RANCANGAN
BUPATI KUDUS
PERATURAN DAERAH KABUPATEN KUDUS
NOMOR TAHUN
TENTANG
RETRIBUSI
PENGENDALIAN MENARA TELEKOMUNIKASI
DENGAN
RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA
BUPATI
KUDUS,
Menimbang : a. bahwa dalam
rangka melaksanakan ketentuan
Pasal 156
ayat
(1) Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2009 tentang Pajak
Daerah dan
Retribusi Daerah,
pemanfaatan ruang untuk
menara telekomunikasi dengan memperhatikan
aspek tata
ruang, keamanan,
dan kepentingan umum
serta untuk
mendukung peningkatan
pendapatan asli daerah, perlu
mengatur
Retribusi Pengendalian Menara Telekomunikasi;
b. bahwa berdasarkan pertimbangan
sebagaimana dimaksud
huruf a, perlu
membentuk Peraturan Daerah
tentang
Retribusi
Pengendalian Menara Telekomunikasi;
Mengingat : 1. Undang-Undang Nomor 13 Tahun 1950 tentang
Pembentukan Daerah-Daerah
Kabupaten dalam Lingkungan
Propinsi
Jawa Tengah;
2. Undang-Undang Nomor 8
Tahun 1981 tentang Hukum Acara
Pidana (Lembaran
Negara Republik Indonesia
Tahun 1981
Nomor 76,
Tambahan Lembaran Negara
Republik Indonesia
Nomor
3209);
3. Undang-Undang Nomor 17
Tahun 2003 tentang
Keuangan
Negara (Lembaran
Negara Republik Indonesia
Tahun 2003
Nomor 47,
Tambahan Lembaran Negara
Republik Indonesia
Nomor
4286);
4. Undang-Undang
Nomor
1 Tahun 2004 tentang
Perbendaharaan Negara (Lembaran Negara
Republik
Indonesia Tahun 2004
Nomor 5, Tambahan Lembaran Negara
Republik
Indonesia Nomor 4355);
2
5. Undang-Undang Nomor 36 Tahun
1999 tentang
Telekomunikasi
(Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun
1999 Nomor 124, Tambahan Lembaran
Negara Republik
Indonesia
Nomor 3881);
6. Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang
Pemerintahan Daerah
(Lembaran Negara Republik
Indonesia
Tahun 2004 Nomor 125, Tambahan
Lembaran Negara
Republik Indonesia
Nomor 4437), sebagaimana telah
diubah
beberapa kali terakhir dengan Undang-Undang
Nomor 12
Tahun 2008 tentang
Perubahan Kedua atas Undang-Undang
Nomor 32 Tahun
2004 tentang Pemerintahan
Daerah
(Lembaran
Negara Republik Indonesia Tahun 2008 Nomor 59,
Tambahan Lembaran
Negara Republik Indonesia
Nomor
4844);
7. Undang-Undang Nomor
33 Tahun 2004 tentang Perimbangan
Keuangan antara
Pemerintah Pusat dan
Pemerintahan
Daerah (Lembaran
Negara Republik Indonesia
Tahun 2004
Nomor 126, Tambahan
Lembaran Negara Republik Indonesia
Nomor
4438);
8. Undang-Undang Nomor 26
Tahun 2007 tentang
Penataan
Ruang (Lembaran
Negara Republik Indonesia
Tahun 2007
Nomor 68,
Tambahan Lembaran Negara
Republik Indonesia
Nomor
4725);
9. Undang-Undang Nomor
28 Tahun 2009 tentang Pajak Daerah
dan Retribusi Daerah (Lembaran
Negara Republik Indonesia
Tahun 2009 Nomor 130, Tambahan
Lembaran Negara
Republik
Indonesia Nomor 5049);
10. Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang
Pembentukan Peraturan
Perundang-undangan (Lembaran
Negara Republik
Indonesia Tahun 2011 Nomor 82, Tambahan
Lembaran
Negara Republik Indonesia Nomor 5234);
11. Peraturan Pemerintah
Nomor 27 Tahun
1983 tentang
Pelaksanaan Undang-Undang
Hukum Acara Pidana
(Lembaran Negara
Republik Indonesia Nomor
1983 Nomor
36,
Tambahan Lembaran Negara
Republik Indonesia Nomor
3293)
sebagaimana diubah dengan
Peraturan Pemerintah
Nomor 58 Tahun
2010 tentang Perubahan
atas Peraturan
Pemerintah Nomor 27
Tahun 1983 tentang
Pelaksanaan
Kitab Undang-Undang
Hukum Acara Pidana
(Lembaran
Negara Republik
Indonesia Tahun 2010
Nomor 90,
Tambahan Lembaran
Negara Republik Indonesia
Nomor
5145);
12. Peraturan Pemerintah
Nomor 52 Tahun
2000 tentang
Penyelenggaraan Telekomunikasi
(Lembaran Negara Republik
Indonesia Tahun
2000 Nomor 107, Tambahan Lembaran
Negara
Republik Indonesia Nomor 3980);
3
13. Peraturan Pemerintah
Nomor 53 Tahun
2000 tentang
Penggunaan Spektrum
(Lembaran Negara Republik Indonesia
Tahun 2000 Nomor 108, Tambahan
Lembaran Negara
Republik
Indonesia Nomor 3981);
14. Peraturan Pemerintah Nomor 55
Tahun 2005 tentang
