kekerasan terhadap jamaah yang sedang menjalankan ibadah, upacara
keagamaan, atau pertemuan keagamaan (346 ayat 1); membuat gaduh di dekat
bangunan tempat ibadah pada waktu ibadah sedang berlangsung (346 ayat 2);
mengejek orang yang sedang menjalankan ibadah atau mengejak petugas agama yang
sedang melakukan tugasnya (347); menodai, merusak atau membakar bangunan tempat
beribadah atau benda yang dipakai untuk beribadah (348).
Meski secara garis besar penulis bisa
menerima delik penodaan terhadap kehidupan beragama, namun tetap saja perlu
diwaspadai kemungkinan kesewenang-wenangan yang justru bisa mengancam kebebasan
kehidupan beragama. Misalnya saja, apa yang dimaksud “...membuat gaduh di dekat bangunan tempat ibadah...”, “....mengejek
orang yang sedang menjalankan ibadah...” atau siapa yang dimaksud dengan “petugas agama”. Hal-hal demikian perlu
dirumuskan secara lebih tajam agar rumusan tersebut tidak justru merusak
harmoni kehidupan beragama.[]
Lampiran:
LANGIT
MAKIN MENDUNG
(Majalah Sastra,
Th. VI. No. 8, Edisi Agustus 1968 / Sumber: Dok. PDS H.B
Jassin)
Lama-lama mereka bosan juga dengan status pensiunan nabi di sorga loka.
Petisi dibikin, mohon (dan bukan menuntut) agar pensiunan-pensiunan diberi
cuti bergilir turba ke bumi, yang konon makin ramai saja.
"Refreshing sangat perlu. Kebahagiaan berlebihan justru
siksaan bagi manusia yang bisa berjuang. Kami bukan malaikat atau burung
perkutut. Bibir-bibir kami sudah pegal dan kejang memuji kebesaranMu; beratus
tahun tanpa henti."
Membaca petisi para nabi, Tuhan terpaksa menggeleng-gelengkan kepala. Tak
habis pikir pada ketidakpuasan di benak manusia….Dipanggil penanda-tangan
pertama: Muhammad dari Madinah, Arabia. Orang bumi biasa memanggilnya
Muhammad S.A.W.
"Daulat, ya Tuhan."
"Apalagi yang kurang di sorgaku ini? Bidadari jelita berjuta, sungai
susu, danau madu. Buah apel emas, pohon limau perak. Kijang-kijang platina,
burung-burung berbulu intan baiduri. Semua adalah milikmu bersama, sama rasa
sama rata!"
"Sesungguhnya bahagia lebih dari cukup, bahkan tumpah ruah
melimpah-limpah."
"Lihat rumput-rumput jamrud di sana, bunga-bunga mutiara
bermekaran."
"Kau memang maha kaya. Dan manusia alangkah miskin, melarat
sekali."
"Tengok permadani sutera yang kau injak. Jubah dan sorban cashmillon
yang kau pakai. Sepatu Aladdin yang bisa terbang. Telah kuhadiahkan segala
yang indah-indah!"
Muhammad tertunduk, terasa betapa hidup manusia hanya jalinan-jalinan
penyadong sedekah dari Tuhan. Alangkah nista pihak yang selalu mengharap
belas kasihan. Ia ingat waktu sowan ke sorga dulu dirinya hanya
sekeping jiwa telanjang.
"Apa sebenarnya kau cari di bumi? Kemesuman, kemunafikan, kelaparan,
tangis dan kebencian sedang berkecamuk hebat sekali."
"Hamba ingin mengadakan riset." jawabnya lirih.
"Tentang apa?"
"Akhir-akhir ini begitu sedikit umat hamba yang masuk sorga."
"Ah, itu kan biasa. Kebanyakan mereka dari daerah tropis kalau tak
salah?"
"Betul, Kau memang Maha Tahu."
"Kemarau
lewat panjang di sana.
Terik matahari terlalu lama membakar otak-otak mereka yang bodoh " kata
Tuhan sambil meletakkan kacamata model kuno dari emas yang
diletakkannya di atas meja yang terbuat dari emas pula.
"Bagaimana, ya Tuhan?"
"Umatmu banyak kena tusukan sinar matahari. Sebagian besar berubah
ingatan, lainnya pada mati mendadak."
"Astaga! Betapa nasib mereka kemudian?"
"Yang pertama asyik membadut di rumah-rumah gila."
"Dan yang mati?"
"Ada stempel Kalimat-Syahadat dalam paspor mereka. Terpaksa raja
iblis menolak memberikan visa neraka untuk orang-orang malang itu."
"Heran, tak pernah mereka mohon suaka ke sini!" (kening sedikit
mengerut)
"Tentara neraka memang telah merantai kaki-kaki mereka di batu nisan
masing-masing."
"Apa dosa mereka gerangan? Betapa malang nasib umat hamba, ya
Tuhan!"
"Jiwa-jiwa mereka kabarnya mambu Nasakom. Keracunan
Nasakom!"
"Nasakom? Racun apa itu, ya Tuhan? Iblis laknat mana meracuni jiwa
mereka?"
Muhammad
S.A.W nampaknya gusar sekali. Sambil tinjunya mengepal ia memberi perintah,
"Usman, Umar dan Ali! Asah pedang kalian tajam-tajam!"
Tuhan hanya mengangguk-angguk, senyum penuh pengertian penuh kebapaan.
"Carilah sendiri fakta-fakta yang otentik. Tentang pedang-pedang itu
kurasa sudah kurang laku di pasar loak pelabuhan Jeddah. Pencipta Nasakom sudah
punya bom atom, kau tahu!"
"Singkatnya, hamba diizinkan turba (turun
ke bawah- red )ke bumi?"
"Tentu saja. Mintalah surat jalan pada Soleman yang bijak di
sekretariat. Tahu sendiri, dirasai polisi-polisi dan hansip paling sok iseng,
gemar sekali ribut-ribut perkara surat jalan."
"Tidak bisa mereka disogok?"
"Tidak, mereka lain dengan polisi dari bumi. Bawalah Jibrail serta
supaya tak sesat!"
"Daulat, ya Tuhan." kata Muhammad sambil bersujud penuh
sukacita.
***
Sesaat sebelum mereka berangkat sorga sibuk sekali. Timbang terima
jabatan ketua kelompok grup muslimin di sorga telah ditandatangani naskahnya.
Abu Bakar tercantum sebagai pihak penerima. Dan masih banyak lainnya.
"Wahai yang terpuji, jurusan mana yang paduka pilih?" Malaikat
Jibrail bertanya dengan takzim.
"Ke tempat jasadku diistirahatkan; Madinah, kau ingat? Ingin
kuhitung jumlah musafir-musafir yang ziarah. Disini kita hanya kenal dua
macam angka, satu dan tak terhingga."
Seluruh penghuni sorga menghantar ke lapangan terbang. Lagu-lagu padang
pasir terdengar merayu-rayu, tapi tanpa tari perut dan bidadari. Entah dengan
berapa juta lengan Muhammad S.A.W harus berjabat tangan. Nabi Adam a.s
sebagai pinisepuh tampil depan mikropon. Dikatakan bahwa penurbaan
Muhammad merupakan lembaran baru dalam sejarah manusia. Besar harapan akan
segera terjalin saling pengertian yang mendalam antara penghuni sorga dan
bumi.
"Akhir kata Saudara-saudara, hasil peninjauan on the spot
oleh Muhammad S.A.W harus dapat dimanfaatkan secara maksimal nantinya. Ya,
Saudara-saudara kita di bumi melawan rongrongan iblis-iblis neraka beserta
antek-anteknya. Kita harus bantu mereka dengan doa-doa dan
sumbangan-sumbangan pikiran yang konstruktif agar mereka semua mau ditarik ke
pihak Tuhan; sekian. Selamat jalan Muhammad! Hidup persatuan Rakyat Sorga dan
Bumi!"
"Ganyang!!!" (Berjuta suara menyahut serempak).
Muhammad
segera naik ke punggung buraq – kuda sembrani yang dulu jadi tunggangannya
waktu ia mi’raj. Secepat kilat buraq terbang ke arah bumi dan Jibrail yang
sudah tua terengah-engah mengikuti di belakang. Mendadak, sebuah sputnik
melayang di angkasa hampa udara.
"Benda apa di sana?" tanyanya keheranan.
"Orang bumi bilang sputnik! Ada tiga orang di dalamnya, ya
Rasul."
"Orang? Menjemput kedatanganku?" (Gembira)
"Bukan, mereka justru rakyat negara kapir terbesar di bumi. Pengikut
Marx dan Lenin yang ingkar Tuhan. Tapi pandai-pandai otaknya."
"Orang-orang malang. Semoga Tuhan mengampuni mereka. Aku ingin lihat
orang-orang kapir itu dari dekat. Ayo buraq!"
Buraq melayang deras menyilang arah sputnik mengorbit. Dengan pedang
apinya Jibrail memberi isyarat sputnik berhenti sejenak. Namun, sputnik Rusia
memang tidak ada remnya. Tubrukan tak dapat dihindarkan lagi. Buraq beserta
sputnik hancur jadi debu; tanpa suara, tanpa sisa. Kepala-kepala botak di
lembaga aeronautic di Siberia bersorak gembira.
"Diumumkan bahwa sputnik Rusia berhasil mencium planet tak dikenal.
Ada sedikit gangguan komunikasi…" terdengar siaran radio Moskow.
Muhammad dan Jibrail terpental ke bawah. Mujur mereka tersangkut di
gumpalan awan yang empuk bagai kapas.
"Sayang-sayang. Neraka bertambah tiga penghuni lagi." Bisik
Muhammad sedih. Sejenak dilontarkan pandangannya ke bawah. Hatinya tiba-tiba
berdesir ngeri.
"Jibrail, neraka lapis ke berapa di sana gerangan?"
"Paduka salah duga. Di bawah kita bukan neraka tapi baigan bumi yang
paling durhaka, Jakarta namanya. Ibu kota sebuah negeri dengan seratus juta
rakyat yang malas dan bodoh. Tapi ngakunya sudah bebas buta huruf."
"Tak pernah kudengar nama itu. Mana lebih durhaka, Jakarta atau
Sodom dan Gomorah?"
"Hampir sama."
"Ai, hijau-hijau di sana bukankah warna api neraka?"
"Bukan, Paduka! Itulah barisan sukwan dan sukwati guna mengganyang
negara tetangga, Malaysia."
"Adakah umatku di Malaysia?"
"Hampir semua, kecuali Cinanya tentu."
"Kalau begitu, kapirlah bangsa di bawah ini!"
"Sama sekali tidak, 90% dari rakyatnya orangnya Islam juga."
"90% (sambil wajah Nabi berseri), 90 juta ummatku! Muslimin dan
muslimat tercinta. Tapi tak kulihat masjid yang cukup besar. Di mana mereka bersembahyang
Jum’at?"
"Soal 90 juta hanya menurut statistik bumiawi yang ngawur. Dalam
catatan Abu Bakar di sorga, mereka tak ada sejuta yang betul-betul
Islam!"
"Aneh! Gilakah mereka?"
"Memang aneh!"
"Ayo Jibrail, segera kita tinggalkan tempat terkutuk ini. Aku selalu
rindu kepada Madinah!"
"Tidak inginkah paduka menyelidiki sebab-sebab keanehan itu?"
"Tidak, tidak di tempat ini. Rencana risetku di Kairo."
"Sesungguhnya Paduka nabi terakhir, ya Muhammad?"
"Seperti telah tersurat di kitab Allah." Sahutnya dengan rendah
hati.
"Tapi bangsa di bawah sana telah menabikan orang lain lagi."
"Apa peduliku dengan nabi palsu?"
"Umat Paduka hampir takluk pada ajaran nabi palsu: Nasakom!"
"Nasakom, jadi tempat inilah sumbernya. Kau bilang umatku takluk, nonsens!"
"Ya, Islam terancam. Tidakkah Paduka prihatin dan sedih?"
(Terdengar suara iblis, disambut tertawa riuh rendah)
Nabi tengadah ke atas.
"Sabda Allah tak akan kalah. Betatapun Islam, ia ada dan tetap ada
walau bumi hancur sekalipun!"
Suara nabi mengguntur dahsyat, menggema di bumi; di lembah-lembah, di
puncak-puncak gunung, kebun karet dan berpusat-pusat di laut lepas. Gaungnya
terdengar sampai ke sorga disambut takzim ucapan serentak :
"Aamin, amin, amin."
Neraka guncang. Iblis-iblis gemetar menutup telinga. Guntur dan cambuk petir
bersahut-sahutan.
"Baiklah, mari kita berangkat ya, Rasulullah!"
Muhammad tak hendak beranjak dari awan tempatnya berdiri. Hatinya bimbang
pedih dan dukacita. Wajahnya gelap, segelap langit mendung di kiri kanannya.
Jibrail menatap penuh tanda tanya, namun tak berani bertanya.
Musim hujan belum datang-datang juga. Di Jakarta banyak orang kejangkitan
influenza, pusing-pusing dan muntah-muntah. Naspro dan APC sekonyong-konyong
melonjak harga. Jangan dikata lagi pil vitamin C dan ampul penstrip. Kata
orang sejak pabriknya diambil alih bangsa sendiri, agen-agen naspro mati
kutu. Hanya apotik-apotik Cina dan tukang catut orang dalam leluasa mencomot
jatah lewat jalan belakang.
Koran sore Warta Bhakti menulis: di Bangkok 1000 orang mati kena
flu tapi terhadap flu Jakarta Menteri Kesehatan bungkam. Paginya Menteri
Kesehatan yang tetap bungkam dipanggil menghadap Presiden alias PBR (Pemimpin
Besar Revolusi).
"Zeg, Jenderal. Flu ini bikin orang mati apa tidak?"
"Tidak, Pak. Komunis yang berbahaya, pak."
"Ah, kamu. Komunisto phobi ya?"
Namun, meski tak berbahaya flu Jakarta tak sepandai polisi-polisinya, flu
tak bisa disogok, serangannya membabi buta tidak pandang bulu. Mulai dari
pengemis-pelacur-Nyonya Menteri-sampai Presiden diterjang semna-mena. Pelayan
istana geger. Menko-Menko menarik muka sedih dan pilu, Panglima terbalik
petnya karena gugup menyaksikan sang PBR muntah-muntah seperti perempuan
bunting muda.
Sekejab mata dokter-dokter dikerahkan, kawat telegram sibuk minta
hubungan rahasia ke Peking:
"Mohon segera dikirim tabib-tabib Cina yang kesohor, pemimpin besar
kami sakit keras. Mungkin sebentar lagi mati."
Kawan Mao di singgahsananya tersenyum-senyum. Dengan wajah penuh welas
asih ia menghibur kawan seporos yang sedang sakratul maut.
"Semoga lekas sembuh. Bersama ini rakyat Cina mengutus beberapa
tabib dan dukun untuk memeriksa penyakit Saudara. Terlampir obat kuat akar
Jinsom umur 1000 tahun. Tanggung manjur. Kawan nan setia: tertanda Mao."
(Pada tabib-tabib ia titipkan pula sedikit oleh-oleh untuk Aidit.)
Rupanya berkat khasiat obat kuat si sakit berangsur-angsur sembuh.
Sebagai orang beragama tak lupa mengucap syukur pada Tuhan yang telah
mengkaruniai seorang sahabat sebaik kawan Mao. Pesta diadakan. Tabib-tabib
Cina dapat tempat duduk istimewa. Untuk sejenak tuan rumah lupa agama,
hidangan daging babi dan kodok ijo disikat tandas-tandas. Kiai-kiai yang hadir
tersenyum-senyum kecut.
"Saudara-saudara, pers Nekolim gembar-gembor, katanya Soekarno
sedang sakit keras. Bahkan hampir mati katanya. (hadirin tertawa
mentertawakan kebodohan Nekolim). Wah, Saudara-saudara. Mereka itu selak
kemudu-mudu (keburu jamuran/keburu nunggu sampai berjamur-red) melihat
musuh besarnya mati. Kalau Soekarno mati mereka pikir Indonesia akan gampang
digilas, mereka kuasai seenak udelnya sendiri, seperti negerinya Tengku.