Dana
Perimbangan (Lembaran
Negara Republik Indonesia
Tahun
2005 Nomor 137, Tambahan Lembaran
Negara Republik
Indonesia
Nomor 4574);
15. Peraturan Pemerintah
Nomor 58 Tahun
2005 tentang
Pengelolaan Keuangan
Daerah (Lembaran Negara
Republik
Indonesia Tahun
2005 Nomor 140, Tambahan Lembaran
Negara
Republik Indonesia Nomor 4578);
16. Peraturan Pemerintah
Nomor 79 Tahun
2005 tentang
Pedoman Pembinaan
dan Pengawasan Penyelenggaraan
Pemerintahan Daerah
(Lembaran Negara Republik
Indonesia
Tahun 2005 Nomor 165, Tambahan
Lembaran Negara
Republik
Indonesia Nomor 4593);
17. Peraturan Pemerintah
Nomor 38 Tahun
2007 tentang
Pembagian Urusan Pemerintahan antara Pemerintah,
Pemerintahan Daerah
Provinsi, dan Pemerintahan Daerah
Kabupaten/Kota (Lembaran
Negara Republik Indonesia
Tahun 2007 Nomor 87, Tambahan
Lembaran Negara
Republik
Indonesia Nomor 4737);
18. Peraturan Penerintah
Nomor 26 tahun
2008 tentang
Penataan Ruang
(Lembaran Negara Republik
Indonesia
Tahun 2008 Nomor 48, Tambahan
Lembaran Negara
Republik
Indonesia Nomor 4833);
19. Peraturan Pemerintah Nomor 69
Tahun 2010 tentang
Tata
Cara Pemberian dan
Pemanfaatan Insentif Pemungutan Pajak
Daerah dan
Retribusi Daerah (Lembaran Negara
Republik
Indonesia Tahun
2010 Nomor 119, Tambahan Lembaran
Negara
Republik Indonesia Nomor 5161);
20. Peraturan Presiden Nomor 1 Tahun 2007
tentang
Pengesahan,
Pengundangan, dan Penyebarluasan Peraturan
Perundang-undangan;
21. Peraturan Daerah Kabupaten
Daerah Tingkat II Kudus Nomor
10 Tahun
1987 tentang Penyidik
Pegawai Negeri Sipil di
Lingkungan Pemerintah
Kabupaten Daerah Tingkat
II Kudus
(Lembaran Daerah
Kabupaten Daerah Tingkat
II Kudus
Tahun
1988 Nomor 4);
4
22. Peraturan Daerah
Kabupaten Kudus Nomor 8
Tahun 2003
tentang Rencana
Tata Ruang Wilayah
Kabupaten Kudus
(Lembaran
Daerah Kabupaten Kudus Tahun 2003 Nomor 26,
Tambahan
Lembaran Daerah Kabupaten Kudus Nomor 49);
23. Peraturan Daerah
Kabupaten Kudus Nomor 3
Tahun 2007
tentang Pokok-Pokok Pengelolaan Keuangan Daerah
(Lembaran Daerah
Kabupaten Kudus Tahun
2007 Nomor 3,
Tambahan
Lembaran Daerah Kabupaten Kudus Nomor 99);
24. Peraturan Daerah Kabupaten
Kudus Nomor 3 Tahun
2008
tentang Urusan
Pemerintahan yang Menjadi Kewenangan
Pemerintahan Daerah
Kabupaten Kudus (Lembaran
Daerah
Kabupaten Kudus Tahun
2008 Nomor 3, Tambahan
Lembaran
Daerah Kabupaten Kudus Nomor 106);
Dengan
Persetujuan Bersama
DEWAN
PERWAKILAN RAKYAT DAERAH KABUPATEN KUDUS
dan
BUPATI
KUDUS
MEMUTUSKAN :
Menetapkan : PERATURAN DAERAH
TENTANG RETRIBUSI PENGENDALIAN
MENARA
TELEKOMUNIKASI.
BAB I
KETENTUAN
UMUM
Pasal 1
Dalam Peraturan Daerah ini yang dimaksud
dengan :
1. Daerah adalah Kabupaten Kudus.
2. Pemerintah Daerah adalah
Bupati dan Perangkat Daerah
sebagai
unsur penyelenggara pemerintahan daerah .
3. Bupati adalah Bupati Kudus.
4. Kas Daerah adalah Kas Daerah Kabupaten Kudus.
5. Telekomunikasi adalah
setiap pemancaran,
pengiriman dan/
atau penerimaan
dari setiap informasi dalam
tanda-tanda,
isyarat, tulisan,
gambar, suara dan bunyi melalui sistem
kawat,
optik, radio atau sistem elektromagnetik lainnya.
6. Penyelenggara Telekomunikasi
adalah perseorangan,
koperasi,
badan usaha milik
daerah, badan usaha
milik
negara, badan usaha
swasta, instansi pemerintah dan
pertahanan
dan keamanan negara.
5
7. Menara Telekomunikasi
adalah bangunan-bangunan untuk
kepentingan umum
yang didirikan di atas
tanah, atau
bangunan-bangunan yang
merupakan satu kesatuan
konstruksi
dengan bangunan gedung
yang dipergunakan
untuk kepentingan
umum yang struktur fisiknya dapat
berupa baja
yang diikat oleh
berbagai simpul atau berupa
bentuk tunggal tanpa
simpul, dimana fungsi,
desaian dan
konstruksinya disesuaikan
sebagai sarana penunjang
menempatkan
perangkat telekomunikasi.
8. Menara Telekomunikasi
Bersama, yang selanjutnya disingkat
MTB adalah
Menara Telekomunikasi yang penggunaannya
dapat
dilakukan oleh lebih dari satu operator.