Padahal, (sambil menunjuk dada) lihat badan saya, Saudara-saudara!
Soekarno tetap segar bugar. Soekarno belum mau mati, kataku. (tepuk tangan
gegap gempita, tabib-tabib Cina tak mau ketinggalan) Insya Allah, saya belum
mau menutup mata sebelum pojok Nekolim Malaysia hancur lebur jadi debu!"
(tepuk tangan lagi)
Acara bebas dimulai. Dengan tulang-tulangnya yang sudah tua Presiden
menari lenso bersama gadis-gadis daerah Menteng yang spesial diundang.
Patih-patih dan Menteri tak mau kalah gaya. Tinggal para hulubalang cemas
melihat Panglima Tertinggi bertingkah seperti anak kecil urung disunat.
Dokter pribadinya berbisik,
"Tak apa. Baik buat ginjalnya. Biar kencing batu PJM tidak
kumat-kumat."
"Menyanyi! Menyanyi, dong Pak!" (gadis-gadis merengek)
"Baik, baik. Tapi kalian
yang mengiringi, ya!" (sambil bergaya burung onta)
Siapa bilang Bapak dari Blitar
Bapak ini dari Prambanan
Siapa bilang rakyat kita lapar.
Malaysia yang kelaparan…!
Mari kita bergembira! (Nada-nada
sumbang bau aroma champagne).
Di sudut gelap istana tabib Cina berbisik-bisik seorang Menteri,
"Gembira sekali nampaknya dia."
"Itu tandanya hampir mati."
"Mati?"
"Ya, mati. Paling tidak lumpuh. Kawan Mao berpesan sudah tiba
saatnya."
"Tapi kami belum siap."
"Kapan lagi? Jangan sampai keduluan klik Nasution."
"Tunggu saja tanggal mainnya!"
"Nah, sampai ketemu lagi!" (Tabib Cina tersenyum puas.)
Mereka berpisah.
Mendung makin tebal di langit, bintang-bintang bersinar guram (berpendar-red)
satu-satu. Pesta diakhiri dengan lagu langgam Kembang Kacang yang
dibawakan nenek-nenek kisut 68 tahun.
"Kawan lama Presiden." (bisik orang-orang)
Tamu-tamu permisi pamit. Perut kenyangnya mendahului kaki-kaki setengah
lemas. Beberapa orang muntah-muntah mabuk di halaman parkir…Sendawa mulut
mereka berbau alkohol. Sebentar-sebentar kiai mengucap ‘alhamdulillah’ secara
otomatis.
Menteri-menteri pulang belakangan bersama gadis-gadis, cari kamar sewa.
Pelayan-pelayan sibuk kumpulkan sisa-sisa makanan buat oleh-oleh anak istri
di rumah. Anjing-anjing istana mendangkur kekenyangan-mabuk anggur Malaga.
Pengemis-pengemis di luar pagar istana memandang kuyu, sesali nasib kenapa
jadi manusia dan bukan anjing!
***
Desas-desus Soekarno hampir mati-lumpuh cepat menjalar dari mulut ke
mulut. Meluas seketika, seperti loncatan api di kebakaran gubuk-gubuk
gelandangan di atas tanah milik Cina. Sampai juga ke telinga Muhammad dan
Jibrail yang mengubah diri jadi sepasang burung elang. Mereka bertengger di
puncak menara emas bikinan pabrik Jepang. Pandangan ke sekeliling begitu
lepas-bebas.
"Allahuakbar, nabi palsu hampir mati." Kata Jibrail sambil
mengepakkan sayap.
"Tapi ajarannya tidak. Nasakom bahkan telah mengoroti jiwa
prajurit-prajurit. Telah mendarah daging pada sebagian kiai-kiaiku."
Kata Muhammad sambil mendengus kesal.
"Apa benar yang Paduka risaukan?"
"Kenapa kau pilih bentuk burung elang ini dan bukan manusia? Pasti
kita akan dapat berbuat banyak untuk ummatku!"
"Paduka harap ingat; di Jakarta setiap hidung harus punya kartu
penduduk. Salah kena garuk razia gelandangan!"
"Lebih baik sebagai ruh, bebas dan aman."
"Guna urusan bumi wajib kita jadi sebagian dari bumi."
"Buat
apa?"
"Agar kebenaran tidak telanjang di depan kita."
"Tapi tetap di luar manusia?"
"Ya, untuk mengikuti gerak hati dan pikiran manusia justru sulit
bila satu dengan mereka."
"Aku tahu!"
"Dan dalam wujud yang sekarang mata kita tajam. Gerak kita
cepat!"
"Ah, ya. Kau betul, Tuhan memberkatimu jibrail. Mari kita keliling
lagi. Betatapun durhaka kota ini mulai kucintai."
Sepasang elang terbang di udara senja Jakarta yang berdebu menyesak dada
dan hidung mereka tercium asap knalpot dari beribu mobil. Diatas Pasar Senen
tercium bau timbunan sampah menggunung, busuk dan mesum. Kemesuman makin
keras terbau di atas Stasiun Senen. Penuh ragu Nabi hinggap di atas
gerbong-gerbong kereta daerah planet.
Pelacur-pelacur dan sundal asyik berdandan. Bedak penutup bopeng, gincu
merah murahan dan pakaian pengantin bermunculan. Di bawah gerbong beberapa
sundal tua mengerang-lagi palang merah-kena raja singa. Kemaluannya penuh
borok, lalat-lalat pesta menghisap nanah. Senja terkapar menurun diganti
malam bertebar bintang di sela-sela awan. Pemuda tanggung masuk kamar mandi
berpagar sebatas dada, cuci lendir. Menyusul perempuan gemuk penuh panu di
punggung, kencing dan cebok. Sekilas bau jengkol mengambang. Ketiak
berkeringat amoniak, hasil main akrobat di ranjang reot.
Di kamar lain, bandot tua asyik main pompa di atas perut perempuan muda
15 tahun. Si perempuan tak acuh dihimpit, sibuk cari tuma dan nyanyi lagu
melayu. Hansip repot-repot mengontrol, cari uang rokok.
"Apa yang Paduka renungkan?"
"Di negeri dengan rakyat Islam terbesar, mereka begitu bebas berbuat
cabul!" (menggelengkan kepala).
"Mungkin pengaruh ajaran Nasakom! Sundal-sundal juga soko guru
revolusi," kata si Nabi palsu.
"Ai, binatang hina yang melata. Mereka harus dilempari batu sampai
mati. Tidakkah Abu Bakar, Umar dan Usman teruskan perintahku pada kiai-kiai
disini? Berzina, langkah kotor bangsa ini. Batu mana batu!"
"Batu-batu mahal disini. Satu kubik dua ratus rupiah, sayang bila
hanya untuk melempari pezina-pezina. Lagipula…."
"Cari di sungai dan di gunung-gunung!"
"Batu-batu di seluruh dunia tak cukup banyak guna melempari
pezina-pezinanya. Untuk dirikan mesjid saja masih saja kekurangan. Paduka
lihat?"
"Bagaimanapun tak bisa dibiarkan!" (Nabi merentak).
"Sundal-sundal diperlukan di negeri ini ya, Rasul."
"Astaga! Sudahlah Iblis menguasai dirimu Jibrail?"
"Tidak Paduka, hamba tetap sadar. Dengarlah penuturan hamba. Kelak
akan lahir sebuah sajak, begini bunyinya :
Pelacur-pelacur kota Jakarta
Naikkan tarifmu dua kali
dan mereka akan kelabakan
mogoklah satu bulan
dan mereka akan puyeng
lalu mereka akan berzina
dengan istri saudaranya
"Penyair gila! Cabul!"
"Kenyataan
yang bicara. Kecabulan terbuka dan murah justru membendung kecabulan laten di
dada-dada mereka. (Muhammad membisu, wajah muram durja). Di depan toko buku
Remaja suasana meriak kemelut, ada copet tertangkap basah. Tukang-tukang
becak mimpin orang banyak menghajarnya ramai-ramai. Si copet jatuh bangun
minta ampun meski hati geli mentertawakan kebodohannya sendiri: hari nahas,
ia keliru jambret dompet kosong milik kopral sedang preman kosong milik
Kopral setengah preman. Hari nahas selalu berarti tinju-tinju, tendangan
sepatu dan cacian tak menyenangkan. Tapi itu rutin belaka.