9. Operator adalah
penyelenggara jasa dan
/ atau jaringan
telekomunikasi yang
mendapat
melakukan
kegiatan usahanya.
persetujuan untuk
10. Jasa Umum adalah jasa yang disediakan
atau diberikan oleh
Pemerintah Daerah untuk tujuan
kepentingan dan
kemanfaatan
umum serta dapat dinikmati oleh orang pribadi
atau
Badan.
11. Retribusi Jasa Umum
adalah pungutan daerah
sebagai
pembayaran atas
jasa yang disediakan
atau diberikan oleh
Pemerintah Daerah untuk tujuan
kepentingan dan
kemanfaatan
umum serta dapat dinikmati oleh orang pribadi
atau
Badan.
12. Retribusi Pengendalian Menara
Telekomunikasi selanjutnya
disebut Retribusi
adalah retribusi yang dikenakan
atas
pemanfaatan ruang
untuk menara telekomunikasi dengan
memperhatikan aspek
tata ruang, keamanan, dan
kepentingan
umum.
13. Wajib
Retribusi adalah orang pribadi
atau badan yang
menurut
peraturan
perundang-undangan
retribusi
diwajibkan untuk melakukan
pembayaran retribusi,
termasuk
pemungut atau pemotong retribusi tertentu.
14. Badan
adalah sekumpulan orang
dan/atau modal yang
merupakan kesatuan, baik yang
melakukan usaha maupun
yang tidak melakukan
usaha yang meliputi perseroan
terbatas,
perseroan komanditer, perseroan lainnya, Badan
Usaha Milik Negara
(BUMN) atau Badan Usaha Milik Daerah
(BUMD)
dengan nama dan
dalam bentuk apapun, firma,
kongsi, koperasi,
dana pensiun, persekutuan, perkumpulan,
yayasan, organisasi
massa, organisasi sosial politik, atau
organisasi lainnya, lembaga, dan bentuk
badan lainya
termasuk
kontrak investasi kolektif dan bentuk usaha tetap.
15. Surat Ketetapan Retribusi Daerah yang
selanjutnya disingkat
SKRD adalah
surat ketetapan retribusi
yang menentukan
besarnya
jumlah pokok retribusi yang terutang.
6
16. Surat Ketetapan Retribusi Daerah Lebih
Bayar yang
selanjutnya disingkat SKRDLB adalah
surat ketetapan
retribusi yang menentukan
jumlah kelebihan pembayaran
retribusi karena jumlah
kredit retribusi lebih besar daripada
retribusi
yang terutang atau seharusnya tidak terutang.
17. Surat Tagihan Retribusi Daerah yang
selanjutnya disingkat
STRD adalah
surat untuk melakukan tagihan
retribusi
dan/atau
sanksi administrasi berupa bunga dan/atau denda.
18. Pemeriksaan adalah
serangkaian kegiatan menghimpun dan
mengolah data, keterangan, dan/atau bukti yang
dilaksanakan secara
objektif dan profesional
berdasarkan
suatu standar pemeriksaan untuk
menguji kepatuhan
pemenuhan kewajiban
perpajakan daerah dan
retribusi
dan/atau untuk
tujuan lain dalam
rangka melaksanakan
ketentuan peraturan
perundang-undangan perpajakan
daerah
dan retribusi daerah.
19. Penyidikan adalah serangkaian tindakan
yang dilakukan oleh
Penyidik untuk
mencari serta mengumpulkan bukti yang
dengan bukti itu
membuat terang tindak pidana
di bidang
retribusi
yang terjadi serta menemukan tersangkanya.
20. Penyidik
adalah Pejabat Polisi
Republik Indonesia atau
Pejabat Pegawai
Negeri Sipil tertentu yang diberi wewenang
khusus
oleh Undang-Undang untuk melakukan
penyidikan.
21. Penyidik
Pegawai Negeri Sipil adalah
Pejabat Pegawai Negeri
Sipil tertentu di Lingkungan
Pemerintah Daerah yang
diberi
wewenang khusus
untuk melakukan penyidikan
terhadap
pelanggaran
Peraturan Daerah.
BAB II
NAMA,
OBJEK, DAN SUBJEK RETRIBUSI
Pasal 2
Dengan
nama Retribusi Pengendalian Menara
Telekomunikasi
dipungut retribusi
sebagai pembayaran atas pemanfaatan
ruang
untuk
menara telekomunikasi.
Pasal 3
Objek Retribusi adalah pemanfaatan
ruang untuk menara
telekomunikasi dengan memperhatikan
aspek tata ruang,
keamanan,
dan kepentingan umum.
Pasal 4
Subjek Retribusi adalah orang
pribadi atau badan
yang
memanfaatkan
ruang untuk menara telekomunikasi.
7
BAB III
GOLONGAN
RETRIBUSI
Pasal 5
Retribusi Pengendalian Menara
Telekomunikasi digolongkan
sebagai
Retribusi Jasa Umum.
BAB IV
CARA
MENGUKUR TINGKAT PENGGUNAAN JASA
Pasal 6
Tingkat penggunaan
jasa diukur berdasarkan
frekuensi
pelayanan pengawasan
dan pengendalian terhadap
perizinan
menara telekomunikasi, keadaan fisik
menara telekomunikasi,
dan potensi kemungkinan timbulnya
gangguan atas berdirinya
menara yang
dilaksanakan dan diberikan
oleh Pemerintah
Daerah.
BAB V
PRINSIP
DAN SASARAN DALAM PENETAPAN
STRUKTUR
DAN BESARNYA TARIF
Pasal 7
(1) Prinsip dan sasaran dalam penetapan struktur dan besarnya
tarif Retribusi Pengendalian
Menara Telekomunikasi
ditetapkan dengan
memperhatikan biaya penyediaan
jasa,
kemampuan masyarakat, aspek keadilan, dan
efektivitas
pengendalian
atas pelayanan tersebut.
(2) Biaya Penyediaan Jasa
sebagaimana dimaksud pada
ayat (1)
meliputi biaya operasi dan
pemeliharaan, biaya bunga, dan
biaya
modal.
BAB VI
STRUKTUR
DAN BESARNYA TARIF RETRIBUSI
Pasal 8
(1)
Struktur dan besarnya tarif ditetapkan berdasarkan
Nilai
Jual Objek Pajak Bumi dan
Bangunan Menara
Telekomunikasi.
(2)
Struktur dan besarnya tarif retribusi adalah sebesar 2 % (dua
persen) per tahun
dari Nilai Jual Objek Pajak Bumi dan
Bangunan
Menara Telekomunikasi.
8
Pasal 9
(1) Tarif retribusi
ditinjau kembali paling lama
3 (tiga) tahun
sekali.
(2) Peninjauan tarif
retribusi sebagaimana dimaksud pada
ayat
(1) dilakukan dengan
memperhatikan indeks harga
dan
perkembangan
perekonomian.
(3) Penetapan tarif
retribusi sebagaimana dimaksud pada
ayat
(2)
ditetapkan dengan Peraturan Bupati.
BAB VII
WILAYAH
PEMUNGUTAN
Pasal 10
Retribusi
yang terutang dipungut di wilayah Daerah.
BAB VIII
SAAT
RETRIBUSI TERUTANG
Pasal 11
Saat retribusi terutang adalah
pada saat ditetapkannya SKRD
atau
dokumen lain yang dipersamakan.
BAB IX
PEMUNGUTAN
RETRIBUSI
Pasal
12
(1) Pemungutan retribusi tidak dapat diborongkan.
(2) Retribusi dipungut dengan
menggunakan SKRD atau
dokumen
lain yang dipersamakan.
(3) Dokumen lain yang
dipersamakan sebagaimana dimaksud
pada ayat (2) dapat berupa
karcis, kupon, dan kartu
langganan.
(4) Tata cara pemungutan
retribusi diatur lebih lanjut
oleh
Bupati.
9
BAB X
PENENTUAN
PEMBAYARAN, TEMPAT PEMBAYARAN,
ANGSURAN,
DAN PENAGIHAN PEMBAYARAN
Pasal 13
(1) Pembayaran retribusi terutang dilakukan secara tunai/lunas.
(2) Retribusi terutang dilunasi paling lambat 30 (tiga puluh) hari
sejak diterbitkannya SKRD
atau dokumen lain
yang
dipersamakan.
(3) Tata cara pembayaran
dan penyetoran diatur lebih
lanjut
oleh
Bupati.
Pasal 14
(1) Pembayaran retribusi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 13
diberikan
tanda bukti pembayaran.
(2) Setiap pembayaran dicatat dalam buku penerimaan.
(3) Bentuk, isi, kualitas, ukuran buku, dan tanda
bukti
pembayaran
retribusi diatur lebih lanjut oleh
Bupati.
Pasal 15
(1) Retribusi dibayarkan pada kas daerah atau tempat lain yang
ditunjuk
oleh Bupati.
(2) Selain pada kas
daerah atau bank
yang ditunjuk
sebagaimana dimaksud
pada ayat (1), pembayaran retribusi
dapat dilakukan pada
Bendaharawan Penerimaan atau
petugas yang
ditunjuk pada Satuan
Kerja Perangkat Daerah
yang membidangi pelayanan pendaftaran
penduduk dan
pencatatan
sipil.
Pasal 16
(1) Dalam hal Wajib Retribusi tidak dapat membayar tepat pada
waktunya atau kurang
membayar, dapat mengajukan
permohonan angsuran
atau penundaan pembayaran
kepada
Bupati.
(2) Permohonan angsuran
atau penundaan pembayaran
sebagaimana dimaksud
pada ayat (1) harus menyebutkan
alasan
yang jelas.
10
BAB XI
SANKSI
ADMINISTRASI
Pasal 17
(1) Dalam hal Wajib Retribusi tidak membayar tepat waktunya
atau kurang
membayar, dikenakan sanksi
administrasi atau
bunga sebesar 2 %
(dua persen) setiap
bulan dari besarnya
retribusi yang terutang
yang tidak atau
kurang dibayar dan
ditagih
dengan menggunakan STRD.
(2) Penagihan Retribusi
terutang sebagaimana dimaksud
pada
ayat
(1) didahului dengan Surat Teguran.
BAB XII
PENAGIHAN
RETRIBUSI
Pasal 18
(1) Penagihan retribusi
terutang yang tidak
atau kurang bayar
dilakukan
dengan menggunakan STRD.
(2) Penagihan Retribusi terutang sebagaimana
dimaksud pada
ayat
(1) didahului dengan Surat Teguran.
(3) Pengeluaran Surat Teguran/Peringatan/Surat lain yang
sejenis
sebagi tindakan awal pelaksanaan penagihan retribusi
dikeluarkan setelah
14 (empat belas) hari sejak tanggal jatuh
tempo
pembayaran.
(4) Dalam jangka
waktu 7 (tujuh)
hari setelah tanggal Surat
Teguran/Peringatan/Surat
lain yang sejenis, wajib retribusi
harus
melunasi retribusi yang terutang.
(5) Surat
Teguran/Peringatan/Surat
lain yang sejenis
sebagaimana dimaksud
pada ayat (1) dikeluarkan oleh
pejabat
yang ditunjuk.