Polisi-polisi Senen tak acuh melihat tontonan sehari-hari: orang mengeroyok
orang sebagai kesenangan. Mendadak sosok baju hijau muncul, menyelak di
tengah. Si copet diseret keluar dibawa entah kemana. Orang-orang merasa
kehilangan mainan kesayangannya, melongo.
"Dia jagoan Senen; anak
buah Syafii, raja copet!"
"Orang tadi mencuri tidak?" (pandangan Nabi penuh selidik).
"Betul. Orang sini menyebutnya copet atau jambret."
"Kenapa mereka hanya sekali pukul si tangan panjang? Mestinya
dipotong tangan celaka itu. Begitu perintah Tuhan kepadaku dulu."
"Mereka tak punya pedang, ya Rasul."
"Toh, bisa diimpor!"
"Lalu dengan apa bangsa ini berperang?"
"Dengan omong kosong dan bedil-bedil utangan dari Rusia."
"Negara kapir itu?"
"Ya, sebagian lagi dari Amerika. Negara penyembah harta dan
dolar."
"Sama
jahat keduanya pasti!"
"Dunia sudah berobah gila!" (mengeluh).
"Ya, dunia sudah tua!"
"Padahal kiamat masih lama."
"Masih banyak waktu ya, Nabi!"
"Banyak waktu untuk apa?"
"Untuk mengisi kesepian
kita di sorga."
"Betul-betul,
sesungguhnya tontonan ini mengasyikkan, meskipun kotor. Akan kuusulkan
dipasang TV di sorga."
Kedua elang jelmaan terbang Nabi dan Jibrail itu terbang di gelap malam.
"Jibrail! Coba lihat! Ada orang berlari-lari anjing ke sana! Hatiku
tiba-tiba merasa tak enak…"
"Hamba berperasaan sama. Mari kita ikuti dia, ya Muhammad."
Sebentar
kemudian diatas sebuah pohon pinang yang tinggi mereka bertengger. Mata tajam
mengawasi gerak-gerik orang berkaca mata.
"Siapa dia? Mengapa begitu gembira?"
"Jenderal-jenderal menamakannya Durno, Menteri Luar Negeri merangkap
pentolan mata-mata."
"Sebetulnya siapa dia menurut kamu?"
"Dia hanya Togog, begundal-begundal raja angkara murka."
"Ssst! Surat apa di tangannya itu?"
"Dokumen."
"Dokumen?"
"Dokumen Gilchrist, hamba dengar tercecer di rumah Bill
Palmer."
"Gilchrist? Bill Palmer? Kedengarannya seperti nama kuda!"
"Bukan, mereka orang-orang Inggris dan Amerika."
"Ooh."
Di bawah sana Togog melonjak kegirangan. Sekali ini betul-betul makan
tangan, nemu jimat gratis. Kertas kumal mana ia yakin bakal bikin geger
dunia. Tak henti-henti diciuminya jimat wasiat itu. Angannya mengawang,
tiba-tiba senyum sendiri.
"Sejarah akan mencatat dengan tinta emas: Sang Togog berhasil
telanjangi komplotan satria-satria pengraman baginda raja."
Terbayang gegap gempita pekik sorak rakyat pengemis di lapangan Senayan.
"Hidup Togog, putra mahkota! Hidup Togog, calon baginda kita!"
Sekali lagi
ia senyum-senyum sendiri. Baginda tua hampir mati, raja muda togog segera
naik takhta, begitu jenderal selesai-selesai dibikin mati kutunya. Pintu
markas BPI (badan pusat intelijen) ditendang keras-keras tiga kali. Itu
kode!
"Apa kabar Yang Mulia Togog?"
"Bikin banyak-banyak fotokopi dari dokumen ini! Tapi awas, top
secret. Jangan sampai bocor ke tangan dinas-dinas intel lain. Lebih-lebih
intel AD."
"Tapi ini otentik apa tidak, Pak Togog? Pemeriksaan
laboratoris?"
"Baik, baik yang mulia" (pura-pura ketakutan)
"Nah, kan begitu. BPI Togog harus disiplin dan taat tanpa reserve
pada saya tanpa hitung-hitung untung atau rugi. Semua demi
revolusi yang belum selesai!"
"Betul, Pak; eh, yang mulia."
"Jadi kapan selesai?"
"Seminggu lagi, pasti beres."
"Kenapa begitu lama?"
"Demi security, Pak. Begitu saya baca dari buku-buku
komik detektif."
"Bagus, kau rajin meng-up-grade diri. Soalnya begini saya
mesti lempar copy-copy itu depan hidung para panglima waktu briefing
dengan PBR (Pemimpin Besar Revolusi-red). Gimana?"
"Besok, juga bisa asal uang lembur dibayar dimuka."
Togog
meluruskan seragam dewanya. Dan gumpalan uang puluhan ribu keluar dari
kantong belakang. Sambil tertawa senang ditepuk-tepuknnya punggung
pembantunya.
"Diam! Diam! Dokumen ini bakal bikin kalang kabut Nekolim dan
antek-anteknya dalam negeri."
"Siapa mereka?"
"Siapa lagi? Natuurlijk de zogenaamde ‘our local army friends’.
Jelas toh?"
Sepeninggal
Togog jimat ajaib ganti berganti dibaca jin-jin liar atau setan-setan bodoh
penyembah Dewa Mao nan agung. Mereka jadi penghuni markas Badan Pusat
Intelijen secara gelap sejak bertahun-tahun. Syhadan, desas-desus makin laris
seperti nasi murah. Rakyat jembel dan kekerlak baju hijau rakus berebutan,
melahap tanpa mengunyah lagi.
"Soekarno hampir mati lumpuh; Jenderal kafir mau kup, bukti-bukti
lengkap di tangan partai!"
***
Sayang, ramalan dukun-dukun Cina sama sekali meleset. Soekarno tidak jadi
lumpuh, pincang sedikit Cuma. Dan pincang tak pernah bikin orang mati. Tanda
kematian tak kunjung tampak, sebaliknya Soekarno makin tampak muda dan segar.
Kata orang dia banyak injeksi H-3, obat pemulih tenaga kuda. Kecewalah
sang Togog melihat baginda raja makin rajin pidato, makin gemar menyanyi,
makin getol menari dan makin giat menggilir ranjang isteri-isteri yang entah
berapa jumlahnya.
Hari itu PBR dan Togog termangu-mangu beruda di Bogor. Briefing
dengan Panglima-panglima berakhir dengan ganjalan-ganjalan hati yang tak
lampias.
"Jangan-jangan dokumen itu palsu, hai Togog." (PBR
marah-marah).
"Ah, tak mungkin Pak. Kata pembantu saya jimat tulen."
"Tadinya sudah kau pelajari baik-baik?"
"Sudah pak. Pembantu-pembantu saya bilang siang malam mereka putar
otak dan bakar kemenyan."
"Juga sudah ditanyakan pada dukun-dukun klenik?"
"Lebih dari itu! Jailangkung bahkan memberi gambaran begitu
pasti!"
"Apa katanya?"
"Biasa, de bekendste op vrije voeten gesteld, altjid!"
"Ah, lagi-lagi dia. Nasution sudah saya kebiri dengan embel-embel
Menko Hankam-Kasab. Dia
tidak berbahaya lagi.
"Ya,
tapi jailangkung bilang CIA yang mendalangi ‘our local army
friends’."
"Gilchrist
toh orang Inggris, kenapa CIA campur adukkan?"
"Begini,
Pak. Mereka telah berkomplot. Semua gara-gara kita nuruti kawan Mao buka front baru
dengan konfrontasi Malaysia."
"Dunia tahu, Hanoi bisa bernapas sekarang. Paman Ho agak bebas dari
tekanan Amerika."
"Kenapa begitu?"
"Formil kita berhadapan dengan Inggris Malaysia. Sesungguhnya
Amerika yang kita rugikan: mereka harus memecah armadanya jadi dua. Sebagian
tetap mengancam RRT lainnya mengancam kita!"