Pasal 19
Tata cara penagihan
dan penerbitan Surat Teguran/
Peringatan/Surat
lain yang sejenis
diatur dengan Peraturan
Bupati.
BAB XIII
PENGEMBALIAN
KELEBIHAN PEMBAYARAN
Pasal 20
(1) Atas kelebihan pembayaran
Retribusi, Wajib Retribusi dapat
mengajukan
permohonan pengembalian kepada Bupati.
11
(2) Bupati dalam jangka waktu paling lama 6 (enam) bulan, sejak
diterimanya
permohonan
pengembalian
kelebihan
pembayaran Retribusi sebagaimana dimaksud
pada ayat (1),
harus
memberikan keputusan.
(3) Apabila jangka waktu
sebagaimana dimaksud pada
ayat (2)
telah dilampaui dan
Bupati tidak memberikan
suatu
keputusan,
permohonan pengembalian pembayaran
Pajak
atau Retribusi dianggap dikabulkan
dan SKPDLB atau
SKRDLB harus
diterbitkan dalam jangka waktu paling lama 1
(satu)
bulan.
(4) Apabila Wajib Retribusi mempunyai utang
Retribusi lainnya,
kelebihan pembayaran Retribusi sebagaimana dimaksud
pada ayat (1) langsung diperhitungkan untuk
melunasi
terlebih
dahulu utang Retribusi tersebut.
(5) Pengembalian
kelebihan pembayaran Retribusi sebagaimana
dimaksud pada ayat
(1) dilakukan dalam jangka waktu paling
lama
2 (dua) bulan sejak diterbitkannya SKRDLB.
(6) Jika
pengembalian kelebihan pembayaran Retribusi
dilakukan setelah
lewat 2 (dua) bulan, Bupati memberikan
imbalan bunga
sebesar 2% (dua persen) per bulan atas
keterlambatan
pembayaran kelebihan pembayaran Retribusi.
(7) Tata cara pengembalian
kelebihan pembayaran Retribusi
sebagaimana dimaksud
pada ayat (1) diatur lebih lanjut oleh
Bupati.
BAB XIV
PENGHAPUSAN
PIUTANG RETRIBUSI YANG KEDALUWARSA
Pasal 21
(1) Hak
untuk melakukan penagihan
Retribusi menjadi
kedaluwarsa setelah melampaui waktu 3
(tiga) tahun
terhitung sejak saat
terutangnya Retribusi, kecuali jika Wajib
Retribusi
melakukan tindak pidana di bidang Retribusi.
(2) Kedaluwarsa
penagihan Retribusi
sebagaimana dimaksud
pada ayat (1) tertangguh jika :
a. diterbitkan Surat
Teguran; atau
b. ada pengakuan
utang Retribusi dari Wajib Retribusi, baik
langsung
maupun tidak langsung.
(3) Dalam hal diterbitkan Surat Teguran sebagaimana dimaksud
pada ayat (2) huruf
a, kedaluwarsa penagihan dihitung sejak
tanggal
diterimanya Surat Teguran tersebut.
12
(4) Pengakuan utang Retribusi secara langsung
sebagaimana
dimaksud pada
ayat (2) huruf b adalah
Wajib Retribusi
dengan kesadarannya
menyatakan masih mempunyai utang
Retribusi dan belum
melunasinya kepada Pemerintah
Daerah.
(5) Pengakuan
utang Retribusi secara
tidak langsung
sebagaimana
dimaksud pada ayat (2) huruf b dapat diketahui
dari pengajuan permohonan
angsuran atau penundaan
pembayaran
oleh Wajib Retribusi.
Pasal 22
(1) Piutang Retribusi yang tidak mungkin ditagih lagi karena hak
untuk melakukan
penagihan sudah kedaluwarsa
dapat
dihapuskan.
(2) Bupati menetapkan Keputusan Penghapusan
Piutang
Retribusi
yang sudah kedaluwarsa
sebagaimana dimaksud
pada
ayat (1).
(3) Tata cara penghapusan
piutang Retribusi yang sudah
kedaluwarsa
diatur lebih lanjut oleh Bupati.
BAB XV
PENGURANGAN,
KERINGANAN DAN PEMBEBASAN RETRIBUSI
Pasal 23
(1) Bupati dapat memberikan
pengurangan, keringanan atau
pembebasan
retribusi.
(2) Pengurangan dan keringanan
sebagaimana dimaksud pada
ayat (1) diberikan
dengan melihat kemampuan wajib
retribusi.
(3) Pembebasan retribusi
sebagaimana dimaksud pada
ayat (1)
diberikan
dengan melihat fungsi objek retribusi.
(4) Ketentuan lebih lanjut mengenai pemberian pengurangan,
keringanan atau pembebasan
retribusi sebagaimana
dimaksud
pada ayat (1), diatur oleh Bupati.
13
BAB XVI
PEMBETULAN,
PENGURANGAN ATAU
PEMBATALAN
KETETAPAN SERTA PENGHAPUSAN ATAU
PENGURANGAN
SANKSI ADMINISTRASI
Pasal 24
(1) Wajib Retribusi dapat mengajukan permohonan :
a. pembetulan SKRD
atau STRD yang
dalam penerbitannya
terdapat
kesalahan tulis, kesalahan hitung, dan/atau
kekeliruan dalam
penerapan peraturan perundang-
undangan
retribusi daerah;
b. pengurangan atau
pembatalan ketetapan retribusi yang
tidak
benar;
c. pengurangan atau
penghapusan sanksi administrasi
berupa bunga
dan kenaikan retribusi terutang dalam
hal
sanksi tersebut dikenakan karena
kekhilafan Wajib
Retribusi
atau bukan kesalahannya.