"Mana lebih besar yang mengancam kita atau RRT?" (RRT= Republik
Rakyat Tjina; ejaan lama dari ‘Cina’-red).
"Kita. Itu sebabnya AD ogah-ogahan mengganyang Malaysia. Mereka
khawatir Amerika menjamah negeri ini. "
Soekarno tunduk. Keterangan Togog membuatnya sadar telah ditipu
mentah-mentah sahabat Cinanya. Kendornya tekanan Amerika berarti biaya
pertahanan negeri Cina dapat ditransfer ke produksi. Dan Indonesia yang
terpencil jadi keranjang sampah raksasa buat menampung barang-barang
rongsokan Cina yang tak laku di pasaran. Kiriman bom atom, upah mengganyang
Malaysia tak ditepati oleh Chen-Yi yang doyan omong kosong. PBR naik pitam.
"Togog, panggil Duta Cina kemari, sekarang!"
"Persetan dengan tengah malam. Bawa serdadu-serdadu pengawal itu
semua kalau kamu takut."
Seperti maling kesiram air kencing Togog berangkat di malam dingin kota
Bogor. Angan-angan untuk seranjang dengan gundiknya yang di Cibinong buyar.
Dua jam kemudian digiring masuk seorang Cina potongan penjual bakso. Dia Cuma
pakai piyama mulutnya berbau ang ciu dan daging babi.
"Ada apa malam-malam panggil saya? Ada rezeki nih!" (Duta Cina
itu sudah pintar ngomong Indonesia. Dan PBR senang pada kepintarannya).
"Betul, kawan. Malam ini juga kau harus pulang ke negeri leluhur.
Dan jangan kembali kemari sebelum dibekali oleh-oleh dari Chen Yi. Ngerti toh?"
"Buat apa bom atom, sih?" (Duta Cina menghafal kembali
instruksi dari Peking. Tentaramu belum bisa merawatnya. Jangan-jangan malah
terbengkalai jadi besi tua dan dijual ke Jepang. Ah, sahabat Ketua Mao; lebih
baik kau bentuk angkatan kelima. Bambu runcing lebih cocok untuk
rakyatmu."
"Gimana ini, Togog?"
"Saya khawatir bambu runcing lebih cocok untuk bocorkan isi perut
Cina WNA disini." (Togog
mendongkol).
"Jelasnya?" (tanya PBR dan Duta Cina serentak).
"Amerika mengancam kita gara-gara usul pemerintah kamu supaya
Malaysia diganyang. Ngerti, tidak?" (Cina itu mengangguk).
"Dan sampai sekarang pemerintahmu Cuma nyokong dengan omong
kosong!"
"Kami tidak memaksa, bung! Kalau mau stop konfrontasi,
silakan."
"Tak mungkin!" (PBR meradang). Betul or tidak, Gog?"
"Akur, pak! Konfrontasi mesti jalan terus. Saya jadi punya alasan
berbuat nekad."
"Nekad bagaimana?" (Cina menyipitkan matanya yang sudah sipit.)
"Begitu Amerika mendarat akan saya perintahkan potong leher semua
Cina-Cina WNA." (menggertak).
"Ah, jangan begitu kawan Haji Togog. Anda kan orang beragama!"
"Masa bodoh. Kecuali kalau itu bom segera dikirim."
"Baik, baik. Malam ini saya berangkat."
PBR mau tak mau kagum akan kelihaian Togog. Mereka berangkulan.
"Kau memang Menteri Luar Negeri terbaik di dunia."
"Tapi Yani jenderal terbaik, kata Bapak kemarin."
"Memang ada apa rupanya? Apa dia ogah-ogahan juga ganyang
Malaysia?"
"Maaf
PJM hal ini kurang jelas. Faktanya keadaan berlarut-larut hanya menguntungkan
RRT."
"Yani ragu-ragu?"
"Begitulah. Sebba PKI ikut jadi sponsor pengganyangan. Sedangkan
mayoritas AD anggap aksi ini tak punya dasar."
"Lalu
CIA dengan ‘our local army friends’ nya mau apa?"
"Konfrontasi harus mereka hentikan. Caranya mana kita bisa tebak?
Mungkin coba-coba membujuk dulu lewat utusan diplomat penting. Kalau gagal
cara khas CIA akan mereka pakai."
"Bagaimana itu?"
"Unsur-unsur penting dalam konfrontasi akan disingkirkan.
Soekarno-Subandrio-Yani dan PKI harus lenyap!"
Sang PBR mengangguk-angguk karena ngantuk dan setuju pada analisa buatan
Togog. Hari berikutnya berkicaulah Togog depan rakyat jembel yang haus
sensasi. Seperti penjual obat pinggir jalan, ia sering lupa mana propaganda
jiplakan dan mana hasil gubahan sendiri.
"Saudara-saudara, di saat ini ada bukti-bukti lengkap di tangan PJM
Presiden/PBR tentang usaha Nekolim untuk menghancurkan kita. CIA telah
mengkomando barisan algojonya yang bercokol dalam negeri untuk menyingkirkan
musuh-musuh besarnya. Waspadalah saudara-saudara Soekarno-Subandrio-Yani dan
rakyat progresif-revolusioner lainnya akan mereka musnahkan dari muka bumi.
Tiga orang ini justru dianggap paling berbahaya untuk majikan mereka di
London dan Washington.
"Tapi jangan gentar, Saudara-saudara! Saya sendiri tidak takut demi
Presiden/PBR dan demi revolusi yang belum selesai. Saya rela berkorban jiwa
raga. Sekali lagi tetaplah waspada. Sebab algojo-algojo tadi ada di antara
Saudara-saudara."
Rakyat bersorak kegirangan. Bangga punya Wakil Perdana Menteri berkaliber
Togog yang tidak gentar mati. Sejenak mereka luput perut-perut lapar ditukar
dengan kegemasan dan geram meluap-luap atas kekurangajaran nekolim.
Rapat diakhiri dengan membakar orang-orangan berbentuk Tengku sambil
menari-nari. Bendera-bendera Inggris dan Amerika yang susah payah dijahit
perempaun-perempuan mereka di rumah, diinjak-injak dan dirobek penuh rasa
kemenangan dan kepuasan luar biasa.
Setelah bosan mereka bubar satu-satu. Tinggal pemuda-pemudanya yang
melantur kesana kemari, bergaya tukang copet. Mereka ingin mencari tahu
algojo-algojo Nekolim yang dikatakan Togog barusan.
Di Harmoni segerombolan tukang becak asyik kasak-kusuk, bicara politik.
Kalau di Rusia Lenin bilang koki juga mesti milik politik, di Jakarta
tukang-tukang becak juga keranjingan ngomong politik.
"Katanya Dewan Jenderal mau coup. Sekarang Yani mau dibunuh,
mana yang benar?"
"Dewan Jenderal siapa pemimpinnya?"
"Pak Yani, tentu."
"Jadi Yani akan bunuh Yani. Gimana, nih?"
"Aaah! Sudahlah. Kamu tahu apa." (Suara sember.)
"Untung menteri luar negeri kita jago. Rencana nekolim bisa
dibocorin."
"Dia nggak takut mati?"
"Tentu
saja kapan dia sudah puas hidup-hidup. Berapa perawan dia ganyang!" (suara
sember menyela lagi).
Yang lain-lain tidak heran atau marah. Seakan sudah jamak Menteri
mengganyang perawan dan isteri orang.
***
Pengganyangan Malaysia yang makin bertele-tele segera dilaporkan PBR ke
Peking.
"Kawan-kawan seporos, harap bom atom segera dipaketkan, jangan
ditunda-tunda. Tentara kami sudah mogok berperang: Jenderal-Jenderal asyik
ngobyek cari rezeki dan prajurit-prajurit sibuk ngompreng serta nodong.
Jawaban dari Peking tak kunjung datang. Yang datang membanjir hanya textil,
korek api, senter, sandal, Pepsodent, tusuk gigi dan barang-barang
lain bikinan cina.
Soekarno
tiba-tiba kejatuhan ilham akan pentingnya berdiri di atas kaki sendiri. Rakyat
yang sudah lapar dimarahi habis-habisan karena tak mau makan lain kecuali
beras. Ubi, jagung, singkong, tikus, bekicot dan bahkan kadal, obat eksim
paling manjur.
"Saya sendiri dikira makan nasi tiap hari? Tidak! PBR-mu ini Cuma
kadang-kadang makan nasi sekali sehari. Bahkan sudah sebulan ini tidak makan
daging. Tanya saja Jenderal Saboer!"
"Itu Pak Leimena disana (menunjuk seorang kurus kering) dia lebih
suka makan sagu daripada nasi. Lihat Pak Seda bertubuh tegap (menunjuk
seorang bertubuh kukuh mirip tukang becak), dia tak bisa kerja kalau belum
sarapan jagung."
Paginya ramai-ramai koran memuat daftar menteri-menteri yang makan
jagung. Lengkap dengan potretnya sekali. Sayang, rakyat sudah tidak percaya
lagi, mereka lebih percaya pada pelayan-pelayan istana. Makan pagi Soekarno
memang bukan nasi, tapi roti panggang bikinan Perancis di Hotel Indonesia.
Guna mencegah darah tingginya kumat, dia memang tidak makan daging. Terpaksa
hanya telor goreng setengah matang dicampur sedikit madu pesanan dari Arab
sebagai pengiring roti. Menyusul buah apel kiriman Kosygin dari Moskow.
Namun rakyat tidak heran atau
marah. Seakan sudah jamak seorang presiden harus bohong dan buka mulut
seenaknya. Rakyat Indonesia rata-rata memang pemaaf dan baik hati. Kebohongan
dan kesalahan pemimpin selalu disambut dengan dada lapang. Hati mereka bagai
mencari, betapa pun langit makin mendung, sinarnya tetap ingin
menyentuh bumi.[]
|
Saat
Jibril Mampir di Monas, HB Jassin Masuk Penjara
(tempointeraktif.com/26 April
2006)
Judul Buku: Pleidoi Sastra: Kontroversi Cerpen “Langit
Makin Mendung” Ki Pandjikusmin
Penulis: Kipandjikusmin, H.B Jassin, Hamka, dll Editor: Mujib Hermani, Muhidin M. Dahlan Penerbit: Melibas, Jakarta Tebal: 484 halaman Cetakan I, 2004
Coba anda bayangkan, suatu waktu Nabi Muhammad yang
ditemani malaikat Jibril nangkring di pucuk Monas dan juga sampai di
lokalisasi di bilangan Pasar Senen. Kira-kira apa jadinya? Buku Pleidoi
Sastra: Kontroversi Cerpen “Langit Makin Mendung” Ki Pandjikusmin bisa
memberi sebuah kesaksian sekaligus jawaban atas pertanyaan itu.
Kurang lebih jawabannya begini: “Sepucuk belenggu bernama sensor akan mampir di meja redaksi majalah Sastra. Tapi tak cuma mampir, sensor itu juga membawa dua biji kado yang baunya agak sengak: (1) majalah itu dibredel kejaksaan dan (2) sang pemimpin redaksinya dihukum penjara selama satu tahun dengan masa percobaan dua tahun. Dakwaannya mengerikan: menghina agama Islam dan merusak akidah umat.” Pertanyaannya, apa benar Muhammad dan Jibril pernah ke Jakarta dan mampir di Monas dan Pasar Senen? Tentu saja tidak. Sebab, peristiwa mampirnya Muhammad dan Jibril ke Jakarta hanya ada dalam sebuah cerpen. Cerpen “nekat” itu berjudul Langit Makin Mendung. Penulisnya bernama Kipandjikusmin. Cerpen ini diterbitkan di halaman pertama majalah Sastra edisi Agustus 1968, yang mana Paus Sastra Indonesia, H.B. Jassin, menjadi Pemimpin Redaksinya. Akibat pemuatan cerpen itu, majalah Sastra dibredel kejaksaan dan dan H.B. Jassin sendiri divonis setahun penjara oleh pengadilan. Siapa sebenarnya Kipandjikusmin? Petunjuk yang bisa menerangkan siapa dia terlampau sedikit. Ia hanya diketahui berasal dari Yogyakarta. Sejak kasus ini mencuat, ia tak muncul lagi. Entah jika ia menggunakan nama lain. Akibatnya, hingga kini Kipandjikusmin masih menjadi misteri. Jassin sendiri di pengadilan bersitegang leher untuk sekukuhnya menolak membeberkan identitas Kipandjikusmin: keteguhan sikap yang cukup jadi alasan kita untuk memberinya standing ovation. Sebenarnya, seberapa hebat capaian literer Langit Makin Mendung? Pembaca tentu bisa menilai sendiri. Tapi pendapat Wiratmo Soekito bisa dinukilkan di sini. Mas Wir, demikian orang memanggilnya, menyebut cerpen itu dengan kalimat “…karangannya itu jelek dan merupakan kitsch.” (hal. 139). Cerpen ini memang hanya bisa mengumpulkan bahan-bahan mentah saja. Akibatnya, ia tak lebih dari sekadar guntingan-guntingan berita surat kabar yang kemudian disulam menjadi sebuah (pinjam frase-nya Bur Rusuanto) fucilleton editorial yang berpretensi literer. Dan memang bukan capaian literer yang membikinnya heboh. Kehebohannya lebih mirip kehebohan novel The Satanic Verses-nya Salman Rushdie. Banyak yang bilang, karya Rushdie Midnight Children jauh lebih mentereng untuk soal capaian literer. Tapi The Satanic Verses heboh mula-mula memang bukan karena kualitasnya, tapi karena tema dan alur ceritanya yang dinilai menghina Islam, Muhammad dan al-Qur’an. Langit Makin Mendung berkisah tentang Nabi Muhammad yang turun kembali ke bumi. Muhammad diijinkan turun oleh Tuhan setelah memberi argumen bahwa hal itu merupakan keperluan mendesak untuk mencari sebab kenapa akhir-akhir ini manusia lebih banyak yang dijebloskan ke neraka. Upacara pelepasan pun diadakan di sebuah lapangan terbang. Nabi Adam yang dianggap sebagai pinisepuh swargaloka didapuk memberi pidato pelepasan. Dengan menunggangi buraq dan didampingi Jibril, meluncurlah Muhammad. Di angkasa biru, mereka berpapasan dengan pesawat sputnik Russia yang sedang berpatroli. Tabrakan pun tak terhindar. Sputnik hancur lebur tak keruan. Sedang Muhammad dan Jibril terpelanting ke segumpal awan yang empuk. Tak dinyana, awan empuk itu berada di langit-langit Jakarta. Untuk menghindari kemungkinan tak terduga, Muhammad dan Jibril pun menyamar sebagai elang. Dalam penyamaran itulah, Muhammad berkeliling dan mengawasi tingkah polah manusia Jakarta dengan bertengger di pucuk Monas (yang dalam cerpen itu disebut “puncak menara emas bikinan pabrik Jepang”) dan juga di atas lokalisasi pelacuran di daerah Senen. Lewat dialog antara Muhammad dan Jibril maupun lewat fragmen-fragmen yang berdiri sendiri, Kipandjikusmin memotret wajah bopeng tanah air masa itu: negeri yang meski 90 persen Muslim, tetapi justru segala macam perilaku lacur, nista, maksiat dan kejahatan tumbuh subur. Lewat cerpen ini, Kipandjikusmin menyindir elit politik Indonesia dengan cara telengas. Soekarno disebutnya sebagai “nabi palsu yang hampir mati”. Soebandrio yang saat itu menjabat Menteri Luar Negeri disindirnya sebagai “Durno” sekaligus “Togog”. Cerpen diakhiri dengan sebuah sindiran halus tapi pedas; sebuah sindiran yang persis menancap di ulu hati kepribadian manusia negeri ini. Begini bunyinya: “Rakyat Indonesia rata-rata memang pemaaf serta baik hati. Kebohongan dan kesalahan pemimpin selalu disambut dengan lapang dada. Hati mereka bagai mentari, betapapun langit makin mendung, sinarnya tetap ingin menyentuh bumi.” Publikasi Langit Makin Mendung betul-betul menjadi pemantik yang melahirkan “prahara sastra yang panjang dan panas”. Dikatakan “panjang” karena polemik itu berlangsung hampir selama tiga tahun, dari 1968 