(2) Permohonan pembetulan,
pengurangan atau pembatalan
ketetapan serta
pengurangan atau penghapusan
sanksi
administrasi
sebagaimana dimaksud pada
ayat (1) harus
disampaikan secara
tertulis oleh Wajib
Retribusi kepada
Bupati
paling lama 30
(tiga puluh) hari sejak
tanggal
diterimanya SKRD
dan STRD dengan
memberikan alasan
yang jelas dan meyakinkan untuk mendukung
permohonannya.
(3) Paling lama 30
(tiga puluh) hari terhitung
sejak diterimanya
permohonan pembetulan, pengurangan, dan pembatalan
ketetapan serta
pengurangan atau penghapusan
sanksi
administrasi sebagaimana
dimaksud pada ayat (1), Bupati
sudah harus
memberikan jawaban atas
permohonan
tersebut.
(4) Jawaban atas permohonan sebagaimana dimaksud pada ayat
(3)
dituangkan dalam bentuk Surat Bupati.
BAB
XVII
INSENTIF
PEMUNGUTAN
Pasal 25
(1) Satuan
Kerja Perangkat Daerah yang melaksanakan
pemungutan pajak dapat diberi insentif atas dasar
pencapaian
kinerja tertentu.
(2) Insentif sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) ditetapkan
melalui
Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah.
14
(3) Tata cara pemberian
dan pemanfaatan insentif sebagaimana
dimaksud
pada ayat (1) diatur oleh Bupati.
BAB
XVIII
PEMANFAATAN
MENARA
Bagian
Kesatu
Umum
Pasal 26
(1) Menara wajib
dimanfaatkan secara tertib
administrasi dan
teknis untuk menjamin
kelaikan fungsi menara dengan tanpa
menimbulkan
dampak penting terhadap lingkungan.
(2) Ketentuan lebih
lanjut mengenai perizinan
sebagaimana
dimaksud
pada ayat (1) diatur oleh Bupati.
Bagian
Kedua
Program
Pertanggungan
Pasal 27
Pengelola menara
wajib mengikuti program pertanggungan
(asuransi)
terhadap kemungkinan kegagalan
menara selama
pemanfaatan
menara.
Bagian
Ketiga
Pemeliharaan,
Perawatan, dan Pemeriksaan Menara
Pasal 28
(1) Pemilik, penyedia, dan/atau pengelola
menara wajib
melakukan pemeliharaan, perawatan, dan
pemeriksaan
kelaikan fungsi bangunan menara
secara berkala setiap
tahun.
(2) Hasil pemeriksaan kelaikan
fungsi bangunan menara
sebagaimana dimaksud
pada ayat (1) dilaporkan kepada
Bupati
melalui instansi teknis.
(3)
Tata cara pelaporan
kelaikan fungsi bangunan
menara
sebagaimana dimaksud
ayat (2) diatur lebih lanjut oleh
Bupati.
Pasal 29
(1) Kegiatan
pemeliharaan menara meliputi pembersihan,
pemeriksaan,
pengujian, perbaikan dan/atau penggantian
bahan dan/atau perlengkapan
menara, serta kegiatan
sejenis lainnya
berdasarkan pedoman pengoperasian
dan
pemeliharaan
menara.
15
(2)
Pemeliharaan menara dapat dilakukan oleh
penyedia jasa
yang memenuhi
kualifikasi dan dilaksanakan sesuai dengan
peraturan
perundang-undangan.
(3) Pelaksanaan
kegiatan pemeliharaan harus
menerapkan
prinsip-prinsip
keselamatan dan kesehatan kerja.
Bagian
Keempat
Pemanfaatan
Menara Bersama
Pasal 30
(1)
Untuk efisiensi dan efektifitas
penataan ruang, khusus
untuk menara
telekomunikasi dari tahap awal
rencana
pembangunan harus
diarahkan untuk penggunaan
menara
secara
bersama.
(2) Ketentuan
penggunaan bersama menara
sebagaimana
dimaksud
pada ayat (2) tidak berlaku untuk :
a. menara
yang digunakan untuk
keperluan jaringan
utama;
dan/atau
b. menara
yang dibangun pada
daerah-daerah yang belum
mendapatkan layanan telekomunikasi atau
daerah-
daerah
yang tidak layak secara ekonomis.
(3)
Penyedia menara atau
pengelola menara wajib
memberikan
kesempatan yang sama tanpa
diskriminasi kepada
penyelenggara telekomunikasi untuk menggunakan
menara
secara
bersama-sama sesuai kemampuan teknis menara.
(4) Setiap pembangunan
menara telekomunikasi yang
digunakan sebagai menara telekomunikasi bersama berupa
menara telekomunikasi yang dapat digunakan oleh
sekurang-kurangnya 3
(tiga) operator telekomunikasi dan
desain konstruksi menaranya harus
mendapatkan
persetujuan
dari Bupati atau pejabat yang ditunjuk.
Pasal 31
Pemanfaatan
menara bersama dilaksanakan
dengan ketentuan
sebagai
berikut :
a. pemilik,
penyedia,
dan/atau pengelolan menara
telekomunikasi
harus memperhatikan ketentuan
hukum
tentang larangan
praktek monopoli dan persaingan
usaha
tidak
sehat;
b. pemilik, penyedia,
atau pengelola menara
telekomunikasi
wajib menginformasikan ketersediaan
kapasitas menaranya
kepada
calon pengguna menara secara transparan;
c. beban maksimal untuk menara
bersama tidak boleh
melebihi
perhitungan struktur menara;
d. pemilik,
16
penyedia,
dan/atau
pengelola
menara
telekomunikasi
harus menggunakan sistem
antrian dengan
mendahulukan calon
pengguna menara yang
sudah lebih
dahulu menyampaikan
permintaan penggunaan menara
telekomunikasi dengan
tetap memperhatikan kelayakan dan
kemampuan
teknis bangunan menara telekomunikasi;
e. pemanfaatan menara telekomunikasi
tidak boleh
menimbulkan interferensi antar sistem jaringan
yang dapat
merugikan
pengguna jasa telekomunikasi; dan
f. pemilik,
penyedia,
dan/atau
pengelola
menara
telekomunikasi
wajib saling berkoordinasi dalam hal terjadi
suatu
masalah.
Pasal 32
(1)
Pemilik, penyedia, atau
pengelola menara bersama
berhak
memungut biaya penggunaan
menara bersama kepada
operator
telekomunikasi yang menggunakan menaranya.
(2)
Biaya penggunaan menara
bersama sebagaimana dimaksud
pada ayat (1)
disepakati oleh pihak penyedia menara dengan
pihak penyewa dengan
harga yang wajar, perhitungan biaya
investasi, operasi,
pengembalian modal dan keuntungan,
serta dengan memperhatikan prinsip keadilan
dan
transparansi.
BAB
XIX
PERSEBARAN
DAN KETENTUAN TEKNIS
Pasal 33
(1)
Pengaturan
dan penataan
penempatan
menara
telekomunikasi,
serta penetapan zona pembangunan menara
bersama
dilakukan dengan memperhatikan:
a. ketersediaan ruang wilayah;
b. kepadatan/populasi pemakai jasa
telekomunikasi;
c. kaidah penataan ruang wilayah, estetika,
keamanan dan
ketertiban
lingkungan; dan
d. kebutuhan komunikasi pada umumnya.
(2)
Zona pembangunan menara
sebagaimana dimaksud pada
ayat
(1) diatur lebih lanjut oleh Bupati.
BAB
XX
PERIZINAN
PEMBANGUNAN MENARA
Pasal 34
(1)
Pembangunan menara harus didasarkan pada adanya:
a. rekomendasi peruntukan ruang;
17
b. izin mendirikan bangunan menara.
(2)
Permohonan rekomendasi
peruntukan ruang sebagaimana
dimaksud pada
ayat (1) huruf a diajukan
kepada Bupati
melalui Satuan Kerja
Perangkat Daerah yang
membidangi
tata
ruang dengan melampirkan:
a. titik koordinat; dan
b. denah lokasi.
(3)
Rekomendasi peruntukan ruang diterbitkan
mendasarkan
pada pengaturan
dan penataan penempatan
menara
telekomunikasi, serta
penetapan zona pembangunan menara
telekomunikasi
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 33.
(4) Permohonan Izin Mendirikan
Bangunan sebagaimana
dimaksud pada
ayat (1) huruf b diatur dalam
Peraturan
Daerah
tentang Retribusi Izin Mendirikan Bangunan.
Pasal 35
(1)
Pembangunan menara dilaksanakan dengan memperhatikan
ketersediaan lahan, keamanan dan
kenyamanan warga,
serta
kesinambungan dan pertumbuhan industri.
(2)
Menara dapat didirikan di atas
permukaan tanah maupun
pada
bagian bangunan gedung.
(3)
Dalam hal menara didirikan pada bagian bangunan/gedung,
Penyedia
Menara wajib :
a. mempertimbangkan dan menghitung kemampuan
teknis
bangunan;
b. keselamatan
dan kenyamanan pengguna
bangunan
gedung
sesuai persyaratan keandalan bangunan gedung;
c. tidak melampaui ketinggian maksimum
selubung
bangunan
gedung yang dizinkan; dan
d. memenuhi estetika.
Pasal 36
(1)
Menara disediakan oleh Penyedia menara.
(2) Penyedia
menara sebagaimana dimaksud
pada ayat (1)
merupakan:
a.
penyelenggara telekomunikasi; atau
b.
bukan penyelenggara telekomunikasi.
(3)
Penyediaan menara sebagaimana
dimaksud pada ayat (1)
pembangunannya dilaksanakan
oleh Penyedia Jasa
Konstruksi.
18
(4)
Dalam hal Penyedia menara
bukan penyelenggara
telekomunikasi, pengelola menara
atau penyedia jasa
konstruksi
yang membangun menara
merupakan
perusahaan
nasional.
Pasal 37
Pembangunan
menara wajib mengacu
kepada SNI dan
standar
baku tertentu
untuk menjamin keselamatan
bangunan dan
lingkungan dengan memperhitungkan faktor-faktor yang
menentukan
kekuatan dan kestabilan konstruksi menara dengan
mempertimbangkan persyaratan
struktur bangunan menara,
antara
lain :
a. tempat/space penempatan perangkat;
b. ketinggian menara;
c. struktur menara;
d. rangka struktur menara;
e. pondasi menara; dan
f. kekuatan angin.
Pasal 38
(1)
Bangunan menara harus dilengkapi dengan :
a. sarana pendukung; dan
b. identitas yang jelas.
(2)
Sarana pendukung sebagaimana
dimaksud pada ayat (1)
huruf
a, antara lain:
a. pertanahan (grounding);
b. penangkal petir;
c. catu daya;
d. lampu halangan
penerbangan (Aviation Obstruction
Light);
e. marka halangan
penerbangan (Aviation Obstruction
Marking);
f. pagar pengaman; dan
g.
sarana lainnya sesuai dengan
peraturan perundang-
undangan.