hingga 1970, dan melahirkan puluhan artikel di media massa. Polemik itu juga melibatkan nama-nama besar dari lintas disiplin: Taufik Ismail, A.A. Navis, Goenawan Mohammad, Wiratmo Soekito, Bur Rusuanto, Bahrum Rangkuti hingga Hamka. Polemik pun menyentuh banyak aspek. Dari perdebatan sastra, hukum, politik, agama bahkan menyentuh sentimen nasionalisme (seorang penulis Malaysia yang memihak Jassin membikin seorang penulis Indonesia merasa tersinggung dan menyebutnya sebagai tamu tak tahu diri). Pertanyaannya, apa benar Kipandjikusmin sungguh-sungguh menghina Tuhan, Islam dan Nabi Muhammad? Bagi faksi yang anti, yang lantas dikukuhkan pengadilan, Langit Makin Mendung dianggap benar-benar telah menghina Islam. Faksi ini beranggapan, kebebasan mencipta tak berarti orang bebas menyiarkan pikiran dan tulisan sekenanya, lebih-lebih jika menyentuh aspek yang sudah nyata-nyata dilarang. Mereka berkeyakinan, menggambarkan nabi dan malaikat sebagai haram. Dan Kipandji dianggap telah melanggar dalil itu dengan lancang melukiskan Muhammad dan Jibril. Sekadar tambahan, dalam cerpen Langit Makin Mendung, Kipandji menyebut “Muhammad dan para nabi telah bosan tinggal di surga”. Jibril yang mengiring Muhammad juga digambarkan “kerepotan mengikuti Muhammad karena dinilai sudah terlampau renta”. Jassin menganggap tuduhan itu terlampau berlebihan. Langit Makin Mendung bagi Jassin tak lebih sebagai satire untuk mengkritik keburukan masyarakat. Pendapat ini didukung oleh, diantaranya, Wiratmo Soekito, A.A. Navis hingga Bur Rusuanto. Jassin menulis: “Pengarangnya hanya menggambarkan ‘ide tentang Tuhan dan Nabi’, bukannya menggambarkan Tuhan atau Nabi.” Dalam pleidoi-nya di pengadilan, Jassin meminta agar kebenaran sastrawi dibedakan dengan kebenaran agama atau ilmu pengetahuan. Kebenaran sastrawi berporoskan imajinasi. Dan imajinasi, tulis Jassin, “lebih daripada gagasan. Ia adalah keseluruhan kombinasi dari gagasan-gagasan, perasaan-perasaan, intuisi manusia.” (hal. 111). Tak cuma memuat puluhan artikel bermutu yang jadi bagian polemik panjang ini, buku Pleidoi Sastra: Kontroversi Cerpen Langit Makin Mendung Ki Pandjikusmin ini juga memuat cerpen Langit Makin Mendung yang menjadi pangkal polemik plus empat cerpen Kipandji lain. Di bagian akhir buku, disertakan pleidoi Jassin di pengadilan berikut notulensi tanya jawab Jassin dengan hakim dan jaksa. Buku ini karenanya sayang untuk diabaikan. Ia adalah momento yang patut dimiliki siapapun yang intens dengan masalah kesusateraan. Ia juga penting, lebih lebih jika kita hendak merenungkan bagaimana wacana kebebasan mencipta berhadapan dengan norma-norma agama dan sosial. Bukan pada tempatnya jika tulisan ini mendukung atau menolak pembredelan dan pemenjaraan Jassin. Tidak kalah penting kiranya untuk mengkalkulasi, bisakah terjadi dialog yang jernih diantara yang mendukung dan menampik? Jawabannya bisa “ya”, bisa pula “tidak”. Tapi sejarah bisa berkisah, betapa kubu yang menampik pembredelan lebih banyak kalah untuk kemudian dinistakan. Dalam ketakutan dan kebingungannya, kubu yang kalah akhirnya banyak yang menyerah dan lantas membelenggu dirinya sendiri. Saat itulah, pembredelan dan sensor ditahbiskan sebagai hal yang pasti benar. Bisa ditebak akhirnya, kita akan sukar membedakan: sebuah pendapat itu mengganggu ketertiban ataukah mengganggu tahta seseorang/kelompok yang berkuasa? Kiranya, paragraf pertama tulisan Goenawan Mohammad di buku ini (hal. 166) layak kita renungkan. Begini bunyinya: “Kita percaya pada kesusastraan: dan di sini, kita hanya percaya pada kesusastraan yang menentramkan dan bukan yang menggelisahkan.” Itulah. Jadi, jangan terlampau kejut seumpama naas yang menimpa Jassin itu datang menerpa kita suatu saat kelak. ZEN RACHMAT SUGITO Bekerja di Riset Independen Arsip Kenegaraan (RIAK) Jakarta |
Islam Agama yang "Gagal"
Oleh Rus'an* (Radar Sulteng / Kamis, 23 Juni 2005)
PENULIS suatu ketika pernah
melontarkan pernyataan yang membuat teman-teman yang mendengarnya agak
terkejut, pernyataan saya adalah "masih" berfungsikah agama"
pernyataan ini saya ungkapkan tidak lebih dari keprihatinan saya melihat
bangsa ini, bangsa Muslim terbesar di muka bumi tetapi juga bangsa yang
paling terkorup, fondasi moral yang rapuh merupakan sebab utama mengapa
setelah sekian lama kita merdeka, budaya korupsi, penyelewengan dan
sebangsanya, tampaknya juga belum mencapai titik jenuh. Yang terjadi adalah
gelombang korupsi semakin marak dan menghebat. Petualangan mereka (meminjam
istilah Syafii Maarif) dalam menggerogoti sendi-sendi perekonomian dan
keuangan negara dari hari ke hari semakin tidak tidak dapat dikontrol, inilah
tindakan kebiadaban yang dilakukan oleh para elit negara. Yang lebih parah
lagi adalah kasus dugaan korupsi yang dilakukan petinggi dan mantan petinggi Departemen
Agama.
Salah satu yang menjadi tersangka
adalah mantan menteri Agama, Said Agil Al-Munawarah, (Said artinya Bahagia,
Agil cerdas, Al Munawwar orang yang diberi cahaya), nama yang cukup bagus,
nama yang sangat Islami tapi sayang hanya tinggal nama besar, mereka
mempertontonkan sebuah kejahatan moral yang cukup dasyat, tokoh agama yang
seharusnya selalu menjadi teladan moral. Malah Dana Abadi Umat (DAU) 700
triliun menguap dengan mudah berkat kolusi dan korupsi. Pantas saja semua
orang lebih suka nonton sinetron dari pada mau mendengar nasihat-nasihat para
tokoh agama yang penuh dengan retorika belaka.
Tak berbeda jauh dengan judul di
atas yang mungkin banyak melukai perasaan saudara kita yang mangaku muslim,
saya cuplikkan dalam tulisan ini penggalan dari buku Dinamika Pemikiran Islam
di Perguruan Tinggi (Komaruddin Hidayat 1995) "mengapa agama yang
diyakini benar, hebat dan tinggi, dan di sisi lain realitas perilaku para
pemeluknya yang sama sekali berbeda dengan ajaran agamanya".
Dalam ajaran Islam ada sebuah
pernyataan yang biasanya diyakini oleh kaum Muslim sebagai sabda Nabi
Muhammad SAW yaitu penegasan bahwa "Islam itu sangat tinggi, dan
karenanya tidak ada yang lebih tinggi darinya. "Pernyataan itulah yang
kini sering didengungkan oleh para da'I untuk menegaskan bahwa Islam itu
hebat dan tinggi sehingga bila terjadi penyelewengan dan kezaliman yang
dipersalahkan adalah para penganutnya, karena dianggap tidak memahami
sekaligus tidak mempraktekkan ajaran agamanya secara benar". Dan jawaban
inilah yang dipakai oleh teman saya dalam sebuah diskusi kecil "bukan
agama yang gagal, tapi pelakunya yang tidak mengamalkan ajaran agama,"
demikian jawabannya secara spontan yang penuh dengan semangat dan sifat
frontal.