(3)
Identitas sebagaimana dimaksud
pada ayat (1) huruf b
meliputi
:
a. nama, alamat dan nomor pemilik menara;
b. nama pengguna menara;
c. lokasi dan koordinat;
d. tinggi;
e. beban maksimum menara;
f. tahun pembuatan/pemasangan;
g. kontraktor;
h. pabrikan;
i. nomor dan tanggal IMB; dan
j. kapasitas listrik terpasang.
19
Pasal 39
(1)
Pendirian menara di kawasan yang peruntukannya memiliki
karakteristik
tertentu dilaksanakan sesuai dengan peraturan
perundang-undangan.
(2)
Kawasan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) antara lain :
a. kawasan yang
termasuk zona kawasan
keselamatan
operasi
penerbangan;
b. kawasan pengawasan militer;
c. kawasan cagar budaya;
d. kawasan pariwisata;
e. kawasan hutan kota;
f. daerah aliran sungai dan saluran.
(3)
Menara yang didirikan
di atas gedung harus
dirancang
sesuai dengan Rencana
Tata Ruang Wilayah
dan estetika
kota.
BAB
XXI
PENGAWASAN
DAN PENGENDALIAN
Pasal 40
(1)
Bupati
berwenang melakukan pengawasan dan
pengendalian pembangunan
serta pemanfaatan menara
telekomunikasi.
(3)
Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara
pengawasan dan
pengendalian
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat
(2)
diatur oleh Bupati.
BAB XXII
PENYIDIKAN
Pasal 41
(1) Pejabat Pegawai Negeri Sipil
tertentu di lingkungan
Pemerintah
Daerah diberi wewenang khusus sebagai Penyidik
Pegawai
Negeri Sipil untuk melakukan penyidikan
tindak
pidana sebagaimana
dimaksud dalam Undang-Undang
Hukum
Acara Pidana.
(2) Penyidik sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) adalah pejabat
Pegawai
Negeri Sipil tertentu di lingkungan Pemerintah
Daerah yang
diangkat oleh pejabat yang berwenang
sesuai
dengan
ketentuan peraturan perundang-undangan.
20
(3) Wewenang Penyidik Pegawai Negeri Sipil sebagaimana
dimaksud
pada ayat (1) adalah :
a. menerima, mencari, mengumpulkan, dan
meneliti
keterangan atau
laporan berkenaan dengan tindak pidana
agar
keterangan atau laporan
tersebut menjadi lebih
lengkap
dan jelas;
b. meneliti, mencari, dan mengumpulkan keterangan
mengenai orang pribadi atau
Badan tentang kebenaran
perbuatan yang
dilakukan sehubungan dengan
tindak
pidana;
c. meminta keterangan
dan bahan bukti dari orang pribadi
atau
Badan sehubungan dengan tindak pidana;
d. memeriksa buku, catatan, dan dokumen
lain berkenaan
dengan
tindak pidana;
e. melakukan penggeledahan
untuk mendapatkan bahan
bukti pembukuan,
pencatatan, dan dokumen lain, serta
melakukan
penyitaan terhadap bahan bukti tersebut;
f. meminta bantuan
tenaga ahli dalam rangka
pelaksanaan
tugas
penyidikan tindak pidana;
g. menyuruh berhenti dan/atau melarang
seseorang
meninggalkan ruangan atau tempat pada saat
pemeriksaan sedang
berlangsung dan memeriksa identitas
orang,
benda, dan/atau dokumen yang dibawa;
h.
memotret seseorang yang berkaitan dengan tindak pidana;
i. memanggil orang untuk
didengar keterangannya dan
diperiksa
sebagai tersangka atau saksi;
j. menghentikan
penyidikan; dan/atau
k. melakukan tindakan
lain yang perlu
untuk kelancaran
penyidikan tindak pidana
sesuai dengan ketentuan
peraturan
perundang-undangan.
(4) Penyidik Pegawai Negeri
Sipil sebagaimana dimaksud pada
ayat (1) memberitahukan dimulainya
penyidikan dan
menyampaikan hasil
penyidikannya kepada Penuntut Umum
melalui
Pejabat Penyidik Polisi Negara Republik
Indonesia,
sesuai dengan
ketentuan yang diatur dalam Undang-Undang
Hukum
Acara Pidana.
BAB XXIII
KETENTUAN
PIDANA
Pasal 42
(1) Wajib Retribusi
yang tidak melaksanakan
kewajibannya
sehingga merugikan
keuangan Daerah diancam
pidana
kurungan paling
lama 3 (tiga) bulan
atau denda paling
banyak 3 (tiga) kali
jumlah Retribusi terutang yang tidak atau
kurang
dibayar.
21
(2) Tindak Pidana
sebagaimana dimaksud pada
ayat (1) adalah
pelanggaran.
BAB XXIV
KETENTUAN
PENUTUP
Pasal 43
Hal-hal yang belum diatur dalam Peraturan
Daerah ini sepanjang
mengenai pelaksanaannya diatur lebih lanjut oleh
Bupati.
Pasal 44
Peraturan Daerah ini mulai berlaku pada
tanggal diundangkan.
Agar
setiap
orang
mengetahuinya,
memerintahkan
pengundangan Peraturan
Daerah ini, dengan penempatannya
dalam
Lembaran Daerah Kabupaten Kudus.
Ditetapkan
di Kudus
pada
tanggal
BUPATI
KUDUS,
M U
S T H O F A
Diundangkan
di Kudus
pada
tanggal
SEKRETARIS
DAERAH KABUPATEN KUDUS,
BADRI
HUTOMO
LEMBARAN
DAERAH KABUPATEN KUDUS TAHUN
NOMOR
Tidak ada komentar:
Posting Komentar