Sekilas memang argumen tersebut
bisa diterima. Tapi bila dikritisi, maka akan timbul pertanyaan "jika
ajaran Islam itu memang benar, hebat dan tinggi, tapi ternyata tidak mampu
mempengaruhi para pemeluknya, lalu dimana pembuktian kebenaran, kehebatan dan
ketinggian ajarannya itu? Dan apa gunanya ajaran Islam yang benar, hebat dan
tinggi itu tapi tidak mampu mempengaruhi perilaku pemeluknya?"
Dan kalau mau kata-kata yang lebih
keras, sebenarnya agama di Indonesia itu "gagal". Gagal semua.
Orang pergi ke mesjid, sembahyang, puasa, zakat, naik haji, dan sebagainya,
inilah perilaku beragama yang penuh dengan simbol, menurut Cak Nur orang
beragama seperti ini hanya berhenti pada simbol belaka, dan jelas tidak
berguna buat kemaslahatan umat. Kata Allport, cara beragama semacam ini tidak
akan melahirkan masyarakat yang penuh kasih sayang. Sebaliknya, kebencian,
iri hati dan fitnah, serta segala penyakit hati masih tetap berlangsung.
Mungkin praktek keagamaan seperti
inilah yangmembuat tokoh dunia sekaliber Karl Mark sangat kecewa dengan agama
dengan mengatakan "Agama merupakan candu bagi masyarakat. Agama
merupakan suatu minuman keras spritual". Inilah sikap karl Marx terhadap
agama. Agama dipandang sebagai penyebab penindasan, eksploitasi kelas dan
lebih jauh lagi penyebab munculnya imajinasi-imajinasi non produktif.
Sehingga kaum komunis menganggap agama sebagai racun dan harus dibinasakan
keberadaannya. (Vladimir Lenin, 1905). Berbagai bantahan dari tokoh Islam
dengan menyatakan bahwa pandangan Karl Marx itu sangat bertentangan dengan
Islam. Syamsuddin Ramadhan misalnya dengan tegas mengatakan bahwa Islam
memandang bahwa dibalik alam, kehidupan, dan manusia ada yang menciptakan,
yakni Alkhaliq. Walhasil Islam adalah agama sempurna dan agama yang diridloi
oleh Allat swt. "Dan Kami menurunkan kepadamu (Muhammad) al-Kitab untuk
menjelaskan segala sesuatu, da sebagai petunjuk, rahmat, dan khabar gembira
bagi orang Muslim" (Q.S.an Nahl:89).
Demikian ayat diatas sebagai
bantahan dari pandangan Marx terhadap agama. Tapi persolaannya apa yang
tertulis dalam kitab suci bukan realitas. Kita hidup dalam masyarakat bukan
dalam sebuah kitab suci. Bukankah realitas masyarakat kita adalah masyarakat
korup, bermental penindas, dan penuh dengan topeng-topeng agama. Boleh jadi
arwah Karl Marx akan berkata "bukankah kesimpulan saya dulu itu
benar?"
Akhirnya kepada semua elit bangsa,
elit agama, mari sejenak kita menengok ke belakang melihat bagaimana sebuah
tokoh yang kekuasaannya besar akhirnya tumbang karena meremehkan penderitaan
rakyat, Fir'aun, Haman, Qarun, dan Bal'am. Jalalddin Rahmat menggambarkan
watak semua tokoh ini seperti Fir'aun adalah penguasa yang korup, penindas
yang selalu merasa benar sendiri, tonggak sistem kezaliman dan kemusyrikan.
Haman mewakili kelompok teknokrat, ilmuwan yang menunjang tirani dengan melacurkan
ilmu. Qarun adalah cerminan kaum kapitalis, pemilik sumber kekayaan yang
dengan rakus mengisap seluruh kekayaan massa. Bal'am melambangkan kaum
ruhaniyun (kaum agamawan), tokoh-tokoh agama yang menggunakan agama untuk
melegitimasikan kekuasaan yang korup dan meninabobokan rakyat. Akhirnya
gabungan elit ini hancur karena tidak peka terhadap nurani rakyat kecil,
tidak mau mendengarkan kebenaran, dan tidak ingin menegakkan keadilan.
Dengan melihat realitas yang
terjadi seperti yang digambarkan di atas kita harus memutuskan apakah
"agama" masih memiliki makna bagi kehidupan manusia dimasa kini?
Bila jawabannya tidak, maka itulah agama yang gagal.
* Penulis adalah Dosen Yayasan Unismuh Palu, Magister Pendidikan
Sosiologi
|
[1]Prof. Barda Nawawi Arief, SH, Bunga Rampai Kebijakan Hukum Pidana, (Bandung:
Citra Aditya Bakti, 1996), h. 331.
[2]Prof. H. Oemar Seno Adji, Hukum (Acara) Pidana dalam Prospeksi, (Jakarta:
Erlangga, 1981), cet. 3, h. 79-80.
[3]Dalam penjelasan pasal ini
disebutkan bahwa tindak pidana yang dimaksud di sini ialah semata-mata (pada
pokoknya) ditujukan kepada niat untuk memusuhi atau menghina. Orang yang
melakukan tindak pidana tersebut di sini, di samping mengganggu ketenteraman
orang beragama pada dasarnya mengkhianati sila pertama dari negara secara
total, karena itu sudah sepantasnya kalau perbuatan itu dipidana.
[4]Lebih jauh penjelasan mengenai
hal ini baca Prof. H. Oemar Seno Adji, Hukum
(Acara) Pidana dalam Prospeksi, h. 71.
[5]Lebih jauh penjelasan mengenai
hal ini baca Prof. H. Oemar Seno Adji, Hukum
(Acara) Pidana dalam Prospeksi, h. 92, 100-102.
[6]Moh Mahfud MD, “Dilema Sifat Melawan Hukum”, Jawa Pos Jumat, 08 Sept
2006. Tulisan ini juga dipresentasikan dalam Seminar dan Workshop: Tinjauan
Kritis Pasal-Pasal Agama dalam R-KUHP, yang diselenggarakan the WAHID Institute
tanggal 6-7 September 2006 di Jakarta.
[11]Pasal 345 sebenarnya agak berbeda
dengan pasal-pasal sebelumnya. Jika pasal 341-344 lebih memberi perlindungan
terhadap agama, pasal 345 lebih menekankan perlindungan pada pemeluk agama.
Beberapa
syarat kriminalisasi sebagaimana dikenal dalam hukum pidana antara lain: 1) Jangan
menggunakan hukum pidana untuk pembalasan semata-mata; 2) Jangan menggunakan
hukum pidana bilamana korbannya tidak jelas; 3) Jangan menggunakan hukum pidana
untuk mencapai tujuan yang dapat dicapai dengan cara lain yang sama effektifnya
dengan kerugian yang lebih kecil (ultima
ratio principle); 4) Jangan menggunakan hukum pidana bilamana kerugian
akibat pemidanaan lebih besar daripada kerugian akibat tindak pidana sendiri;
5) Jangan menggunakan hukum pidana bilamana hasil sampingan (by product) yang ditimbulkan lebih merugikan
dibanding dengan perbuatan yang dikriminalisasikan; 6) Jangan menggunakan hukum
pidana apabila tidak mendapat dukungan luas masyarakat; 7) Jangan menggunakan
hukum pidana apabila diperkirakan tidak efektif (unenforceable); 8) Hukum pidana harus bisa menjaga keselarasan
antara kepentingan negara, kepentingan umum dan kepentingan individu; 9) Penggunaan
hukum pidana harus selaras dengan tindakan pencegahan yang bersifat non-penal (prevention without punishment); 10)
Perumusan hukum pidana harus dapat meredam faktor utama yang bersifat
kriminogin; 10) Perumusan tindak pidana harus dilakukan secara teliti dalam
menggambarkan perbuatan yang dilarang (precision
principle); 11) Prinsip differensiasi (principle
of differentiation) terhadap kepentingan yang dirugikan, perbuatan yang
dilakukan dan status pelaku dalam kerangka asas kulpabilitas. Lihat Muladi,
“Beberapa Catatan terhdap Buku II RUU KUHP”, disampaikan pada Sosialisasi
Rancangan Undang-undang KITAB UNDANG-UNDANG HUKUM PIDANA diselenggarakan oleh
Departemen Kehakiman dan HAM Hotel Sahid Jakarta – 24 Agustus 2004.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar